KONTEKS.CO.ID – Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri di Indonesia adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh umat Muslim setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan.
Tradisi ini bukan hanya tentang perayaan kemenangan spiritual, tetapi juga menjadi waktu bagi banyak orang untuk mudik ke kampung halaman, merayakan dengan keluarga, dan berbagi kebahagiaan.
Namun, tidak jarang esensi sejati dari Lebaran terdistorsi oleh budaya konsumtif dan kompetisi duniawi yang merusak nilai-nilai spiritual yang seharusnya diutamakan.
Berikut ini adalah beberapa kesalahan berpikir yang kerap muncul selama Lebaran dan cara mengatasinya agar kita bisa kembali ke makna yang lebih mendalam dari hari suci ini.
1. Lebaran dan Tradisi Baju Baru
Salah satu tradisi yang paling kental saat Lebaran adalah memakai baju baru.
Tradisi ini sebenarnya merupakan simbolisasi dari kesucian hati dan pemurnian jiwa yang dicapai setelah sebulan berpuasa.
Namun, banyak yang memandang baju baru sebagai keharusan, padahal memakai baju yang sederhana atau yang sudah ada juga mencerminkan kesederhanaan dan kesucian hati yang sama.
Ini adalah saat yang tepat untuk mengingat bahwa Lebaran lebih tentang isi hati daripada penampilan luar.
2. Mudik dan Pencapaian
Mudik sering kali dianggap sebagai waktunya “pamer pencapaian” kepada keluarga di kampung halaman.
Banyak yang merasa harus menunjukkan suatu bentuk kesuksesan material sebelum bersedia pulang.
Namun, esensi mudik seharusnya tentang mempererat tali silaturahmi dan berbagi cinta, bukan sekedar menunjukkan pencapaian duniawi.
Pulang ke kampung halaman harus lebih difokuskan pada berbagi waktu dan kasih sayang kepada keluarga, bukan menilai kesuksesan.
3. Rasa Ingin Tahu yang Berlebihan
Saat berkumpul dengan keluarga besar, seringkali pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti status pernikahan atau pekerjaan menjadi topik utama.
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Lebih baik, kita menggunakan kesempatan berkumpul ini untuk membahas hal-hal yang lebih inklusif dan positif, seperti diskusi tentang rencana masa depan atau membagikan pengalaman yang menginspirasi, yang dapat memperkuat hubungan keluarga tanpa membuat siapa pun merasa tertekan.
4. Pamer Pencapaian
Memang wajar jika seseorang ingin berbagi kebahagiaan atas pencapaiannya, tetapi Lebaran seharusnya tidak dijadikan ajang untuk pamer.
Esensi Lebaran adalah bersyukur dan berbagi kebahagiaan, bukan membandingkan atau berkompetisi dalam hal duniawi.
Kita harus mengingat bahwa semua yang kita miliki adalah pinjaman sementara dari Sang Pencipta dan setiap kesempatan harus digunakan untuk merendahkan hati, bukan meninggikan diri.
Lebaran adalah momen yang sempurna untuk memurnikan jiwa, mempererat ikatan kekeluargaan, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Mari kita kembalikan Lebaran pada esensi spiritualnya. Menjauhkan diri dari budaya konsumtif dan kompetisi duniawi. Serta fokus pada nilai-nilai yang membawa kita lebih dekat kepada kebahagiaan sejati dan kesejahteraan bersama.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"