KONTEKS.CO.ID – Pasar Pemilu-Pilpres 2024 semakin menghangat. Jutaan rakyat disibukkan oleh tebak manggis politik seputar teka-teki yang sangat menjengkelkan.
Padahal pertanyaannya sangat sederhana, siapa Calon Wakil Presiden (Cawapresnya) Prabowo, dan Cawapresnya Ganjar Pranowo.
Baru Anies dan Cak Imin yang sudah hampir dipastikan akan tampil di gelanggang Pemilu-Pilpres 2024. Mereka maju mewakili kubu Pembaruan yang dikomandoi pemilik Nasdem, Surya Paloh, bersama para pimpinan partai PKB dan PKS.
Teka-teki seputar Cawapres ini, menempati isu paling hot yang beredar di bursa pasar politik Pemilu-Pilpres 2024. Teka-teki ini sangat gencar dibicarakan masyarakat melalui berbagai telaah dan sudut pandang.
Luar biasanya, mereka yang heboh ini, terdiri dari masyarakat multi level pendidikan dan sosial. Mulai dari rakyat pengunjung warung kaki lima, hingga ibu-ibu jetset yang tengah arisan atau reuni di hotel-hotel bintang lima.
Hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran politik masyarakat bahwa partisipasi aktif mereka turut menentukan arah perjalanan bangsa ini ke depan.
Sayangnya, para politisi, khususnya para ketua umum dan petinggi partai peserta pemilu, justru semakin tak menunjukkan sikap kepemimpinannya. Mereka tetap terkurung dalam sikap dan perilaku yang jauh dari harapan.
Hadirnya pemikiran dan sikap kenegarawanan yang mestinya sudah harus lebih meningkat kualitasnya, hingga detik ini masih tetap berada di level Zero.
Dampaknya, rakyat yang begitu antusias berpartisipasi meningkatkan kualitas pemilu-pilpres pun, belakangan mulai mengendor. Hal ini disebabkan oleh menurunnya keyakinan masyarakat bahwa lewat ajang pemilu-pilpres kali ini pun, perbaikan nasib rakyat dapat diperjuangkan.
Menurunnya keyakinan ini karena langkah-langkah politik yang dilakukan para pimpinan partai peserta pemilu, masih berkutat pada orientasi, yang penting menang, selebihnya urusan nanti!
Oleh karenanya pola dan metode pemenangan yang bertumpu pada kekuatan modal uang besar masih tetap sangat dominan mewarnai seluruh proses perhelatan pesta demokrasi 2024. Sehingga kesan pemilu-pilpres hanya merupakan ajang transaksi berbasis kepentingan politik dan uang, sangat mengemuka.
Sehingga menempatkan para pemilik uang, para pemodal, para konglomerat hitam-putih pada posisi sangat strategis, kian terbuka dipertontonkan.
Sehingga muncul fatsun, semakin banyak dukungan dari para pemodal (konglomerat bermasalah atau tak bermasalah), keberhasilan merenggut kemenangan akan semakin besar.
Dengan kenyataan ini, masyarakat semakin terbuka matanya bahwa pesta demokrasi ini hanyalah ajang permainan orang-orang berduit dalam mempertahankan zona nyaman mereka. Salah satu caranya adalah dengan menjauhkan kedaulatan rakyat dari pemilik yang sesungguhnya.
Artinya membutakan rakyat dari realita politik pemilu yang sesungguhnya merupakan desain politik yang harus dipertahankan.
Keharusan bagi para calon legislator, calon presiden, dan partai-partai untuk menang harus memiliki dana besar, merupakan metode yang dijadikan metode dan keyakinan yang permanen.
Kemesraan para petinggi partai dengan para konglomerat bermasalah, bukan lagi merupakan tabu. Sebaliknya, justru merupakan prestasi dan cara terpenting untuk mencapai tujuan kemenangan.
Hal ini pun dipertontonkan dan dipercontohkan secara sempurna oleh Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia yang terhormat. Pak Presiden begitu membanggakan hadirnya para konglomerat (hitam-putih) yang mendukung percepatan perampungan Ibu Kota baru (proyek IKN).
