KONTEKS.CO.ID – Orang mengenalnya dengan nama Oesin Batfari atau Oesin Jagal. Padahal nama aslinya adalah Husein bin Umar Batfari alias Oesin Bestari. Ia merupakan orang pertama yang menjalani eksekusi hukuman mati di Indonesia.
Nama Oesin Batfari viral di era 1960an dan 1970an. Ia menjadi newsmaker bukan karena prestasi, melainkan kejahatannya yang luar biasa sadis dan tak terampuni. Dengan entengnya Oesin menghabisi nyawa puluhan pedagang relasi bisnisnya di sepanjang tahun 1961 hingga 1964.
Oesin Batfari membunuh korbannya dengan bantuan adiknya, Alwi bin Umar Batfari alias Mamak. Satu sosok lain yang juga si jagal ini adalah Andi Iteng, pembantu di rumahnya.
Kisah kejahatannya termuat dalam buku Oesin Penjagal Manusia karya Ham Djoe Hio pada 1964. Cerita tentang Oesin ini juga muncul dalam laporan Jacob Vredenbregt di Majalah Bzzletin edisi tahun 1992-1993 yang berjudul Hoesin bin Oemar Batfari, Handelaar in Huiden (Hoesin bin Oemar Batfari, Pedagang Kulit).
Oesin Batfari, Jagal Kambing Sekaligus Penjagal Manusia
Sekitar tahun 1961, pria keturunan Arab kelahiran Krian, Sidoarjo, pada 1926 ini menikahi Rafiah, perempuan Jawa asal Mojokerto. Setelah membina rumah tangga, Oesin memutuskan untuk hidup mandiri terpisah dari orang tuanya. Ia menyewa sebuah rumah di Kampung Kalimati, milik keluarga Mas’ud.
Selama hidup di kampung itu, warga mengenal Oesin sebagai sosok yang baik. Setelah bapaknya meninggal, ibu Oesin kemudian ikut pindah ke rumah Oesin. Sebagai anak tertua, Oesin juga meneruskan profesi bapaknya sebagai jagal kambing.
Di rumah itulah Oesin menghabisi korban-korbannya. Setiap akan melancarkan aksinya, Oesin meminta keluarganya, termasuk istrinya Rafiah dan anak-anaknya, untuk pergi ke rumah kerabat. Alasannya selalu sama: ia harus menerima seorang kawan bisnis penting dan tidak ingin ada yang mengganggu.
Kisah kejahatan Oesin terbongkar pada Senin, 11 Mei 1964. Kala itu, dua petugas polisi yang sedang berpatroli tiba-tiba mendengar suara gaduh dari rumah Oesin. Suara yang terdengar bukan hanya keributan biasa, tapi ada suara aneh seperti hewan yang sedang tercekik. Karena penasaran, kedua petugas itu mengetuk pintu untuk memastikan keadaan.
Oesin menyambut mereka dengan tenang dan menjelaskan bahwa tidak terjadi apa-apa, itu hanya suara temannya yang sedang sakit perut. Tanpa curiga, kedua petugas polisi pun kembali melanjutkan patroli mereka. Namun, belum jauh melangkah, suara teriakan aneh kembali terdengar.
Rasa penasaran akhirnya mengalahkan ketakutan, dan kedua orang itu mencoba mengintip lewat celah dinding rumah tersebut. Keduanya terkejut saat melihat pemandangan yang mengerikan. Di dalam rumah, Oesin bersama Mamak dan Andi tampak menyiksa seorang pria yang tak berdaya.
Bergegas dua polisi itu kembali ke kantor mereka dan melaporkan apa yang mereka lihat epada komandannya. Tak lama kemudian, polisi tiba di rumah Oesin dan siap mendobrak pintu. Begitu mereka masuk, polisi mendapati tangan tangan tiga orang yang berada di dalam rumah berlumuran darah. Di atas ranjang, terbaring tubuh pria dalam keadaan tak bernyawa.
