KONTEKS.CO.ID – Istilah attachment style muncul dari psikoanalis John Bowlby pada tahun 1950-an dan diperluas oleh Mary Ainsworth. Teori ini terbagi dalam beberapa jenis dan memiliki karakteristik masing-masing.
Attachment style memengaruhi cara seseorang membentuk ikatan dan menanggapi kebutuhan emosional. Teori ini juga memengaruhi cara berinteraksi dengan orang lain dalam konteks hubungan pribadi dan sosial.
Jenis-jenis Attachment Style
Terdapat beberapa jenis attachment style dan karakteristiknya masing-masing. Berikut ini di antaranya:
1. Secure attachment style
Secure attachment style berdasarkan kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat dan tahan lama. Ini adalah hasil dari perasaan aman yang tercipta sejak masa kanak-kanak dari pola asuh orang tua.
Beberapa cirinya, antara lain:
– Kemampuan untuk mengatur emosi.
– Mudah mempercayai orang lain.
– Kemampuan komunikasi yang baik.
– Kemampuan mencari dukungan emosional.
– Merasa nyaman saat sendirian dan tidak bergantung pada orang.
– Nyaman ketika menjalani hubungan dekat.
– Kemampuan untuk merefleksikan diri dalam menjalin kemitraan.
– Kemampuan mengelola konflik dengan baik.
– Memiliki harga diri yang tinggi.
Pemilik secure attachment style tumbuh dengan perasaan aman dari segi emosional dan fisik.
Pada akhirnya, hal ini yang membuat mereka bisa berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sehat.
2. Avoidant attachment style
Avoidant attachment style adalah teori yang berarti kegagalan membangun hubungan jangka panjang dengan orang lain.
Alasannya karena ketidakmampuan mereka terlibat dalam keintiman fisik dan emosional.
Pemilik karakteristik avoidant attachment style tumbuh dewasa dengan pola asuh:
-Sering ditinggalkan dan mengurus diri sendiri.
– Dipaksa untuk mandiri.
– Sering ditegur karena terlihat manja.
– Sering ditolak karena mengutarakan kebutuhan atau perasaan.
Anak yang tumbuh dengan karakter avoidant attachment style belajar untuk memiliki rasa kemandirian yang kuat. Hal ini berujung pada ketidakmauan bergantung pada orang lain untuk mendapatkan perawatan atau dukungan.
Beberapa tandanya meliputi:
– Terus-menerus menghindari keterikatan emosional atau fisik.
– Merasakan rasa kemandirian yang kuat.
– Merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan perasaan.
– Meremehkan orang lain.
– Sulit mempercayai orang.
– Merasa terancam oleh siapa pun yang mencoba mendekat.
– Menghabiskan lebih banyak waktu sendirian ketimbang berinteraksi dengan orang lain.
– Mempercayai bahwa tidak membutuhkan orang lain dalam hidup.
3. Anxious attachment style
Anxious attachment style adalah karakteristik yang takut akan penolakan, takut ditinggalkan, bergantung pada pasangan untuk validasi dan pengaturan emosional, serta kecenderungan kodependen.
Anak yang tumbuh dengan karakteristik ini memiliki pola asuh:
– Terkadang terlalu dimanjakan, kemudian diabaikan.
– Mudah menyerah.
– Terkadang penuh perhatian, kemudian cuek.
Karena pola asuh tersebut, anak-anak tumbuh dengan pemikiran bahwa mereka seharusnya menjaga perasaan orang lain dan kodependen.
Kodependen adalah bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Karakteristik anxious attachment style memiliki ciri berupa:
– Sangat sensitif terhadap kritik.
– Memerlukan validasi dari orang lain.
– Kecenderungan cemburu.
– Tidak bisa sendirian.
– Merasa rendah diri.
– Merasa tidak layak untuk dicintai.
– Ketakutan yang sangat besar terhadap penolakan.
– Ketakutan yang signifikan akan ditinggalkan.
– Kesulitan mempercayai orang lain.
4. Disorganized attachment style
Disorganized attachment style didefinisikan sebagai perilaku yang sangat tidak konsisten dan kesulitan mempercayai orang lain. Penyebabnya, yaitu trauma masa kanak-kanak, pengabaian, atau pelecehan.
Karakteristik ini memiliki ciri berupa:
– Takut akan penolakan.
– Ketidakmampuan untuk mengatur emosi.
– Perilaku yang kontradiktif.
– Tingkat kecemasan yang tinggi.
– Kesulitan mempercayai orang lain.
– Cenderung menghindar dan merasa cemas.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"