KONTEKS.CO.ID – Kasus kriminal selalu terjadi di berbagai belahan dunia dan menjadi viral, termasuk kriminalitas zaman Hindia Belanda. Sedikitnya ada tiga kasus di era itu yang mengerikan dan menarik perhatian besar dari masyarakat.
Tiga kasus kriminal tersebut sangat viral pada masanya. Musababnya, melibatkan orang-orang terkenal Hindia Belanda. Meski terjadi dalam rentang waktu berbeda dan berjauhan tapi memiliki benang merah sama yakni seks dan percintaan.
Kasus pertama melibatkan seorang perempuan Indo Belanda bernama Fientje de Feniks. Kedua, Tuan Darma yang mengajar di salah satu kampus keguruan yang tersohor bernama Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra).
Sedangkan kasus ketiga, kasus kriminal yang melibatkan seorang pemuda Tionghoa bernama Oey Tambah Sia.
Berikut tiga kasus kriminal paling fenomenal di era Hindia Belanda:
Kriminalitas Zaman Hindia Belanda: Pembunuhan Fientje de Feniks
Kasus pembunuhan seorang perempuan Indo Belanda bernama Fientje de Feniks, seorang pelacur kelas atas yang bekerja dan menjadi primadona di sebuah rumah bordil Oemar Ompong yang terkenal di Batavia.
Pembunuhnya, seorang Belanda totok bernama Gemser Brinkman. Pembunuhan Fientje de Feniks pertama kali terungkap pada Jumat, 17 Mei 1912 yang membuat gempar penduduk Batavia.
Pada hari itu, sosok mayat perempuan cantik blasteran Eropa dan pribumi dengan mata bulat, hidung mancung dan rambut hitam panjang mengapung di dalam karung beras. Mayat dalam karung itu tersangkut di pintu air kawasan Kalibaru, Senen.
Saat penemuan, kedua tangannya terikat dengan kondisinya mengenaskan. Awalnya, penduduk menyangka jenazah tersebut adalah seorang wanita China karena terlihat mengenakan sarung dan kebaya.
Belakangan diketahui, mayat wanita itu adalah Fientje de Feniks. Dia merupakan seorang pelacur kelas atas yang sangat tersohor di Batavia berusia 19 tahun.
Informasi lain menyebutkan bahwa Fientje merupakan anggota dari rumah plesiran yang dikelola mantan pelacur kelas atas bernama Jeanne Oort.
Tak pelak, kematian Fientje membuat Batavia heboh. Pasalnya, ini adalah kasus pembunuhan pertama dengan latar belakang kekerasan dan seksual.
Komisaris Besar Polisi Ruempol yang menangani kasus tersebut. Meski tak pernah menangani kasus serupa sebelumnya, Ruempol langsung bergerak mengumpulkan bukti dan saksi-saksi.
Salah satu yang diinterogasinya adalah Oemar Ompong, pemilik rumah bordil. Dia lantas mendapatkan keterangan seorang bernama Gemser Brinkman. Dia merupakan Belanda totok yang kerap datang ke rumah Oemar Ompong dan menyewa Fientje de Feniks.
Keterangan lain menyebutkan bahwa Gemser Brinkman adalah orang yang terakhir kali bersama Fientje de Feniks, sang primadona.
Bukan Orang Sembarangan
Ruempol sempat terkejut begitu tahu nama Gemser Brinkman terkait pembunuhan Fientje. Sebab, Brinkman bukan orang sembarangan. Dia sosok terhormat yang tergabung dalam Societeit Concordia, sebuah klub mewah yang beranggotakan orang penting hingga saudagar di zaman Hindia Belanda.
Sekadar informasi, Societeit Concordia merupakan pusat hiburan para kaum elite Eropa. Di sini terjalin koneksi antara para pengusaha, pejabat dan para petinggi militer.
Hanya sedikit orang terdaftar yang bisa masuk ke Societeit Concordia. Tempat ini menyediakan perpustakaan dan meja baca, dengan banyak buku dan jurnal. Kemudian, minuman keras dan hidangan ala Eropa hingga meja kartu dan biliar.
Meski terkejut, Ruempol rupanya tak gentar. Berdasarkan penyelidikan Ruempol akhirnya mengetahui jika orang yang membuang mayat Fientje bernama Silun, orang suruhan Brinkman yang mendapat bayaran sejumlah uang Gulden.
Lantaran melibatkan kekuatan uang dan status sosial Brinkman, penyelidikan kasus tersebut sempat mendapat hambatan. Namun akhirnya Ruempol berhasil membawa Brinkman ke pengadilan.
Brinkman Tak Berkutik
Di pengadilan, Brinkman yang merasa punya koneksi hingga kekuasaan bersikap sangat santai Dia menyewa seorang pengacara terkenal bernama Hoorweg. Bahkan, dia juga mencoba menyuap jaksa penuntut, Wedana Weltevreden sebesar 3.000 gulden dan asisten jaksa sebesar 2.000 gulden.
Dengan uang suap dan koneksinya, Brinkman yakin akan bebas. Apalagi, saat itu posisi orang Belanda dengan para Indo dan pribumi berbeda jauh ibarat langit dan bumi.
