KONTEKS.CO.ID – Media massa asal Jerman, Handesblatt, ikut menyoroti langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo yang maju sebagai cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.
Media tersebut memandang bahwa upaya memajukan Gibran sebagai cawapres dipandang sebagai bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia.
Kemunduran demokrasi di Indonesia juga sempat diberitakan Time, media dari Amerika Serikat.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis dalam keterangan pers pada Sabtu, 3 November 2023 memandang bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024.
Putusan Mahkamahh Konstitusi (MK) yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran Rakabuming Raka, adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia.
Kemunduran itu juga sudah banyak diangkat pakar dan analis politik baik dari dalam maupun luar negeri. Terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.
Secara tegas, putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun.
Tapi terkait hal ini hanya Gibran saja yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden agar lolos menjadi bakal cawapres.
Konflik kepentingan yang terjadi akibat Ketua MK yang merupakan paman dari Gibran, yang sekaligus hakim konstitusi yang mengabulkan perkara tersebut, bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim, tetapi merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang.
Hal ini merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia. Dan karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terang benderang terjadi.
Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa. Hal ini merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Selain itu Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Praktik nepotisme antara Penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan.
Dalam perspektif pemilu, proses awal pemilu yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses pemilu yang akan dilakukan. Sedari awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya.
Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis paska putusan MK. Hal itu karena sejak dini, penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan-tangan kekuasaaan bekerja untuk mengintervensi satu lembaga yudikatif yakni Mahkamah Konstitusi.
Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses pemilu sedari awal sudah cacat secara politik paska putusan MK.
Dalam realitasnya, menjelang akan berakhir masa periode jabatan yang kedua Presiden Joko Widodo semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun “politik dinasti” yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme melalui pencawapresan anaknya, Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan.
Guna merespon hal tersebut, dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis: PBHI Nasional, Imparsial, WALHI, Perludem, ELSAM, HRWG, YLBHI, Forum for Defacto, SETARA Institute, Migrant Care, IKOHI, Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), KontraS, Indonesian Parlementary Center (IPC), Jaringan Gusdurian, Jakatarub, DIAN/Interfidei, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Yayasan Inklusif, Fahmina Institute, Sawit Watch, Centra Initiative, Medialink, Perkumpulan HUMA, Koalisi NGO HAM Aceh, Flower Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lingkar Madani (LIMA), Desantara, FORMASI Disabilitas (Forum Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas), SKPKC Jayapura, AMAN Indonesia, Yayasan Budhi Bhakti Pertiwi.
Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Tifa, Serikat Inong Aceh, Yayasan Inong Carong, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Aceh, Eco Bhinneka Muhammadiyah, FSBPI).***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"