KONTEKS.CO.ID – Beberapa tahun belakangan ini heboh aksi begal di banyak wilayah di Indonesia. Di Yogyakarta, misalnya, aksi begal terkenal dengan istilah klithih. Aksi yang sama juga kerap terdengar di Bandung.
Bukan cuma mengambil barang milik korban, para begal ini tidak segan-segan melukai hingga membunuh para korbannya.
Laman bombastis.com mencatat setidaknya ada lima daerah di Indonesia yang marak aksi begal. Lima daerah yang tenar dengan kesadisan para begalnya adalah Lampung, Makasar, Depok, Tangerang, dan Pasuruan.
Aksi begal di berbagai wilayah ini sudah memakan banyak korban. Eksesnya adalah muncul efek ketakutan di masyarakat.
Selain itu, muncul pula rasa tidak percaya atas kemampuan aparat negara dalam menjaga keamanan masyarakat. Tak heran sering terjadi masyarakat yang memberi hukuman sadis di tempat terhadap para pelaku begal atau pelaku kriminal lain yang tertangkap.
Beberapa puluh tahun lalu, tepatnya saat rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, berbagai tindak kejahatan sadis juga terjadi di tengah masyarakat.
Kriminalitas di kota besar, kota-kota satelit, hingga sudut-sudut kota kecil di Indonesia, marak terjadi. Para gali atau preman kerap melakukan pemerasan dan perampokan sehingga meresahkan masyarakat sejak akhir 1970-an hingga awal 1980an.
David Bourchier dalam Crime, Law, and State Authority in Indonesia, menyebutkan bahwa permasalahan munculnya preman dan gali di pinggiran kota merupakan kesalahan rezim Orba itu sendiri. Sistem ekonomi dan tata kelola finansial yang buruk membuat Rezim Orde Baru terjebak dalam krisis ekonomi.
Akibatnya, banyak masyarakat terjebak dalam kemiskinan. Ini kemudian membuat para preman dan gali melihat bahwa kejahatan merupakan jalan satu-satunya untuk keluar—atau sekadar bertahan—di tengah gempuran kemiskinan.
Ciri Simpel Penjahat Versi Orba
Akibat dari meningkatnya kriminalitas di masyarakat, di masa pemerintahan Presiden daripada Soeharto, ada ‘kebijakan’ sadis yang membuat nyawa menjadi berharga murah. ‘Kebijakan’ penembak misterius atau Petrus bisa dibilang penuh pro-kontra, bahkan sampai saat ini.
Buat sebagian kalangan, setidaknya ada tiga peristiwa di era rezim Orba yang masuk kategori mencekam. Pertama adalah pembersihan unsur-unsur komunis yang kabarnya memakan korban hingga 1 juta jiwa. Kedua saat pemerintah menjalankan kebijakan Petrus, dan terakhir adalah era penculikan aktivis prodemokrasi pada tahun 1997-1998.
Petrus adalah bagian dari operasi pemberantasan kejahatan operasi yang menyasar orang-orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal, khususnya preman atau para begal.
Pertanyaannya, bagaimana cara mengidentifikasi seseorang preman atau bukan? Apakah ada data valid mengenai cacatan kriminal seseorang? Apakah orang itu tertangkap basah sedengan melakukan kriminalitas?
Simplisitas adalah kata kunci ala Orba dalam mengidentifikasi preman. Cukup dengan tampilan fisik berambut gondrong, badan bertato, dan punya bekas luka, maka orang tersebut masuk kriteria ‘dicurigai’ sebagai preman.
Untuk memahami Petrus, kita harus memahami dulu mengenai mindset pemerintahan Orba yang sangat berbeda dengan Orla. Setelah menggulung komunis dan antek-anteknya dari Indonesia, rezim Orba menunjukkan perubahan drastis.
Saat mendapatkan kekuasaan dari pemerintah sebelumnya, Orba mewarisi krisis ekonomi terparah dalam sejarah. Ini belum termasuk isu-isu separatisme di banyak wilayah dan berbagai masalah lain.
Mantra Bernama Stabilitas
Menghadapi semua ini, Orba berusaha menciptakan stabilitas dan kesejahteraan. Segala cara dilakukan agar dua hal ini tercapai, termasuk mengorbankan kebebasan individual demi kepentingan bersama.