Tapi Brinkman dibuat tak berkutik ketika para saksi hadir. Seorang saksi Rosna (ada yang menyebut Raona), PSK kawan Fientje mengaku Brinkman-lah yang membunuh. Saat itu, dia mengintip dari balik bilik bambu.
Dalam sidang kemudian terungkap motif Brinkman menghabisi nyawa Fientje. Dia ingin Fientje menjadi gundiknya. Awalnya, Fientje setuju dengan keinginan Brinkman itu. Namun, dia kembali menjadi PSK lantaran Brinkman ternyata sudah punya gundik lain.
Brinkman yang sangat dihormati merasa dirinya telah dilecehkan. Dia cemburu dan tersinggung hingga naik pitam. Dia lantas mencekik Fientje hingga tewas.
Hakim pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis mati terhadap Brinkman. Tapi dia tak pernah menjalani hukuman tersebut. Sebabnya, dia mati bunuh diri pada hari eksekusi.
Brinkman tak percaya bahwa dirinya, seorang kulit putih harus menebis kejahatannya dengan nyawanya sendiri. Dia depresi dan membunuh dirinya sendiri di penjara.
Kasus Tuan Darma dan Mien Knust
Tuan Darma merupakan seorang pengajar di salah satu kampus keguruan yang tersohor bernama Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra). Kasus ini terjadi pada tahun 1904 di Bandung.
Kasus pembunuhan berlatar kisah cinta segitiga ini sangat menghebohkan masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu.
Wartawan senior Rosihan Anwar dalam buku gubahannya berjudul “Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia: Jilid 1” yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kompas pada 2004 menceritakan rumit dan sensasionalnya kasus ini.
Rosihan menyebut, kematian Darma terkait dengan Mien Knust, anak tirinya yang dinikahinya setelah istri pertamanya meninggal.
Sebenarnya Mien sang anak tiri tidak mau menikahi ayah tirinya yang berasal dari Bali itu. Tapi karena paksaan keluarga akhirnya Mien menerima pernikahan itu.
Seiring berjalannya waktu, rumah tangga Darma dan Mien tidak harmonis. Mien kemudian selingkuh dengan Yohanes, seorang pemuda Armenia yang usianya 24 tahun lebih muda dari Darma. Di sinilah awal pembunuhan cinta segitiga itu.
Mien Minta Yohanes Bunuh Darma
Kepada Yohanes, Mien berjanji akan memberika uang 1000 Golden jika mau membunuh Dharma. Keduanya lantas menyusun rencana.
Rencana pembunuhan Darma menggunakan racun hingga mencoba menyelinap ke rumahnya. Namun, rencana itu gagal. Yohanes kemudian mengajak seorang pemuda asal Ambon bernama Baludi untuk membunuh Darma.
Modusnya, Baludi akan bekerja sebagai pembantu di rumah Darma. Tapi Darma rupanya menolak memperkerjakan pembantu baru. Rencana tersebut pun lagi-lagi menemui kegagalan.
Yohanes kemudian menyuruh Baludi menyusup ke rumah Darma lantaran terus mendapat paksaan dari Mien. Saat pembunuhan, Mien sedang tidur di samping Darma ketika Baludi menyerang Darma hingga tewas dengan kepala tertebas pada 3 April 1904 di rumahnya di Bandung.
Tak lama, polisi menangkap Yohanes dan Baludi dan membawanya ke persidangan. Dalam persidangan, anak angkat Darma bersaksi jika pembunuhan itu didalangi oleh Mien, ibu angkatnya sendiri.
Namun, tidak ada yang tahi bagaimana nasib Nyonya Mien sebagai tertuduh dalang pembunuhan ini tragis tersebut.
Oey Tambah Sia Sang Playboy Batavia
Seorang playboy kaya berlatar belakang Tionghoa-Indonesia, Oey Tamba Sia. Namanya juga kerap tertulis sebagai Oeij Tambah Sia atau Oey Tambahsia. Dia tewas dengan hukuman gantung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Oey Tambah Sia yang hidup di antara tahun 1820-an hingga 1850-an menjadi legenda penjahat kelamin. Bahkan cerita hidupnya kembali tertutur puluhan hingga 100 tahun kemudian.
Kisahnya juga terdapat dalam buku Tambahsia: Soewatoe tjerita jang betoel soedah kedjadian di Betawi antara tahoen 1851-1956 (1903), dengan penulis Thio Tjin Boen.
Penulisan buku tersebut pada tahun 1903 atau sekitar 50 tahun setelah kematian sang playboy.
Oey Tambah Sia merupakan anak dari Oey Thoa atau Oey Thoa, seorang yang kaya raya dan berpengaruh dan mendapat pangkat kehormatan Letnan tituler dari Pemerintah Kolonial. Sebenarnya, Oei Thoa punya anak laki-laki lainya bernama Oey Makau atau Oei Makau. Namun, sifat keduanya berbeda jauh.
