KONTEKS.CO.ID – Indonesia saat ini heboh dengan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh atasannya Irjen Pol Ferdy Sambo. Sebelumnya, kasus buronnya politisi PDIP Harun Masiku juga menjadi pemberitaan utama.
Padahal jauh sebelum dua kasus itu mencuat, ada satu nama yang melakukan dua hal itu sekaligus dan lebih fenomenal, yaitu Sersan Mayor Eddy Sampak. Dari segi apapun, aksi Eddy jauh melebihi Ferdy Sambo dan Harun Masiku.
Ia merampok uang gaji, membunuh empat orang tentara, dan jadi buronan selama 22 tahun. Eddy tertangkap di Banten saat sudah menjadi tokoh agama. Kini pria renta itu tengah menanti eksekusi mati.
Eddy Maulana Sampak bin Santika adalah pria kelahiran Serang, Banten, pada 1941. Ia menamatkan tamat dari Sekolah Guru Bawah (SGB) dan langsung masuk tentara pada 1957.
Sebagai serdadu, Eddy terlibat dalam hampir semua operasi militer besar di tanah air dan menorehkan prestasi kinclong.
Ia antara lain terlibat penumpasan gerombolan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Eddy Sampak juga ikut menumpas gerombolan komunis Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di Kalimantan Barat.
Ia juga ikut menumpas G30S PKI. Atas berbagai prestasinya, Eddy menerima penghargaan dan naik pangkat hingga menjadi sersan mayor.
Eddy Sampak Terobsesi Jadi Kades
Semua berawal dari obsesi Eddy Sampak menjadi kepala desa di kampungnya, Desa Kebon Jeruk, Serang, Banten. Bermodal nama besar sebagai tentara yang selalu ikut operasi penumpasan separatis, Eddy pede mencalonkan diri sebagai kades pada 1967-1969.
Namun upaya itu gagal karena banyak warga yang tidak menyukainya. Usman, saingannya yang terpilih menjadi kepala desa, tiba-tiba ditemukan tewas tertembak seminggu setelah pemilihan. Orang langsung mengaitkan kematian Usman dengan kegagalan Eddy menjadi kepala desa. Tetapi karena tidak ada bukti dan saksi yang menguatkan dugaan itu, Edi bebas melenggang meski sempat menjalai penahanan selama empat bulan.
Ambisi Eddy menjadi kades tak pernah padam. Ia kembali mencalonkan diri menjadi kepala desa di Nagrak, Cianjur, pada 1978. Kebetulan saat itu Eddy berdinas di Koramil Karang Tengah, Cianjur. Untuk memuluskan ambisinya, Eddy berutang Rp3 juta kepada teman dan rentenir untuk menyogok warga kampung agar memilihnya.
Tetapi lagi-lagi Eddy gagal. Padahal dia calon tunggal dan hanya melawan kotak kosong, tetapi tetap saja dia kalah. Dari sekitar 2000 suara, Edi hanya meraih 786 suara sebab warga desa yang memang tidak suka dengan Eddy yang temperamental.
Eddy kecewa berat sebab ia sudah sangat yakin bakal menang. Ia bahkan sudah membuat seragam kades. Terlebih, teman dan rentenir mengejarnya untuk menagih utang.
Eddy mencurigai ada persekongkolan untuk menjegalnya sebagai kades. Terlebih, Dandim Cianjur Letkol Kahyat malah menawarkan jabatan kades sementara kepada temannya, yakni Serma Sutaryat.
Ia kemudian bertekad memberi pelajaran kepada tiga orang yang menjadi biang keladi kegagalannya dalam pemilihan kepala desa yakni Serma Sutaryat, Letkol Kahyat, dan Bupati Cianjur Ajat Sudrajat.
Rencana Merampok Gaji Tentara
Eddy menyusun rencana perampokan. Ia berusaha menyogok penjaga gudang senjata agar memberinya 200 butir peluru dan lima granat tangan pada 6 Agustus 1979. Si penjaga menolak, namun Eddy tetap mencuri senjata dan peluru tersebut.
Rencananya Eddy akan merampok Serma Sutaryat yang memang bertugas mencairkan cek pembayaran gaji para anggota Kodim Cianjur. Ia mengajak beberapa orang pembajak sawah untuk ukut merampok, namun hanya Ojeng bin Rojai yang bersedia ikut.
Pada 20 Agustus 1979, Edy bersama Ojeng berboncengan motor BSA 250 cc bernomor polisi F 2933 C. Keduanya berangkat dari rumah Eddy pukul 07.00 WIB dan tiba di Kantor Pemegang Kas Militer Kodim 0607 Sukabumi empat jam kemudian.
Mereka mencari Sutaryat, namun yang bersangkutan sudah berada di Bank Karya Pembangunan Sukabumi untuk menukarkan cek gaji bulanan. Saat bertemu Sutaryat di bank, Eddy meminta lebih dulu gajinya. Sutaryat menolak sebab seluruh gaji itu harus dilaporkan ke atasannya sebelum dibagikan.
Serma Sutaryat bersama Serma Jujun, Koptu Sumpoena, dan Karsip Daeng Rusmana kembali ke Kantor Kodim Sukabumi. Eddy dan Ojeng mengikuti dengan sepeda motor. Di tengah jalan Eddy mengambil tas ranselnya titipannya di sebuah toko di Jalan Raya Ciaul. Ransel itu berisi sepucuk pistol FN 4,5 mm, senapan otomatis Carel Gustaf, 200 butir peluru, dan dua magasin.
Setiba di Kodim Sukabumi Eddy kembali menagih gajinya kepada Serma Sutaryat. Meski awalnya menolak, namun akhirnya Sutaryat memberikan uang gaji Eddy.