Korban pembunuhan itu bernama Masfud, kawan dari Mamak. Bahkan Mamak menyewa rumah Masfud. Karena sudah mengenal dekat, ayah Masfud tak bertanya lebih jauh saat anaknya mengatakan hendak ke rumah Oesin untuk membicarakan kerja sama bisnis.
Coba Menyuap Polisi
Ketika perbuatan sadisnya tertangkap tangan oleh polisi, Oesin sempat mencoba menyuap polisi dengan uang sebesar Rp100.000 — angka yang sangat fantastis pada saat itu. Sebagai perbandingan, harga sepatu kulit mewah di masa itu Rp5.000. Namun polisi menolak sogokan tersebut dan menggiring Oesin serta Alwi dan Iteng ke kantor polisi.
Tatkala polisi mendalami kasus itu,ternyata Masfud bukan satu-satunya korban. Oesin mengaku sudah melakukan serangkaian pembunuhan. Saking banyaknya, Oesin bahkan tak ingat jumlah pasti korban kesadisannya.
Setelah menangkap Oesin, polisi mulai menggali lebih dalam kasus pembunuhan tersebut. Di rumah kontrakan Oesin, polisi mendapati dinding dan lemari penuh noda darah yang menggumpal — tanda kejahatan yang sudah lama berlangsung. Bahkan di lantai rumah itu, polisi menemukan bekas galian yang mencurigakan.
Saat polisi menginterogasi, Oesin kembali mengaku bahwa ada tiga korban lain yang ia kubur di dalam rumah tersebut.
Polisi pun mulai melakukan penggalian. Pembongkaran pertama dilakukan pada 25 Juni 1964 disaksikan langsung oleh aparat kepolisian, kejaksaan, hingga Wali Kota Mojokerto saat itu, Raden Sudibyo.
Kepada penyidik kepolisian, Oesin menyebut jenazah yang terkubur di rumahnya merupakan perbuatan pertamanya. Masih banyak korban lain yang ia buang ke Sungai Brantas.
Penduduk setempat beberapa kali menemukan mayat yang terdampar di tepi sungai. Polisi dan warga menguburkan jasad-jasad tanpa identitas itu di tepi sungai dan mendirikan nisan sederhana bertuliskan “Tak Dikenal”.
Untuk mengangkut para korban, Oesin dan dua kompatriotnya kerap menggunakan truk atau mobil sewaan. Tetapi jika tidak menemukan kendaraan, Oesin menyuruh adik dan pembantunya menguburkan mayat di sekitar rumah.
Modus Oesin Baftari: Janjikan Keuntungan Bisnis
Oesin nampaknya sudah lama menyusun rencana matang untuk kejahatan ini. Modusnya hampir selalu sama: ia mencari korban yang telah akrab dengannya, biasanya sesama pedagang di pasar lokal. Ia memikat mereka dengan janji keuntungan besar dari bisnis kulit, pupuk, atau emas.
Selanjutnya, calon korban yang tertarik akan mendapat ajakan dari Oesin agar mampir ke rumahnya di Seduri. Di sana calon korban bakal mencicipi eh atau kopi sembari mengobrol ringan dengan Mamak Alwi dan Andi.
Saat suasana terasa tenang dan korban lengah, Oesin muncul menghantam kepala mereka dengan lesung atau batang besi. Biasanya, satu pukulan sudah cukup untuk memastikan tidak ada yang bisa melarikan diri,” tulis Ham Djoe Hio mengutip keterangan polisi yang menginterogasi Oesin.
Berbeda dari korban lainnya, Masfud yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, mencoba melawan dengan caranya. Ia sempat menjerit saat Oesin dan komplotannya menghajarnya. Jeritan inilah yang terdengar oleh warga dan patroli polisi sebelum Masfud benar-benar tewas.
Selain di Seduri, Oesin juga membawa korbannya ke rumah lain di Jagalan, tempat ia tinggal bersama keluarganya. Aksi kejamnya terus berlanjut hingga akhirnya terungkap.
Polisi terus melakukan penggalian di dua lokasi itu menemukan lebih banyak lagi kuburan. Total hingga 25 korban kehilangan nyawa di tangan Oesin.
