KONTEKS.CO.ID – Flexing lagi hits sekarang ini, simak dampak negatif dan bahaya flexing berikut ini.
Flexing dalam konteks sosial, merujuk pada perilaku atau sikap seseorang yang sengaja atau tidak sengaja memperlihatkan kelebihan diri, harta, prestasi, atau status sosialnya.
Flexing dilakukan untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau penghargaan dari orang lain.
Meskipun bisa saja dianggap sebagai bentuk pengungkapan diri atau rasa percaya diri, namun flexing yang berlebihan atau yang didasarkan pada kepalsuan atau kepentingan pribadi dapat memiliki dampak negatif dan bahaya, baik bagi individu yang melakukan flexing maupun bagi orang lain yang terkena dampaknya.
Salah satu dampak negatif dari sikap flexing adalah menciptakan citra palsu atau tidak autentik dari diri sendiri.
Ketika seseorang sengaja memperlihatkan atau membesar-besarkan hal-hal yang dimilikinya, tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya ia rasakan atau siapa dirinya sebenarnya, hal ini dapat menciptakan citra yang tidak sesuai dengan realitas.
Citra palsu ini dapat merugikan diri sendiri, karena harus mempertahankan atau mempertahankan kepalsuan tersebut dalam interaksi sosial, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan stres, ketidakpuasan, atau kecemasan.
Selain itu, sikap flexing yang berlebihan atau berdasarkan kepalsuan juga dapat merugikan orang lain.
Ketika seseorang sengaja memperlihatkan kelebihan atau prestasi mereka dengan cara yang sombong atau merendahkan orang lain.
Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, cemburu, atau bahkan depresi pada orang lain yang merasa kalah atau tidak sebanding.
Sikap flexing yang tidak sensitif terhadap perasaan atau keadaan orang lain dapat merusak hubungan interpersonal, mengurangi kepercayaan, dan memicu konflik atau perselisihan.
Selanjutnya, sikap flexing juga dapat menjadi tanda adanya ketidakseimbangan nilai dalam diri seseorang, di mana ia mengukur atau menggambarkan nilai dirinya berdasarkan apa yang dimiliki atau diperlihatkan secara materi, prestasi, atau status sosial.
Hal ini dapat mengarah pada kepemilikan benda atau prestasi sebagai sumber utama harga diri, yang pada gilirannya dapat merugikan individu ketika mereka menghadapi kegagalan, kerugian, atau ketidakmampuan untuk mempertahankan citra yang di-flexingkan.
Selain itu, sikap flexing juga dapat merusak hubungan sosial, baik dalam lingkup pribadi maupun profesional.
Ketika seseorang terlalu sering atau terlalu berlebihan dalam memperlihatkan dirinya atau merendahkan orang lain.
Hal ini dapat membuat orang lain merasa tidak nyaman, terganggu, atau bahkan menjauh.
Dalam konteks profesional, sikap flexing yang tidak proporsional atau tidak etis dapat merusak reputasi, mengurangi kepercayaan dari rekan kerja.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"