KONTEKS.CO.ID – Google doodle hari ini, Rabu, 14 September 2022, menampilkan tokoh pahlawan nasional, Rasuna Said. Bagi warga Jakarta, nama ini tak asing.
Rasuna Said sangat familiar karena menjadi nama jalan di kawasan bisnis di Setia Budi, Kuningan, Jakarta Selatan. Namanya, Jalan Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau HR Rasuna Said.
Ya hari ini, Rabu, 14 September 2022, adalah ulang tahun ke-112 Rasuna Said. Dia dikenal sebagai “Singa Betina” di masa Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.
Rasuna Said merupakan sosok yang lantang bersuara membela hak-hak perempuan. Sepanjang hidupnya, tokoh yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 1974 dan tokoh perempuan kesembilan yang menerima kehormatan tersebut, dikenal sebagai seorang guru dan jurnalis.
Sejak kecil, perempuan yang lahir di dekat Danau Maninjau, Agam, Sumatra Barat, 14 September 1910 itu dikenal tekun dan cerdas. Pendidikan dasar Rasuna dihabiskan di SD Maninjau lalu melanjutkan ke Diniyah School di Padangpanjang. Kecerdasan Rasuna sudah bisa terlihat saat ia bersekolah hingga ia dipercaya mengajar kelas di bawahnya meskipun ia masih pelajar atau dikenal asisten guru.
Tak hanya pendidikan umum, Rasuna juga menimba ilmu agama di Pesantren Ar Rasyidiyah. Usai menamatkan Diniyah School, Rasuna mengabdi menjadi pengajar di almamaternya.
Tak banyak saat itu, Muslimah yang menempuh pendidikan hingga tingkat lanjut. Rasuna ingin memajukan pendidikan bagi seorang wanita.
Rasuna Said dilahirkan pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dia keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.
Keluarga Rasuna Said adalah keluarga beragama Islam yang taat. Dia dibesarkan di rumah pamannya karena pekerjaan ayahnya yang membuat ayahnya sering tidak berada di rumah.
Tidak seperti saudara-saudaranya, dia bersekolah di sekolah agama, bukan sekuler, dan kemudian pindah ke Padang Panjang, di mana Rasuna Said bersekolah di Diniyah School, yang menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran khusus.
Pada 1923, Rasuna Said menjadi asisten guru di Sekolah Diniyah Putri yang baru didirikan, tetapi kembali ke kampung halamannya tiga tahun kemudian setelah sekolah itu hancur karena gempa. Dia kemudian belajar selama dua tahun di sekolah yang terkait aktivisme politik dan agama, serta menghadiri pidato yang diberikan oleh direktur sekolah tentang nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.
Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah. Saat itu, dia merupakan satu-satunya santri perempuan.
Dia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib.
Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatra Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-Islam Turki, Mustafa Kemal Atatürk.
Rasuna Said sangatlah memerhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, dia sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik.
Dia ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak. Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir yang nantinya banyak memengaruhi pandangan Rasuna Said.
Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.
Perjuangan Politik
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun 1930.
Rasuna Said juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang. Lalu memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.
Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Dia juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Pada tahun 1926, Rasuna Said aktif dalam organisasi Sarekat Rakyat yang berafiliasi dengan komunis. Kemudian dibubarkan setelah pemberontakan komunis yang gagal di Sumatera Barat pada 1927.
Tahun berikutnya, ia menjadi anggota Partai Sarekat Islam, naik ke posisi kepemimpinan cabang Maninjau. Setelah berdiri pada tahun 1930, ia bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (Permi), sebuah organisasi berbasis Islam dan nasionalisme.
Tahun berikutnya, Rasuna yang kembali mengajar di Padang Panjang, meninggalkan pekerjaannya setelah berselisih dengan pemimpinnya karena Rasuna telah mengajar murid-muridnya tentang perlunya tindakan politik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Lalu dia pindah ke Padang, di mana pimpinan Permi bermarkas. Di sana, dia mendirikan sekolah untuk anak perempuan.
Pada tanggal 23 Oktober 1932, dalam rapat umum bagian perempuan Permi di Padang Panjang, Rasuna menyampaikan pidato publik berjudul “Langkah-Langkah Menuju Kemerdekaan Rakyat Indonesia”. Dia mengutuk penghancuran mata pencaharian rakyat dan kerusakan yang dilakukan pada rakyat Indonesia oleh kolonialisme.
Beberapa minggu kemudian, dalam pidato lain di Payakumbuh di hadapan seribu orang, dia mengatakan kebijakan Permi adalah memperlakukan imperialisme sebagai musuh. Meski mendapat peringatan dari seorang pejabat, dia melanjutkan dengan sekali lagi mengatakan bahwa Alquran menyebut imperialisme sebagai musuh Islam.
Dia memproklamirkan, “Kita harus mencapai kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan harus datang.”
Tak lama setelah itu dia ditangkap dan didakwa dengan “menebar kebencian”, menjadi wanita Indonesia pertama yang didakwa dengan Speekdelict -pelanggaran berbicara.
Dia kemudian dijatuhi hukuman 15 bulan penjara, yang membuatnya terkenal secara nasional karena jejak dan hukumannya dilaporkan secara luas. Dia menggunakan persidangannya untuk menyerukan kemerdekaan, dan menarik dukungan luas.
Dia dipenjara di Semarang, Jawa Tengah. Lebih dari seribu orang datang untuk menyaksikan keberangkatan kapal yang membawanya ke Jawa.
Rasuna Said sempat ditangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail, dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.
“Kita berjuang dengan keyakinan! Jika kita menang dalam perjuangan kita, kita akan mendapatkan dua manfaat. Pertama, Indonesia akan merdeka; kedua, surga seperti yang dijanjikan Allah. Dan jika kita gagal -tapi tidak boleh- maka memang Indonesia merdeka tidak akan tercapai, tapi surga masih menanti. Ini adalah keyakinan kita!” demikian Surat yang dikirim Rasuna Said ke pengurus Permi sambil menunggu sidang.
Rasuna dibebaskan dari penjara pada tahun 1934. Ia belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan Permi di Padang selama empat tahun. Dia juga bekerja sebagai jurnalis, menulis artikel yang mengkritik kolonialisme Belanda di jurnal sekolah keguruan Raya.
Pada 1937 doa pindah ke Medan, kemudian kembali ke Padang setelah invasi Jepang ke Hindia Belanda. Dia ditangkap oleh Jepang karena keanggotaannya dalam organisasi pro-kemerdekaan Indonesia, tetapi dibebaskan setelah waktu yang singkat karena pihak berwenang khawatir menyebabkan ketidakpuasan publik.
Pada tahun 1943 dia bergabung dengan pasukan sukarelawan militer Giyugun yang sangat nasionalis. Pasukan ini didirikan oleh Jepang di Sumatera dan dia juga membantu mendirikan bagian wanita, Hahanokai.
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat. Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatra Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat koran mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu”. Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, “Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.” Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatra Barat.
Rasuna Said meninggal di Jakarta karena kanker darah pada 2 November 1965. Dia meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu . Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"