KONTEKS.CO.ID – Sejarah The North Face sebagai salah satu brand peralatan outdoor paling populer dan paling sukses saat ini tidak dibangun dalam sekejap. Produk The North Face saat ini bisa dijumpai mulai dari aktivitas outdoor, anak gaul di kota besar, hingga catwalk di Paris Fashion Week
Padahal di awal kemunculannya, The North Face hanya toko pakaian dan peralatan outdoor kecil yang berada di lingkungan yang salah. Satu fakta lagi, di balik kesuksesan saat ini, ternyata The North Face berpindah kepemilikan hingga empat kali.
Lalu bagaimana The North Face bisa bertahan dan bangkit hingga menjadi seperti saat ini?
Berawal dari Salah Lokasi Toko
Sejarah The North Face bermula di era awal 1960-an. Pasangan suami istri Douglas Tomkins dan Susie Bell memprakarsai berdirinya The North Face. Musababnya, kedua orang ini sangat jatuh cinta dengan berbagai kegiatan outdoor seperti mendaki gunung, panjat tebing, hingga ski.
Kecintaan inilah yang membuat mereka berdua pada tahun 1966 nekat meminjam uang sebesar USD 5.000 untuk mendirikan toko penjualan produk-produk outdoor dengan kualitas terbaik.
Uniknya, toko pertama ini justru berada di daerah pantai daerah yang jauh dari tempat melakukan kegiatan outdoor favorit mereka yakni di pegunungan. Toko pertama Tomkins dan Bell terletak di daerah North Beach, San Francisco, pada 26 Oktober 1966.
Keunikan toko ini tidak berhenti sampai di situ. Saat acara pembukaan, yang hadir di toko ini berasal berbagai macam golongan, mulai dari pencinta kegiatan outdoor, orang-orang kantoran yang memakai jas rapi, hingga para anggota klub motor terkenal Hell Angel’s. Pembukaan toko kecil ini ini juga mengundang salah satu band rock terkenal di masa itu yaitu Grateful Death.
The North Face, Nama yang Terinspirasi Sisi Ekstrem
Tomkins dan Bell memilih “The North Face” sebagai nama toko tersebut. Nama ini terinspirasi dari medan berat yang hampir selalu terdapat pada sisi bagian utara dari gunung yang sangat ekstrem dan menantang.
Jonathan Franklin dalam buku “A Wild Idea” menulis bahwa Tomkins mengatakan sisi selatan adalah sisi yang paling sering didaki sehingga saljunya lebih lembut dan sinar matahari membuatnya lebih hangat.
“Saya memilih sisi yang lebih sulit, sisi yang lebih keras dan sedingin es. The North Face (sisi utara) adalah tantangan yang lebih sulit dan menantang. Saya mengambil jalan hidup itu,” ujar Tomkins menjawab pertanyaan Franklin di buku tersebut.
Sayangnya dua tahun setelahnya, Tomkins dan Bell memutuskan untuk menjual The North Face ke Kenneth “Hap” Kloop. Dia adalah seorang pemuda lulusan MBA dari Stanford University. Dari hasil penjualan itu Tomkins dan Bell membuat jenama baru berlabel Esprit yang di kemudian hari juga manjadi jenama populer di dunia.
Pindah Kepemilikan, Laris, Lalu Jatuh
Di tangan Kloop, The North Face pindah ke area yang lebih relevan yaitu di Berkeley, San Francisco. Pada masa ini The North Face mulai membuat produk sendiri. Produk pertama di tahun 1969 itu adalah backpack dengan frame internal dan jaket yang diberi nama Sierra Parka.
Pada masa ini pula The North Face mulai mensponsori beberapa ekspedisi ekstrem ke pelosok dunia yang paling terpencil, bahkan ada beberapa tempat yang belum tersentuh. Dari sini muncullah tagline “Never Stop Exploring!”.
Logo The North Face yang ikonik sendiri baru muncul di tahun 1971. Desainer logo ini adalah David Alcorn yang terinspirasi dari tebing Half Dome. Tebing ini merupakan “Mekkah”nya para pemanjat tebing dunia yang terletak di Taman Nasional Yosemite, California.
Sejak saat itu The North Face terus berkembang. Mereka merilis berbagai macam jenis peralatan dan pakaian outdoor seperti sleeping bag dan rain parka. Produk yang paling inovatif adalah tenda yang diberi nama Oval inTENTion. Ini adalah sebuah tenda dengan tiang-tiang berbahan aluminium yang saling menyilang sehingga lebih kokoh. Tenda ini menjadi tempat para pendaki berlindung di saat cuaca buruk sekalipun.
Pada 1977 mereka memperkenalkan produk-produk outerware yang menggunakan bahan kain Gore Tex. Ini adalah bahan kain ringan yang memiliki sirkulasi udara baik, anti air dan tahan angin. Berkat inovasi-inovasi ini, reputasi The North Face semakin kinclong di kalangan pencinta kegiatan outdoor.
Tidak berhenti di situ, pada 1983 The North Face mengakuisisi pabrik pembuatan pakaian ski di Glasgow, Skotlandia. Di tahun yang sama The North Face juga mulai mengedarkan produknya di pasar Eropa.
