KONTEKS.CO.ID – Ini awal mula kecurigaan adanya skandal plusvalenza yang berpotensi hancurkan klub seperti Calciopoli. Simak di sini.
Ini awal mula kecurigaan adanya skandal plusvalenza yang berpotensi hancurkan klub seperti Calciopoli? Ternyata bukan dari yang dikiri.
Semua yang perlu Anda ketahui tentang kontroversi terbesar yang melanda sepak bola Italia sejak Calciopoli pada 2006 adalah skandal plusvalenza.
Sekitar 17 tahun setelah Calciopoli, Juventus mendapati diri mereka berada di pusat skandal yang berpotensi menghancurkan klub, dan mengguncang sepak bola Italia hingga ke intinya.
Namun, ini bukan tentang memengaruhi ofisial pertandingan. Ini tentang plusvalenza, dan lebih banyak lagi.
Memang, pada Jumat 20 Januari 2023 malam waktu setempat, Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) secara dramatis mengumumkan bahwa Juventus telah dikurangi 15 poin karena “ketidakberesan keuangan” dan “akuntansi palsu” sehubungan dengan transaksi transfer sebelumnya.
Keputusan itu membuat tim besutan Massimiliano Allegri itu tiba-tiba turun dari posisi ketiga klasemen Liga Italia Serie A, menjadi urutan ke-10.
Harapan mereka yang sudah membumbung untuk memenangkan Scudetto tidak diragukan lagi telah berakhir, tetapi mereka juga menghadapi tugas berat untuk finis di empat besar, mengingat mereka sekarang tertinggal 12 poin di belakang Lazio yang berada di urutan keempat.
Kegagalan untuk lolos ke Liga Champions akan memiliki konsekuensi olahraga dan ekonomi yang serius bagi Juve, yang dilanda masalah keuangan dalam beberapa tahun terakhir.
Apa itu plusvalenza?
Kunci untuk memahami seluruh urusan ini adalah plusvalenza, atau keuntungan modal, yang pada dasarnya adalah keuntungan yang diperoleh dari transfer.
Katakanlah, misalnya, Juventus menandatangani pemain seharga 100 juta Euro dengan kontrak lima tahun. Mereka akan mengamortisasi biaya hak pendaftaran pemain selama durasi kontraknya, kemungkinan besar membagi pembayaran secara merata selama lima tahun. Singkatnya, nilai amortisasi sang pemain adalah 20 juta Euro per tahun (100 juta Euro dibagi lima).
Jadi, jika Juve kemudian menjual pemain itu setelah tiga tahun seharga 60 Euro juta, mereka akan memperoleh keuntungan modal sebesar 20 juta Euro atas hak pendaftarannya (60 juta Euro dikurangi sisa 40 juta Euro dalam nilai yang diamortisasi).
Mengapa capital gain penting dalam sepak bola?
Karena mereka menghitung langsung keuntungan tahunan klub, dan ini sekarang menjadi lebih penting daripada sebelumnya, seturut pengenalan peraturan Financial Fair Play (FFP) UEFA lebih dari satu dekade yang lalu.
Seperti yang kita semua tahu, neraca klub berada di bawah pengawasan ketat akhir-akhir ini, dan mereka yang ditemukan melanggar peraturan dapat menghadapi hukuman berat.
Maka, tekanannya sangat besar pada klub untuk menyeimbangkan pembukuan mereka setiap tahun. Beberapa klub dilaporkan terpaksa menggelembungkan nilai aset agar terlihat mendapat untung dari transfer tertentu.
Hal ini sering dilakukan dalam pergerakan pemain muda. Pemain akademi adalah pemain lokal, mereka biasanya datang dengan gratis, artinya jika dijual, bayarannya adalah keuntungan murni.
Karena harga pemain akademi yang tidak dikenal dapat dinaikkan secara berlebihan, sulit untuk menilai nilai sebenarnya mereka.
Akibatnya, klub dapat memasukkan pemain dengan nilai yang meragukan ke dalam kesepakatan pertukaran atau transfer pemain plus uang tunai untuk membantu menyeimbangkan pembukuan.