Tanpa alasan yang jelas, Eddy dan Ojeng memutuskan meninggalkan motor dan ikut Serma Sutaryat bersama rekan lainnya kembali ke Cianjur. Mereka menggunakan mobil minibus yang dikemudikan Iding dan kernetnya bernama Ujang Sugandi. Selain delapan orang (termasuk sopir dan kernet) itu, ada dua orang lagi penumpang mobil itu yang tak diketahui identitasnya.
Pembantaian di Kebun Teh
Saat mobil melaju di daerah Gekbrong, Eddy meminta sopir keluar dari jalan raya, masuk ke perkebunan teh Gedeh menuju Kecamatan Cugenang. Eddy beralasan hendak mengambil kambing untuk persiapan Idul Adha.
Di tengah jalan Eddy meminta sopir melambatkan mobil. Tanpa curiga si sopir menuruti permintaan itu. Tiba-tiba Edi mengeluarkan senjata api di ranselnya lalu menembak Karsip dan Jujun yang duduk persis di depannya. Kemudian ia menembak Serma Sutaryat dari belakang. Dengan tenang Eddy menembaki semua penumpang, kecuali Ojeng konconya.
Mobil yang mereka tumpangi menabrak tumpukan pasir dan mesinnya mati. Iding sang sopir melompat keluar dari mobil dan lari ketakutan. Eddy menembaknya setelah Iding terus berlari. Sopir itu tersungkur lalu jatuh ke parit.
Koptu Sumpena selamat kendati tertembak di bagian bahunya. Ia diselamatkan warga dan langsung melapor ke Kodim Cianjur. Eddy yang berhasil menggondol uang gaji Rp21,3 juta kemudian membakar mobil untuk menghilangkan jejak.
Tim pemburu gabungan ABRI dan Polri bersama masyarakat langsung bergerak mencari keberadaan Eddy dan Ojeng. Empat hari kemudian aparat menangkap Ojeng. Dari tangannya polisi berhasil menyita uang Rp730 ribu dan Rp1,3 juta lainnya yang ditanam di sawah.
Operasi perburuan Eddy terus berlanjut. Ia sempat terkepung di daerah Pasir Datar, Sukabumi. Saat itu terjadi baku tembak yang menewaskan seorang warga. Eddy tertembak, namun ia masih berhasil melarikan diri.
Pada 28 Agustus 1979 Eddy ditangkap oleh pasukan Batalyon 327 Brawijaya pimpinan Serma Said. Dari tangannya tim berhasil menyita uang Rp3.750.000.
Eddy menjalani penahanan di RTM di Cimahi. Ia menjalani sidang koneksitas di Pengadilan Militer II/09 Bandung pada 14 Mei 1981. Pada 12 Juni 1981, Pengadilan Militer mengganjar Edi hukuman mati. Eddy tak memperlihatkan raut penyesalan mendengar vonis mati itu.
Mahkamah Agung (MA) menguatkan vonis mati terhadap Eddy pada 18 Juni 1983. Eks tentara ini mengajukan grasi kepada Presiden daripada Soeharto, namun penguasa Orde Baru ini menolak permohonan grasi Eddy.
Buron 22 Tahun
Saat berada di bui menunggu eksekusi mati, ternyata Eddy berhasil kabur dari Rumah Tahanan Militer (RTM) Poncol, Baros, Cimahi pada 24 Desember 1984. Sejak itu ia hilang bak tertelan bumi.
Saat aparat menangkapnya 22 tahun kemudian, Eddy menuturkan sesaat setelah kabur ia langusng menuju Serang, Banten, dan membuat KTP palsu dengan nama Sidik. Dengan identitas barunya, Eddy berkeliling sejumlah kota seperti Palembang, Lampung, Jambi, dan Bengkulu.
Selama pelarian itu, Eddy menggeluti beragam profesi, dari pedagang hingga menjadi ustaz. Ia rajin mengirimkan wesel kepada istri ketiganya, Saeti, yang tinggal di Jayanti, Tangerang. Eddy mengawini Saeti sebelum pembantaian empat tentara itu terjadi.
Setelah merasa aman, Eddy pun menetap di Tangerang.
Menurut tetangganya, sebenarnya sebagian warga tahu siapa sebenarnya suami Saeti ini. Tetapi Eddy meyakinkan warga bahwa kasusnya sudah selesai. Warga pun percaya. Saat itu Eddy sudah menjadi tokoh masyarakat, bahkan dianggap sebagai ustaz dengan panggilan Abah Eddy.
Hari keberuntungan Eddy berakhir pada 22 Februari 2006. Polisi Militer (PM) berpakaian preman datang ke rumahnya sebagai tamu. Si tamu dengan ramah mengaku datang dari Garut dan menyalami Abah Eddy yang saat itu berusia 67 tahun.
Sesaat Eddy keheranan. Dengan cekatan si tamu memborgol Eddy dan langsung mengajak masuk ke dalam mobil.
Saat tiba di Pemasyarakatan Militer Cimahi, Eddy baru sadar bahwa pelariannya selama 22 tahun sudah berakhir.
Lucunya, penangkapan ini tak lepas dari kecerobohan dan kebodohan Eddy sendiri. Bersama beberapa koleganya, Eddy mendirikan dua media lokal. Nama Maulana Eddy Sampak tercantum dalam kolom redaksi Tabloid Alternatif dan Koran Surya Pos Banten sebagai penasehat dan pembina.
Meski susunan namanya terbalik, aparat tetap curiga bahwa itu adalah Eddy Maulana Sampak sang buronan legendaris. Saat ini Eddy mendekam di Nusakambangan.
Meski usianya sudah renta, sekitar 84 tahun, Eddy masih tetap harus menghadapi eksekusi mati. Sebab, Presiden Jokowi menolak grasi yang ia ajukan pada 2015 lalu.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"