KONTEKS.CO.ID – Finalis Miss Universe Indonesia (MUID) 2023 menyebut COO PT Capella Swastika Karya yang diduga sebagai Safa Attamimi sebagai orang yang memerintahkan finalis untuk lepas busana saat body checking serta melakukan pelecehan seksual.
Bersama pengacara Mellisa Anggraini, tujuh finalis telah melaporkan pelaksana kontes kecantikan PT. Capella Swastika Karya serta orang-orang yang terlibat ke Polda Metro pada Senin, 7 Agustus 2023.
“Kami akhirnya melaporkan perbuatan dugaan adanya pelecehan yang dilakukan terhadap klien kami,” kata kuasa hukum korban Mellisa di Polda Metro Jaya.
Laporan tersebut sudah teregister dengan nomor LP/B/4598/VII/2023 SPKT POLDA METRO JAYA. Terlapor dalam hal PT Capella Swastika Karya.
Korban melaporkan atas Pasal 4, 5, dan 6 Undang-undang TPKS. Mereka juga menyertakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-undang TPKS.
5 Pasal untuk Jerat Pelaku Foto Tanpa Busana
Pasal yang digunakan yaitu pasal 4, 5, 6, 14, dan 15, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual.
Pasal 4 Ayat (1) UU TPKS, terdapat 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual, yaitu:
- Pelecehan seksual non fisik
- Pelecehan seksual fisik
- Pemaksaan kontrasepsi
- Pemaksaan sterilisasi
- Pemaksaan perkawinan
- Penyiksaan seksual
- Eksploitasi seksual
- Perbudakan seksual
- Kekerasan seksual berbasis elektronik
Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp300 juta.
“Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),” bunyi Pasal 6 huruf a UU TPKS.
UU TPKS juga mengatur kekerasan seksual berbasis elektronik. Terdapat tiga jenis kekerasan seksual berbasis elektronik yang diatur UU TPKS, yakni:
- Melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar.
- Membagikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual.
- Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
Menurut Pasal 14 UU TPKS, pelaku kekerasan seksual ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
“Dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),” bunyi pasal tersebut.
Minta Perlindungan KPPPA
Mellisa menyebut upaya lain juga dilakukan yakni dengan mendatangi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak hingga lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) untuk meminta perlindungan terhadap para korban.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"