KONTEKS.CO.ID – Pengendalian polusi dengan cara menyemprotkan air bertekanan tinggi di berbagai fasilitas umum ternyata berdampak buruk pada kesehatan.
Menurut epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Pandu Riono, penyemprotan air bertekanan tinggi tersebut memicu pembentukan aerolisasi.
Kata Pandu Riono, penyemprotan air bertekanan tinggi memperburuk partikel udara (PM 2,5).
“Kalau semprot dengan air bertekanan tinggi bisa terjadi aerolisasi, jadi partikular itu menguap dan bisa lebih dahsyat efeknya kalau terhirup masyarakat,” ungkap Pandu Riono, menukil Antara, Jumat 25 Agustus 2023.
Pandu menjelaskan, polusi udara mengandung partikel kecil yakni PM 2,5 atau yang lebih kecil lagi partikulat berukuran 10 mikron (PM10), serta polusi dari hasil pembakaran energi sulfur oksigen (SO2).
Kata dia, pengaruh cemaran udara pada aspek kesehatan tidak hanya bersarang di paru-paru, tapi juga memicu efek alergi, mudah sakit, mengganggu sistem kerja jantung dan susunan organ lain, karena menyebar ke semua sistem tubuh.
Kata Pandu, dampaknya akan berlangsung dalam jangka pendek hingga panjang.
“Tekanan tinggi air bisa memecah partikel polusi jadi lebih halus dan masuk ke dalam pernapasan lebih mudah lagi tanpa kita sadari,” ujarnya.
“Aerolisasi itu seperti menyemprot ketiak kita dengan antibau badan, itu aerolisasi tingkat tinggi,” imbuhnya.
Kata Pandu, partikulat yang terbelah menjadi ukuran lebih kecil cenderung lebih mudah mengambang dan terbang hingga ke dalam rumah penduduk.
WFH Tak Ada Gunanya
Terkait dengan itu, usulan untuk bekerja dari rumah (WFH) pun tidak efektif.
“WFH tidak ada gunanya. Bahkan, kerja di rumah juga polusi masuk ke dalam rumah. Karena kontributor terbesar mungkin bukan dari emisi transportasi, ada yang lebih daripada itu,” jelasnya.
Pandu menyebut, ilmu pengetahuan manapun tidak menyarankan mekanisme penyemprotan air bertekanan tinggi secara sistematik pada saat krisis kesehatan akibat COVID-19.
Pandu tak memungkiri jika polusi udara di Jabodetabek merupakan dampak dari kondisi pemulihan ekonomi di era endemi.
“Polusi ini sudah berbulan-bulan sejak dikatakan pandemi selesai, orang kembali beraktivitas, pabrik menggenjot ekspor, semuanya pemulihan,” jelasnya.
“Ada sumber energi baru menggunakan fosil, jadilah Jabodetabek dan mungkin juga kota lain terjadi polusi,” katanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"