Tujuan utamanya adalah menciptakan stabilitas sebagai landasan pertumbuhan ekonomi. Stabilitas dan pembangunan ini kemudian meningkatkan jumlah pendatang di kota-kota besar untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Sayangnya banyak di antara mereka yang kurang beruntung. Orang-orang yang kurang beruntung ini akhirnya mencari jalan lain untuk tetap bertahan hidup, salah satunya dengan melakukan tindakan kriminal.
Tidak heran di awal 1980an kriminalitas seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan mulai meningkat drastis di sejumlah kota besar.
Pada Maret 1982, Presiden daripada Soeharto dalam sebuah rapat meminta kepada ABRI dan Polri untuk mengambil langkah efektif dalam menekan tingginya kriminalitas. Soeharto kembali mengulang permintaannya pada 16 Sgustus 1982.
Dalam sebuah rapat koordinasi pada Januari 1993, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengambil keputusan menggelar “Operasi Clurit” di seluruh provinsi.
Awalnya Hanya Mendata
Dandim 0734 Yogyakarta Letkol M Hasbi adalah penguasa militer wilayah yang pertama kali memulai operasi pemberantasan kejahatan pada Maret 1983.
Pada awalnya operasi ini hanya untuk mendata para mantan pelaku kriminal yang menyerahkan diri. Namun operasi ini justru berkembang jauh lebih mengerikan dari hanya sekadar mendata.
Mereka yang bertugas sebagai eksekutor lapangan tidak segan menembak mati siapa saja yang mereka anggap sebagai sampah masyarakat.
Secara terbuka Letkol Hasbi mengakui hal itu. “Landasan hukumnya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat,” kata Hasbi di Kompas edisi 15 April 1983.
Akhirnya operasi itu berlanjut ke berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Ada beragam cara dan strategi untuk ‘mengambil’ para gali dan preman, yakni menculik, menjebak dengan umpan teman si preman itu sendiri, atau memanggil preman ke kantor polisi.
Uniknya, preman yang mendekam di tahanan pun tidak otomatis aman. Kerap terjadi serombongan orang menjemput tahanan dari dalam sel lalu mengeksekusinya.
Mayat para preman ini tergeletak begitu saja di tengah jalan, di semak-semak, di emperan toko. Namun yang paling sering adalah penemuan mayat di dalam karung.
Umumnya jasad yang tergeletak itu memiliki ciri yang sama yaitu bertato. Tujuannya satu, sebagai shock therapy bagi masyarakat.
Oleh sebab itu, hampir semua media saat itu ikut sibuk memberitakan mengenai kasus ini. Media massa menampilkan jasad-jasad bertato dengan lubang peluru di kepala, leher, ataupun dada.
Kolaborasi Penguasa-Preman dalam Politik
Sejarah preman dan penguasa sebenarnya tidak selalu berhadap-hadapan. Sebab, kala itu ada adagium bahwa penguasa sendiri adalah ‘preman yang legal’.
Dalam beberapa kasus, kerap kali para penguasa juga ikut menggunakan jasa preman dalam permainan politik.
Salah satunya adalah kisah Bathi Mulyono yang merupakan pentolan preman. Ia adalah Ketua Yayasan Fajar Menyingsing, sebuah yayasan yang menghimpun para residivis dan pemuda preman di daerah Jawa Tengah.
Organisasi ini berdiri atas restu Gubernur Jawa Tengah (kala itu) Soepardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto, dan pengusaha Sutikno Wijoyo. Nama terakhir ini yang kerap disapa Pak Tik merupakan orang dekat mantan Presiden daripada Soeharto.
Dengan bekingan dari para elite Jawa Tengah, Bathi menjalankan sejumlah bisnis di organisasinya, mulai dari jasa broker sampai bisnis lahan parkir di wilayah Jawa Tengah.
Relasi preman dan pejabat politik tak hanya di bidang bisnis. Ada pula kelompok preman sewaan yang menjadi kelompok milisi pada masa kampanye.
Contohnya pada kampanye Pemilu 1982, Bathi cs menjadi salah satu kelompok preman yang disewa oleh parpol tertentu. Mereka bertugas memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada saat itu sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Akibat provokasi dari pihak preman, terjadi kericuhan yang memakan banyak
korban dalam peristiwa Lapangan Banteng.