Ketika sang ayah meninggal, Oey Tambah Sia mewarisi kekayaan sang ayah yang sangat banyak. Saat itu usianya baru 15 tahun, dia bersama adiknya menerima warisan beberapa bidang tanah di Pasar Baru Tangerang yang sewanya sebesar 95.000 gulden setahun.
Selain itu, ada sejumlah properti di daerah pintu kecil Batavia dengan biaya sewanya 40.000 gulden setahun.
Tak pelak, dengan jumlah harta berlimpah membuat Oey Tambah Sia lupa diri. Dia kerap menghambur-hamburkan uang dan bermain perempuan.
Pria flamboyan ini kerap menghabiskan uangnya untuk menghisap candu, minum arak, berjudi dan main perempuan.
Konon menurut cerita, setiap kali Oey Tambah Sia buang air besar banyak orang menunggu dekat jambannya di jalan toko Tiga Glodok. Di daerah itu terdapat kali tempat biasa buang air besar.
Orang-orang menunggu dia buang air besar. Sebabnya, Oey Tambah Sia cebok memakai uang kertas. Uang kertas untuk membersihkan pantatnya itu dia buang ke sungai dan kemudian jadi rebutan orang-orang.
Ganggu Anak Gadis dan Istri Orang
Kelakuan Oey Tambah Sia yang terkenal tampan dan pandai bergaya itu sangat meresahkan warga Batavia. Dia gemar mengganggu anak gadis dan istri orang.
Bahkan, Tambah Sia tidak segan-segan menyiksa pesaingnya saat ingin merebut seorang wanita. Dalam persaingan tersebut tidak sedikit yang berujung kematian.
“Dengan mempergunakan kekayaannya, dia memelihara hubungan baik dengan para pembesar Belanda yang ternyata juga banyak yang korup dan bersedia menjadi pelindungnya. Dia merasa dengan uangnya dia dapat memperoleh segala apapun yang dia inginkan, tanpa menghiraukan kerugian yang dia timbulkan kepada orang lain,” tulis Benny G Setiono di buku “Tionghoa dalam Pusaran Politik”.
Dia hobi berkeliling kota menunggangi kuda Australia pada pagi dan sore hari untuk menemani perempuan-perempuan cantik. Setiap bepergian, setidaknya tiga orang pengawal selalu menemaninya.
Oey Tambah Sia juga memiliki sebuah rumah peristirahatan di Ancol dengan nama bintang Mas. Di rumah itu dia menyimpan para gundik dan wanita-wanita penghibur yang setiap saat dapat menemaninya.
Salah satu wanita yang berhasil dirayu dan ditempatkan di bungalow-nya itu adalah istri seorang pedagang kelontong di Tongkangan bernama Khoe Tjin Yang. Lantaran istrinya diambil orang, si pedagang pun menjadi stres dan gila.
Kelakuan Oey Tambah Sia rupanya sampai di di telinga ibunya dan menyuruh anaknya itu untuk menikah agar dia berubah. Oey lantas menikah dengan seorang perempuan Tionghoa dari keluarga Sim Hong Nio.
Pernikahan keduanya berlangsung dengan pesta besar-besaran. Tapi perkawinan itu hanya bertahan seminggu. Oey Tambah Sia menemukan seorang wanita yang sangat istimewa bernama Mas Ajeng Gunjing.
Kriminalitas Zaman Hindia Belanda:Â Oey Bunuh Sutejo
Ajeng Gunjing merupakan seorang pesinden dari Pekalongan yang berhasil ia ajak tinggal di Bintang Mas.
Meski sangat mencintai Ajeng Gunjing, Oey rupanya tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaan buruknya berburu gadis, janda, maupun istri orang.
Suatu kali Ajeng Gunjing yang sedang sakit kedatangan tamu seorang lelaki bernama Mas Sutejo dari Pekalongan yang merupakan saudara kandung dari Ajeng Gunjing.
Oey yang cemburu lantas memerintahkan centengnya untuk membunuh Sutejo. Tak hanya Sutejo, atas perintah Oey Tambah Sia, centeng-centengnya juga menghabisi beberapa nyawa lainnya.
Polisi kemudian menangkap Oey Tambah Sia dan menyidangkannya. Hakim menjatuhkan vonis hukuman gantung.
Oey Tambah Sia akhirnya menjalani vonis hukuman gantung di depan Balai Kota, Taman Fatahillah. Ratusan warga Batavia menyaksikan hukuman mati yang diperkirakan terjadi di tahun 1851 itu.
Alwi Sahab dalam buku Batavia Kota Hantu menuturkan, pada hari eksekusi Oey Tambah Siasiap tampak gagah berjalan sendiri menaiki tangga tiang gantungan.
Tidak nampak rasa takut di wajahnya. Semua penonton yang berdiri di sekitar tiang gantungan kagum melihat keberaniannya.
Bahkan saat algojo mulai memasukkan tali gantungan ke lehernya Oey Tambah Sia malah berseloroh.
Dia berkata kepada sang algojo. “Di kantong bajuku ada selembar uang kertas 50 gulden untuk kau punya upah,” ujarnya.
“Namun aku minta kau jangan terlalu bengis jiret batang leherku”.****
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"