KONTEKS.CO.ID – Keprihatinan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ikut menjadi tim sukses untuk pemenangan anaknya sendiri, Gibran Rakabuming Raka, dalam kontestasi pemilu 2024 mulai dirasakan masyarakat.
Jalan mulus bagi Gibran sebagai calon wakil presiden dengan melanggar konstitusi telah disadari tokoh-tokoh pro demokrasi sebagai titik awal kemunduran demokrasi negeri ini.
Tantangan netralitas dan dugaan kecurangan terus diperlihatkan penyelenggara negara, dengan pengerahan kekuatan struktur negara dan sumber dana tanpa batas.
Dalam Diskusi Publik bertema “Tegak Lurus Reformasi Demi Keutuhan NKRI” di Kampus Unika Atma Jaya pada Minggu, 21 Januari 2024, sejumlah tokoh menyampaikan keprihatinan mengenai kemunduran demokrasi yang terjadi saat ini.
Sejarawan dan birokrat Dr Anhar Gonggong, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad Prof. Muradi, dan Sumarsih, ibu Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I, sepakat kalau demokrasi sedang dirusak akibat ambisi Jokowi membangun dinasti politik demi melanggengkan kekuasaannya.
Dr Anhar Gonggong menyampaikan mengenai keprihatinan dirinya karena Presiden Joko Widodo menggunakan lembaga negara untuk mengangkat anaknya.
Jokowi melompati aturan yang ada untuk menempatkan Gibran Rakabuming Raka ke tempat yang dia inginkan
“Saya mengenal banyak tokoh politik tapi saya sekarang memberikan fakta, banyak orang marah karena anak Jokowi jadi calon wakil presiden,” kata Anhar Gonggong.
Menurut Anhar, sebenarnya ada sejumlah tokoh yang bisa saja melakukan hal yang sama dengan Jokowi, namun karena pertimbangan etika dan demokrasi, hal itu tidak dilakukan.
“Puan Maharani anaknya Megawati, AHY anaknya SBY, Prananda anaknya Surya Paloh, mereka jadi ketua partai. Tapi yang membedakan adalah cara Jokowi menggunakan lembaga negara untuk mengangkat anaknya,” katanya.
“Dia melompati aturan yang ada untuk menempatkan anaknya ke tempat yang dia inginkan. Kebetulan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) adalah adik iparnya. Dari situ permainan kostitusi berlangsung,” ujarnya lagi.
Anhar Gonggong menyampaikan bahwa sejak tahun 1960 hingga 1998, Indonesia adalah negara otoriter. Saat itu sulit bicara tentang pergantian pemerintahan. Kegelisihan terhadap rezim otoriter Suharto muncul saat pendirian Taman Mini Indonesia Indah tahun 1972. Saat itu semua birokrat harus memilih Partai Golkar
Dengan kondisi saat ini, sangat sulit untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Karena itu, penting pendidikan yang juga mengasah nurani, dan bukan hanya mengasah otak.
Sementara menurut Sumarsih, revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi dihancurkan sendiri oleh Jokowi yang menyatakan diri sebagai anak kandung reformasi.
Dinasti politik yang dibangun Jokowi bersama para pelanggar HAM akan terus dia lawan. Sebagaimana dia tidak berhenti untuk melakukan Aksi Kamisan yang telah 17 tahun dilakukan.
Dia akan terus melanjutkan perjuangan memperoleh keadilan bagi mendiang putranya. Juga sebagai bukti cintanya kepada Wawan dan upaya memperjuangkan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat lainnya oleh negara.
“Anak saya diotopsi oleh Dokter Budi Sampurno. Wawan ditembak saat sedang menolong kornban yang lain. Saat wawan meninggal saya tidak tahu apa yang harus dilakukan,” katanya.
“Wawan sering menceritakan agenda reformasi saat di meja makan. Ada 6 agenda reformasi, dili Suharto, brantas KKN, tegakan supremasi hukum, cabut Dwi fungsi ABRI, otonomi daerah dan amandemen UUD 45,” katanya lagi bercerita.
Sumarsih sebagai orang tua memang selalu khawatir akan keselamatan anak. Banyak peristiwa berdarah terjadi, mulai dari perisitawa 12 Mei, Tragedi Trisakti, kerusuhan 1998 dan disusul turunnya Suharto pada 21 Mei.
“Saat peristiwa Semanggi, kampus Atma Jaya sebagai tempat berlindung mahasiswa . Wawan melambaikan bendera putih untuk menolong korban tapi malah ditembak. Bagi saya Wawan adalah pahlawan reformasi dan demokrasi,” katanya.
Sementara Prof Muradi menyampaikan, kalau semua aparat yaitu TNI, Polri, dan intelijen harus profesional dan netral. Tentu hal itu tergantung sekali dari komitmen Presiden Jokowi yang tidak boleh masuk politik praktis. Jokowi sebagai pemimpin negara harus mampu mengendalikan.
“Agar menjadi instrumen yang profesional, demokrasi harus dilepaskan dari intervensi TNI dan Polri. Mereka harus berjarak dengan politik praktis,” katanya.
Dengan kondisi demokrasi yang sedang dirusak, konsolidasi sipil justru tidak kuat membendung. Aktivis yang dulu berada di barisan depan untuk memperjuangkan demokrasi, justru mendukung dinasti politik yang sedang dibangun Jokowi melalui pemilu 2024.
“Saya kecewa dengan teman-teman yang berpihak pada rezim otoriter. Sekarang ini yang terjadi bukan sukses Indonesia Emas 2045, tapi sukses perseorangan. Kalo dulu terlihat konflik masyarakat kecil seperti tawuran warga tapi sekarang konflik elite politik,” katanya.
Ketua Umum Alumni Orange Indonesia Apriyanto Tambunan menyampaikan, dengan diskusi yang digelar di kampus Atma Jaya, menjadi bentuk keresahan karena melihat tanda-tanda reformasi telah digagahi oleh rezim yang sedang berkuasa. Memanfaatkan lembaga negara untuk menabrak konsitusi.
“Kami Alumni Orange Indonesia mengajak seluruh lapisan masyarakat agar mau mereview ingatan kita generasi 80 dan 90 yang lahir dan hidup pada zaman orde baru,” katanya.
“Kami juga mau mengingatkan lembaga Kepolisian adalah yang paling banyak menikmati kue reformasi. Harapan kami sebagai masyarakat sipil meminta agar aparat Polri dan TNI untuk tetap netral pada masa pemilu ini,” katanya.
Ketua panitia acara Dhono Hendaru mengatakan, diskusi ini adalah kerja sama sejumlah pihak yang peduli terhadap demokrasi.
Kegiatan diskusi ini merupakan rangkaian acara reuni alumni bertema “Back to Kampus” yang digagas oleh Universitas Atma Jaya, Perkumpulan Alumni UAJ, KBA Fiabikom, Lingkar Mahasiswa Semanggi, Alumni Orange Indonesia, serta Gerakan Aktivis Lintas Generasi Tegak Lurus Reformasi.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"