Bahkan salah satu konglomerat yang terindikasi banyak masalah sehubungan dengan kasus mafia tanah, malah mendapat puja puji luar biasa, diperlakukan bak seorang penyelamat negara sebagai Pahlawan ekonomi Nasional.
Pemandangan yang memprihatinkan dan miskin pijakan moral kenegaraan ini, tentunya menjadi kiblat panutan bagi para pimpinan partai peserta pemilu yang dibebani tugas untuk berkomitmen meneruskan apa-apa yang sudah dirintis oleh Pak Jokowi.
Tentunya termasuk dalam hal menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tidak peduli apakah langkah yang diambil akan berdampak pada rusaknya bangunan dan pijakan moral kenegaraan yang dalam cia-cita Reformasi dijadikan tujuan utama, yakni, mewujudkan Clean Government and Good Governance.
Bagaimana hasilnya bila adegan Pak Jokowi dan kawanan pemodal kondang bermasalah yang bermesraan membangun IKN, dijadikan panutan dan bahkan metode dalam mencapai tujuan politik kenegaraan kita?
Tidak mengherankan bila secara terbuka dan demonstratif para petinggi partai pun lebih bangga dan merupakan prestasi bisa bergandengan tangan dengan para pemilik modal, konglomerat bermasalah.
Bersyukur belakangan ini, walau masih terbatas di kalangan terdidik, ada tanda-tanda bangkitnya kesadaran rakyat akan posisi dan kedudukan diri sebagai ‘the main stake holder’ negara ini.
Semakin terbangun kesadaran bahwa presiden dan para menteri hanyalah petugas rakyat yang diberi mandat untuk menjalankan roda penyelenggaraan negara setiap lima tahun sekali.
Tidak perlu ditakuti dan disembah-sembah bak seorang kaisar pemilik tunggal negeri ini!
Dengan realita masih dominannya cengkeraman kuku kekuatan ekonomi para konglomerat pengendali kerajaan Oligarki dalam menentukan kualitas dan arah politik kenegaraan kita ini, maka sebenarnya sangat mudah memprediksi siapakah yang akan keluar sebagai pemenang sesungguhnya dalam Pemilu-Pilpres 2024 yang akan datang?!
Memang PDIP, GERINDRA, NASDEM adalah para calon yang pada akhir perhelatan Pemilu-Pilpres 2024 akan menerima trophy sebagai pemenang. Namun bila diteliti dengan cermat, trophy yang akan diterimakan aslinya terbuat dari bahan plastik.
Bukan yang terbuat dari metal yang sesungguhnya, yang genuine-yang asli. Karena trophy yang genuine-sesungguhnya yang asli, tetap akan berada di tangan para konglomerat (bermasalah?), penguasa kerajaan Oligarki!
Lalu kalau sudah begini, apakah pemilu masih diperlukan? Ya tetap perlu untuk tetap menjaga kesinambungan kehidupan berkonstitusi. Setiap lima tahun sekali, wajib diadakan pemilu untuk terjadinya pergantian kepemimpinan nasional secara ‘demokratis’.
Tapi bukan pemilu yang hanya berorientasi pada pergantian figur pemimpinnya semata, tapi yang berjalan di atas paradigma baru, menciptakan kemungkinan terwujudnya perubahan substansial sebagaimana amanat cita-cita kemerdekaan 1945, cita-cita Reformasi 1998, dan tuntutan Indonesia bersih korupsi, mafia dan Oligarki..!
Yah, sebaiknya kita sekarang ini lebih sering-sering mendengar alunan lagu yang judulnya…Don’t Give Up! Agar semangat tetap terjaga. Pesannnya, perlawanan harus dinyatakan, kebenaran harus terus disuarakan, rakyat harus dibangkitkan, kesadaran adalah matahari! Begitu kata seorang penyair besar Indonesia, W.S. Rendra.
Jadi nanti, ketika MC (KPU) mengumumkan siapa yang keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 2024, pada hakekatnya kita sudah tahu bahwa pemenang sesungguhnya adalah… ya, mereka-mereka itulah!
Penulis: Erros Djarot/ Budayawan dan Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN).***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"