KONTEKS.CO.ID – Aktivis pro demokrasi, mahasiswa dan orang tua korban pelanggaran HAM menolak calon presiden yang terlibat dugaan pelanggaran HAM.
Penegasan itu terungkap dalam diskusi bertema “Refleksi 9 Tahun Presiden Jokowi dalam Penyelesaian Kasus HAM”. Diskusi terhelat oleh Lingkar Mahasiswa Semanggi dan Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRA) di Jakarta, Kamis 28 Desember 2023.
Direktur NU Online, Savic Ali, mengutarakan, pelanggaran HAM bisa tuntas jika penguasa berkomitmen menyelesaikannya. Ia mengakui penyelasaian kasus HAM memang tidak mudah.
Namun kalau pemerintah yang berkuasa tak berkomitmen, maka perkara ini cenderung akan terlupakan. Dirinya pun menyoroti Keppres No 17 tahun 2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Aktivis 98 itu menilai keppres ini bentuk ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan adil.
Ia menceritakan pada 2014 -saat Joko Widodo terpilih menjadi presiden- publik punya harapan penyelesaiann kasus pelanggaran HAM. Kenyataannya, presiden justru mendukung calon presiden yang diduga terlibat pelanggaran HAM.
“Seharusnya karier politik Prabowo sudah tamat. Realitas politik yg kita hadapi sekarang ini jelas. Yakni, penyelesaian kasus HAM akan lebih bisa terharapkan bila ia bukan presiden,” tegasnya.
Proses Penuntasan Kasus Dugaan Pelanggar HAM
Sementara aktivis 98 lainnya, Bona Sigalingging, mengajak publik mengulik Keppres No 17 Tahun 2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk Inpres 2 tahun 2023 tentang Penyelesaian Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat dan Keppres No 4 tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasinya.
Keppres, sambung dia, menghilangkan satu elemen pengungkapan yang penting dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yakni pelaku.
“Adanya korban berarti harus ada pelaku. Meniadakan pelaku membuktikan bahwa proses pengungkapan kasus HAM berat masa dalam mekanisme nonyudisial tidak serius. Ini membuktikan takluknya negara pada pada mereka yang patut terduga sebagai pelanggar HAM berat,” kata Bona.
Alumnus Atma Jaya ini juga mengingatkan risiko tidak lengkapnya pengungkapan ini akan membuat berulangnya kasus yang sama pada masa depan.
“Sejumlah orang yang patut terduga pelaku pelanggaran HAM justru terbiarkan mengisi posisi penting di militer, kepolisian, ataupun pejabat publik di kementerian bahkan calon presiden,” tuding Bona.
Sementara itu, Asih Widodo, orang tua dari Sigit Prasetyo, korban Tragedi Semanggi I mengingatkan, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan tidak memilih pelanggar HAM untuk memimpin bangsa ini.
“Siapa yang menembak anak saya harus terhukum. Masak kejahatan kecil aja mendapat hukuman, tapi pembunuhan mahasiswa tidak? UUD 45 kan mengatur semuanya. Tugas tentara kan sebagai pertahanan bukan membunuh. Jangan sampai pelanggar HAM malah jadi pemimpin,” katanya mengingatkan. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"