Sejumlah orang ditangkap dengan tuduhan menjadi provokator. Namun para preman sewaan seperti Bathi dkk tidak tersentuh sama sekali.
Malah, Ali Moertopo yang saat itu bertugas di Bakin tertuduh sebgai dalam kerusuhan tersebut. Soeharto memecat Ali dan sejak saat itu ia hilang dari panggung politik nasional.
Memburu Bathi Mulyono
Status Bathi Mulyono sebagai preman yang dekat dengan penguasa dan Ketua Yayasan Fajar Menyingsing tidak membuatnya aman dari para Petrus.
Pada Juli 1983, mendadak dua motor yang melajukencang menyalip mobil Bathi yang sedang melintas di Jalan Kawi, Semarang. Pengendara di dua motor itu lalu menembak kaca mobil Bathi dan 2 peluru menembus mobilnya. Para pemotor langsung pergi begitu saja.
Beruntung Bathi masih selamat dalam peristiwa ini.
Bathi pun memutuskan lari dan hidup secara nomaden. Ia tidak pernah pulang ke rumahnya meskipun sang istri sedang hamil tua. Sebab, Bathi merasa dirinya akan menjadi buruan para Petrus.
Ia bersembunyi di Gunung Lawu sejak peristiwa penembakan itu. Ia baru turun gunung pada 1985 saat Petrus sudah mereda.
Ada cerita menarik Bathi dalam masa pelariannya. Ia mengalami kejadian tak terlupakan sepanjang hidupnya di kawasan Rembang, Jawa Tengah.
Saat hari sudah gelap, Bathi mencari tumpangan. Mobil bak terbuka berhenti dan sopirnya bersedia membawanya ke arah Blora. Di bak belakang, ada sejumlah karung yang ternyata berisi manusia. Pada jarak tertentu, karung itu diturunkan dan orang-orang yang ada di dalamnya ditembak.
“Saya enggak bisa mengungkapkan bagaimana jeritan mereka, permohonan ampun mereka, yang sedemikian rupa menyayat hati. Saya tahu ternyata karung ini isinya manusia, yang disebut gali atau preman yang akan dieksekusi. Diturunkan dipinggir jalan, dor dor dor..,” papar Bathi kepada VoA.
“Bayangkan, saya target utama. Saya ada di pick up itu, dan disitu ada karung-karung berisi manusia yang harus dieksekusi sepanjang jalan,” tambahnya saat bercerita dalam diskusi terkait Petrus di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah.
Beruntung, para eksekutor malam itu tidak mengenal Bathi.
“Saya menghadapi dengan mata kepala saya sendiri,teman-teman yang dieksekusi. Saya tidak bisa menirukan jeritan, ratapan mereka,” ujarnya lagi.
Ultimatum Tanpa Nama, Banyak Salah Sasaran
Tidak semua orang seberuntung Bathi. Ribuan orang lainnya meregang nyawa atau tertangkap.
Operasi pemberantasan kejahatan yang berjalan sejak 1983 memang berhasil menurunkan tingkat kejahatan. Kriminalitas di Yogyakarta dan Semarang mengalami penurunan yang paling drastis.
Karena dinilai berhasil, pemerintah terus menjalankan operasi ini. Intelijen kepolisian menyerahkan daftar orang-orang yang termasuk daftar tersangka kejahatan kepada komandan Garnisun. Militer kemudian menyerukan ultimatum publik kepada semua gali dan preman agar sesegera mungkin menyerahkan diri ke markas Garnisun.
Anehnya seruan Garnisun tidak spesifik menyebut nama. Jadi siapa saja yang merasa sebagai gali dan preman harus datang dan menandatangani pernyataan tidak akan melakukan kejahatan.
Tidak munculnya daftar nama secara spesifik ternyata merupakan taktik agar masyarakat sadar akan tindakan mereka dan hati-hati dalam bertindak. Mereka yang merasa sebagai preman bahkan banyak yang putus asa dan menyerahkan diri.
Hingga Mei 1983 sebanyak 441 orang telah menyerahkan diri.
Korban Petrus sendiri pada 1983 tercatat 532 orang tewas dan 367 orang terluka karena tembakan. Sedangkan pada 1984 terdapat 107 orang tewas, dan 74 orang lainnya tewas pada 1985.
Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan, total korban Petrus lebih dari 1000 korban dengan puncak tertinggi terjadi pada 1983.
Korban Petrus pun tidak spesifik pada golongan preman. Bahkan mereka yang bertato meskipun belum tentu preman juga bisa menjadi korban Petrus.
Terkadang para eksekutor preman ini salah target. Sejumlah orang biasa
seperti petani, penjaga masjid, bahkan seorang PNS. Mereka ini menjadi korban lantaran memiliki nama yang sama dengan target yang terdapat di dalam daftar.
Peristiwa Petrus ini akhirnya menjadi perhatian dunia internasiona. Sejumlah organisasi seperti Amnesty International mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia. Mereka menyoroti kebijakan operasi Petrus yang melanggar HAM. Sayangnya kecaman ini tidak mendapat tanggapan memadai.
Pro Kontra Petrus
Reaksi beragam muncul dari para tokoh menyangkut pemberitaaan maraknya aksi Petrus dan kecaman internasional. Kepala Bakin (kini BIN) saat itu Yoga Soegama menganggap pertanyaan tentang kematian para preman adahal hal yang tidak perlu.
Yoga beranggapan bahwa ada kepentingan yang lebih besar ketimbang hanya mempersoalkan kematian para preman.
Namun tokoh pemuda angkatan 1945 seperti Adam Malik memberikan respons yang berbeda. Mantan Wapres ini mengecam Petrus dan menilai eksekusi penjahat tanpa proses peradilan adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum. “Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara dalam kehancuran,” ucap Adam Malik.
Kendati berhasil menurunkan angka kriminalitas, Presiden daripada Soeharto tetap menunjukkan sikap enggan mengakui keterlibatan militer dalam kasus Petrus.
Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani yang kabarnya salah satu dari perancang operasi ini menyebut peristiwa tewasnya para gali dan preman adalah dampak dari perang antargeng.
Namun beberapa tahun kemudian Soeharto secara implisit mengakui bahwa Petrus adalah kebijakannya.
Dalam buku otobiografi “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, Soeharto berargumen bahwa Petrus merupakan langkah efektif untuk mencegah kejahatan. Tindakan tegas terhadap para preman itu demi menimbulkan efek jera agar tidak melakukan tindak kriminal.
Operasi Petrus sendiri berakhir secara penuh pada 1985.
Upaya Hukum Mandeg
Tetapi selama bertahun-tahun, Bathi dan survivor Patrus lain yang berjuang agar negara mengusut kasus pelanggaran HAM di era Soeharto ini, menemui tembok tebal. Tidak hanya bagi para korban, tetapi juga untuk istri dan anak mereka yang masih hidup sampai saat ini.
Padahal, Presiden Jokowi telah menyatakan peristiwa Petrus 1982-1985 sebagai sebagai pelanggaran HAM berat. Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi berjanji akan memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana. Antara lain berupa kompensasi, rehabilitasi, dan beasiswa kepada keluarga korban.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut upaya ini bukan hanya soal keadilan bagi Bathi dan korban lain. “Yang tidak kalah pentingnya adalah soal rekoleksi memori, akan kekejaman-kekejaman yang terjadi di masa lampau dan sampai saat ini belum terpecahkan,” papar dia mengutip VoA.
Selain itu, peristiwa ini juga penting untuk dipahami generasi muda Indonesia, yang mungkin sama sekali tidak mengerti tentang sejarah Petrus.
Beka memastikan, Komnas HAM sudah bergerak secara resmi sejak 2008, karena Petrus merupakan pelanggaran HAM di masa lalu.
“Pada 2008, Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa penembakan misterius periode 82-85, yang bekerja sejak Juli 2008 sampai dengan Agustus 2011,” ujarnya.
Tim itu telah meminta keterangan kepada total 115 orang. Rinciannya adalah 95 orang saksi, 14 saksi korban, 2 orang saksi aparat sipil, 2 saksi purnawirawan TNI, dan 2 saksi purnawirawan Polri. Tim juga memeriksa 10 lokasi kejadian serta sejumlah dokumen.
Namun upaya ini tidak berjalan mulus. Saksi purnawirawan TNI dan purnawirawan Polri menolak datang, dan ada intimidasi kepada korban yang akan memberikan keterangan.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"