Bisnis Klopp kian moncer. Ini terlihat karena setahun kemudian Kloop sudah mempekerjakan 800 pegawai dan mengekspor produknya ke 22 negara. Mereka juga memberikan lisensi pembuatan produk untuk perusahaan-perusahaan dari Jepang, Kanada, dan Australia. Tercatat penjualan The North Face sepanjang tahun itu mencapai USD 40 juta.
Kejatuhan Pertama, Pindah Kepemilikan, Lalu Bangkit Lagi
Tetapi tidak ada bisnis yang mulus begitu saja. Manajemen The North Face ternyata masih tergagap dengan perkembangan pesat mereka sendiri. Hampir semua produksi di pabrik kerap molor dari jadwal. Misalnya, produk yang seharusnya diedarkan pada saat musim dingin, ternyata baru jadi pada musim panas. Begitu sebaliknya.
Hal ini membuat produk The North Face banyak yang tidak terjual sehingga stok mulai menumpuk di gudang. Untuk mengatasi penumpukan barang, manajemen memutuskan untuk menjual produk mereka dengan harga diskon.
Inilah awal kejatuhan pertama The North Face. Sebab, kendati menginginkan produk The North Face, konsumen menahan diri untuk membeli dan menunggu hingga tersedia di outlet dengan harga diskon.
Akibatnya, Kloop terpaksa harus menjual brand ini ke Bill Simon Odyssey Holdings pada 1988. Di tangan bos baru ini The North Face mulai bangkit kembali. Mereka menggunakan model bisnis baru, yakni menutup semua outletnya.
The North Face juga mulai bekerja sama dengan pabrik lainnya. Tujuannya agar tidak bergantung kepada pabrik mereka sendiri yang sering overload dan mengakibatkan telat produksi.
Masuk ke periode awal 1990-an, penjualan kembali membaik. Kabar baik lainnya, produk-produk The North Face mulai diadopsi oleh para pegiat subkultur Hip hop di New York yang saat itu menjadi trend setter para remaja. Beberapa rapper seperti Notorious BIG hingga Wu Teng Clan terlihat memakai produk-produk dari The North Face.
Bigy dari Notorious BIG memakai seri jaket The North Face yang saat itu sangat populer yaitu The Nuptse yang rilis pada tahun 1992. Sementara dalam video klip Wu Teng Clan yang berjudul Method Man terlihat jaket model Steep Tech rilis di tahun 1991.
Jatuh Lagi Akibat Pemilik Bangkrut
Saat tengah menikmati manisnya penjualan, lagi-lagi masalah merundung The North Face. Pada 1994 Bill Simon Oddisey Holdings bangkrut sehingga jenama ini harus dilelang. Pemenang lelang adalah konsorsium Whitney & Co, Cason, dan William McFarlane.
Pada era ini kepemimpinan pemilik ketiga ini The North Face mulai memasuki pasar saham di tahun 1996.
Tetapi dua tahun kemudian masalah muncul lagi. Perusahaan induk The North Face kembali bermasalah karena laporan keuangan perusahaan ternyata tidak sesuai. Hal ini membuat para pemegang saham marah besar dan melaporkan The North Face.
Keadaan semakin memburuk saat para eksekutif satu persatu mulai mundur dari jabatannya. Akibatnya di tahun 1999 perusahaan mengalami kerugian hingga USD 100,5 juta. Sejarah The North Face pun terancam hilang selamanya.
Untungnya di masa-masa sulit ini muncul korporasi besar VF Corporation yang saat itu memiliki sejumlah brand besar seperti Jansport, Timberland, dan Eastpak. Mereka berniat untuk mengakuisisi The North Face karena melihat ada potensi besar di dunia fashion.
Merambah Fashion Namun Tak Lupa DNA Outdoor
Di era pemilik keempat ini, The North Face mulai mengubah haluan. Brand ini mulai mengeluarkan produk-produk yang lebih nyaman digunakan untuk kegiatan sehari-hari tanpa meninggalkan kesan outdoor dan kualitas yang premium.
Para penikmat fashion hingga pelaku subkultur streetwear menyambut baik perubahan ini. Bahkan penikmat high-end fashion seperti para selebritas terlihat bangga menggunakan produk-produk dari The North Face. Penyebabnya sederhana, produk The North Face yang berkolaborasi dengan produk fashion lainnya mulai lalu lalang di catwalk prestisius seperti Paris Fasion Week.
Meski begitu The North Face tidak pernah melupakan DNA aslinya. Mereka terus mengembangkan produk produk outdoornya dan terus aktif di dunia maskulin tersebut.
Bahkan pada 2006 mereka mensponsori Kit Des Laurers saat menjadi orang pertama yang bermain ski di Gunung Everest. Dua tahun berikutnya The North Face mensponsori Alex Honnold yang melakukan aksi gila free climbing di tebing yang menjadi inspirasi logo The North Face yaitu Half Dome.
Pada 2019 lalu, The north Face mengumumkan teknologi terbarunya yang bernama future light. The North Face juga melakukan kolaborasi untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Beberapa kolaborasi yang membetot perhatian publik antara lain dengan brand Supreme, Gucci, dan Kazuki Kuraishi.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"