Awal mula kecurigaan skandal plusvalenza?
Seperti yang telah dilaporkan Gazzetta dello Sport sebelumnya, praktik plusvalenza tidak dapat disangkal sangat penting di Italia.
Pada 2018-19, musim terakhir sebelum Covid-19 melanda, 20 klub Serie A menghasilkan total keuntungan modal 699 juta Euro – lebih banyak dari liga ‘Lima Besar’ lainnya (Inggris Spanyol, Prancis, Jerman).
Menariknya, angka itu juga lebih tinggi dari jumlah uang yang dihasilkan kasta tertinggi Italia dari kesepakatan komersial selama tahun keuangan yang sama (647 juta Euro), menggarisbawahi betapa bergantungnya tim Serie A pada pasar transfer untuk menghasilkan keuntungan.
Hal itu berkebalikan dengan Liga Premier Inggris, La Liga Spanyol, dan klub Bundesliga semuanya menghasilkan lebih banyak uang, secara kolektif, dari hak TV dan perjanjian sponsor, daripada membeli dan menjual pemain.
Jelas, sama sekali tidak ada salahnya menghasilkan keuntungan dari transfer. Masalah hanya muncul saat klub menggelembungkan nilai pemain, dan perlu diingat bahwa ini tetap menjadi masalah di banyak liga domestik lainnya.
Bedanya, meski urusan ini melibatkan klub-klub di negara lain, tapi fokusnya di Italia, dan Juventus khususnya.
Dampak Calciopoli
Skandal Serie A 2006 (dalam bahasa Italia disebut Calciopoli atau Moggiopoli, kadang-kadang disebut sebagai Calciocaos) melibatkan dua divisi profesional tertinggi di sepak bola Italia, Serie A dan Serie B.
Skandal ini terungkap pada Mei 2006 oleh polisi Italia, melibatkan juara liga Juventus, dan tim besar lainnya, termasuk AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina ketika sejumlah transkrip percakapan telepon menunjukkan jaringan hubungan antara manajer tim dan organisasi wasit.
Skandal itu pertama kali terungkap sebagai konsekuensi dari penyelidikan jaksa pada sebuah agensi sepak bola terkenal di Italia, GEA World. Transkrip percakapan telepon yang direkam diterbitkan di surat kabar Italia mengungkap bahwa selama musim 2004-05, direktur umum Juventus, Luciano Moggi dan Antonio Giraudo melakukan percakapan dengan beberapa pejabat dari sepak bola Italia untuk mempengaruhi penunjukan wasit.
Pada tanggal 4 Juli 2006, jaksa Federasi Sepak Bola Italia, Stefano Palazzi, menyerukan semua empat klub di tengah skandal pengaturan pertandingan agar didegradasi dari Serie A. Palazzi menyerukan Juventus turun ke Serie C1 setidaknya (pernyataannya menyatakan bahwa Juventus harus didegradasi “lebih rendah dari Serie B,” tanpa menyebutkan divisi yang khusus).
Kemudian untuk Fiorentina dan Lazio untuk setidaknya degradasi ke Serie B. Dia juga meminta hukuman pengurangan poin (enam poin untuk Juventus, tiga untuk Milan, dan 15 untuk Fiorentina dan Lazio). Jaksa juga meminta Juventus dilucuti gelar juara tahun 2005 dan 2006-nya.
Terdegradasinya Juventus juga mendorong eksodus besar-besaran pemain penting seperti Fabio Cannavaro, Lilian Thuram, dan Zlatan Ibrahimovic.
Sekitar 30 pemain lain yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA 2006 juga terpengaruh dan banyak memilih untuk pindah ke Liga Inggris, LaLiga Spanyol, dan liga-liga Eropa lainnya.
Juventus akhirnya kesempatan berjuang untuk promosi. Mereka memenangkan Serie B musim 2006-07, dan merebut tempat di Serie A pada Mei 2007.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"