KONTEKS.CO.ID – Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengungkapkan waktu kualitas udara di Jakarta berada di level terburuk selama tahun 2023.
Kepala DLH DKI Jakarta Asep Purwanto mengatakan, kualitas udara terburuk di Jakarta terjadi pada bulan Juli 2023.
Kemudian, kualitas udara buruk terendah di tahun 2023 terjadi pada bulan Februari dengan konsentrasi particulate matter (PM) pada mencapai 16,98.
“Rata-rata konsentrasi PM 2,5 tertinggi terjadi di bulan Juli sepanjang tahun 2023 ini, yaitu sebesar 48,72 mikrogram per meter kubik,” ujar Asep Purwanto dalam acara Diskusi Publik Quick Response Penanganan Kualitas Udara Jakarta di Hotel Shangri-La, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin 28 Agustus 2023.
Menurut Asep, musim kemarau adalah salah satu faktor penyebab parahnya kualitas udara di Jakarta.
“Hal ini menandakan faktor meteorologi turut memengaruhi kualitas udara Jakarta, terutama ketika memasuki musim kemarau,” ujarnya.
“Selain itu, fenomena El Nino pada tahun ini menyebabkan musim kemarau semakin panjang yang dapat memperparah kondisi kualitas udara kita,” imbuhnya.
Fenomena El Nino
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan polusi di wilayah perkotaan, khususnya Jakarta semakin signifikan akibat fenomena El Nino.
Terlebih, fenomena El Nino tersebut juga membuat musim kemarau lebih panjang dari tiga tahun sebelumnya. Pesatnya fenomena El Nino lantaran suhu bumi akibat perubahan iklim.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, dampak El Nino tersebut sangat nyata terasa oleh masyarakat, salah satunya polusi.
“Semakin signifikannya polutan yang kita rasakan dengan adanya musim kemarau yang kering ini sebagai dampak dari El Nino,” ujar Dwikorita secara virtual, Selasa 22 Agustus 2023.
Menurut Dwikorita, polusi tidak begitu terasa di perkotaan lantaran kemarau basah akibat La Nina selama tiga tahun terakhir.
“Jadi musim kemaraunya kemarau basah, sehingga polutan-polutan tersebut sebetulnya ada, tetapi tampaknya semakin mudah tercuci. Namun, kali ini karena kering makin terasa,” jelasnya.
Dampak perubahan iklim, kata Dwikorita, sangat terasa. Dia mencontohkan salju abadi di Puncak Jaya yang terus mencair.
Lantaran itu, Dwikorita mengajak seluruh pihak menyadari pentingnya menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu.
Caranya, dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan.
“Kami usulkan, kami rekomendasikan di dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional, bukan hanya program untuk peringatan dini,” ujarnya.
Selengkapnya dapat Anda simak di sini.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"