KONTEKS.CO.ID – Keberatan Puspom TNI atas penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi atas kasus suap oleh KPK dikritik publik.
Permintaan Puspom TNI tersebut dinilai bentuk inkonsistensi kebijakan. Sebab Henri ditetapkan tersangka saat menduduki jabatan sipil.
Menurut Direktur Amnesty International, Usman Hamid, Henri yang merupakan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, harusnya tunduk pada hukum sipil.
“Ini menghidupkan kembali status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu dan merupakan wujud inkonsistensi kebijakan,” kata Usman Hamid, dalam diskusi terbuka sejumlah elemen masyarakat sipil di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, dikutip Senin 31 Juli 2023.
“Prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil. Ini inkonsistensi kebijakan,” kata Usman menambahkan.
Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).
Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif, yaitu kantor yang berkenaan dengan politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (sar) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Namun, itu bukan berarti jabatan itu harus berasal dari unsur tentara.
Di samping itu, Pasal 47 ayat (3) beleid yang sama menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Basarnas Lembaga Sipil
Usman Hamid menegaskan, bahwa Basarnas merupakan lembaga dengan jabatan sipil. Oleh karena itu, kasus hukum yang menjerat pejabat Basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil.
Apalagi, Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu “berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum”.
Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer “dalam hal pelanggaran hukum pidana militer”.
Anggapan bahwa Henri Alfiandi harus diproses secara militer berangkat dari Pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Beleid ini, kata Usman, seharusnya sudah dikesampingkan oleh berbagai undang-undang yang lebih baru di atas.
Diketahui, Henri Alfiandi telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang di Basarnas hingga mencapai Rp 88,3 miliar sejak 2021 sampai 2023.
Namun, polemik muncul setelah Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI merasa keberatan atas penetapan tersangka Henri yang berstatus prajurit TNI aktif oleh KPK.
Puspom TNI menilai mestinya Henri Alfiandi diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK kendati Kepala Basarnas adalah jabatan sipil. KPK pun akhirnya menyerahkan kasus yang melibatkan Henri Alfiandi ke Puspom TNI. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"