Isu Politik dan Daftar Korban Oesin Batfari
Kejahatan brutal Oesin dan kelompoknya menarik perhatian media secara luas, terutama dari sejumlah surat kabar yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasus ini bahkan melibatkan isu politik yang lebih besar.
PKI mengembuskan isu bahwa Oesin terhubung dengan Masyumi. Di sisi lain, para korban sering kali dicurigai sebagai simpatisan PKI. Namun, tuduhan itu tidak pernah terbukti.
Sebagian besar korban Oesin adalah warga lokal, tetapi ada juga yang berasal dari keturunan Tionghoa dan Arab. Perbuatan keji ini sudah ia mulai sejak 1961.
Laporan polisi mengungkap bahwa pada Mei 1961 Oesin membunuh Juli, seorang pemuda berusia 26 tahun dari Tulungagung. Ia lalu merampas harta Juli, termasuk uang senilai Rp80.000, jam tangan merek Wino, satu kalung emas, dan dua gelang emas.
Korban berikutnya adalah Jayadi, 27 tahun asal Kediri, yang mengalami nasib serupa pada Juni 1961. Mayatnya dibuang ke Sungai Brantas, Dari Jayadi, Oesin merampas uang Rp15.000 dan emas seberat 50 gram.
Masih di tahun yang sama, Oesin menghabisi warga Jombang bernama Siram. Dari jasad Siram, Oesin merampas uang Rp47.000, sepeda merek Gazelle, dan sebuah jam tangan.
Daftar korban pada tiga tahun berikutnya semakin panjang. Sebagian besar jasad berakhir di dasar sungai. Jika ia membunuh jauh dari sungai, Oesin membuang mayat di selokan atau tumpukan sampah. Salah satunya adalah Jazid bin Mari yang dibunuh pada 1963. Karena terjadi pada musim hujan, mayat Jazid ditaruh dalam tumpukan sampah yang dipenuhi air dan dibebani dumbel seberat 40 kg agar tidak muncul ke permukaan.
Pesan Terakhir Oesin Batfri: Jaga Adik Saya
Oesin Batfari mulai menjalani persidangan dan Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis mati pada 1967. Sepuluh tahun setelah hakim menjatuhkan vonis mati, Oesin sempat mengajukan permohonan pengampunan atau grasi kepada Presiden Soeharto, tetapi ditolak.
Sebelas tahun setelah vonis mati hakim, pada 11 September 1978 Oesin menjalani eksekusi hukuman mati. Polisi dan sipir penjara membawanya dari Penjara Kalisosok ke Pantai Kenjeran Surabaya. Di pantai yang sepi itu, dsatu regu tembak dari Provos Komando Daerah Kepolisian 10 Jawa Timur sudah menunggu.
Petugas enggiring Oesin ke tiang eksekusi dan mengikat tangannya ke belakang menempel pada tiang kayu. Seorang tokoh agama mendekatinya untuk menuntunnya berdoa. Oesin diminta memohon ampun atas segala dosa yang telah dilakukannya. Dalam doa terakhirnya, Oesin menyampaikan pesan, “Tolong dijaga adik saya, Mama.”
Setelah selesai, jaksa penuntut umum memberi tanda, dan kain hitam terpasang menutup mata Oesin. Beberapa detik kemudian, rentetan tembakan terdengar. Timah panas menembus tubuh Oesin tepat di jantungnya hingga ia terkulai di tiang kayu.
Menjelang subuh, dokter menyatakan Oesin telah meninggal dunia. Jasadnya kemudian dibawa dengan ambulans ke rumah sakit untuk diotopsi, sebelum akhirnya dimakamkan di pemakaman umum di kawasan Gubeng, Surabaya.
Penulis naskah dan riset data: Agnes Joana Gunawan, Aleeshya Ludwina Poetri Radjah, Kiara Sunarto – siswi kelas XII Bahasa SMA Santa Ursula Jakarta.
Editor: Jimmy Radjah
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"