KONTEKS.CO.ID – Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta, Rasyidi menyoroti aturan baru tarif pajak hiburan jenis usaha tertentu berkisar 10,75 persen yang gempar pada awal tahun 2024 lalu.
Sebab, para pengusaha merasa besaran pajak tersebut tidak wajar. Bahkan, tak menyisakan untung bagi para pelaku usaha.
Apalagi mereka merasa tak dilibatkan dalam penyusunan aturan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UUHKPD).
Maka, kata Rasyidi, membuat para pengusaha kalang kabut dan keberatan dengan aturan pajak hiburan tersebut.
Dia menjelaskan, terdapat 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 di antaranya dipungut pajak sebesar 10 persen.
Sementara, sisanya masuk ke dalam kelompok hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa.
“Mereka harus membayar tarif 40,75 persen dari pendapatan kotor,” ujar Rasyidi mengutip, Kamis, 16 Mei 2024.
Rasyidi mengatakan, penolakan itu adalah wajar, namun kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen itu juga bisa dilihat pada sisi positif.
Salah satunya yakni menunjang peningkatan penerimaan pendapatan daerah (PAD).
Kendati begitu, politisi PDIP itu menyebut bahwa masih terdapat peluang merevisi aturan tersebut.
Ia pun mengakui, kebijakan tersebut memang dikeluhkan banyak pengusaha hiburan. Karena idealnya, aturan itu berlaku bagi orang yang datang atau tamu tempat hiburan.
“Seiring berjalannya waktu, kita berharap semua pihak bisa menerimanya. All beginning is dificult,” tambahnya.
“Semua yang baru itu susah. Jika begitu sudah jalan, kenaikan itu mudah. Karena sebenarnya kenaikan pajak itu dibebankan kepada orang yang datang,” sambungnya.
Lebih lanjut, Rasyidi mengungkapkan, efek positif kenaikan pajak hiburan tersebut diharapkan membuat rencana pembangunan di DKI Jakarta bisa berjalan optimal.
Sebab, lanjut dia, akan berdampak pada peningkatan APBD DKI Jakarta dari sektor pajak.
“Kita ingin mendapatkan suatu tambahan profit dalam APBD kita. Karena, Pemprov DKI Jakarta berkomitmen menjaga iklim perekonomian di wilayah Ibu Kota,” ungkapnya.
“Salah satunya menerapkan batas bawah atau terendah kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,” katanya lagi.
Harap Pelaku Tidak Terbebani
Sementara itu, di tempat terpisah Ketua Bapemperda DKI Jakarta, Pantas Nainggolan mengatakan bahwa Perda itu dibuat mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Menurutnya, regulasi itu mengatur batas atas dan batas bawah tentang besaran pajak yang akan dikenakan kepada pelaku usaha.
“Jadi, kami ambil batas bawah dengan harapan pihak yang dikenakan wajib pajak tidak terbebani, sehingga bisa tetap berusaha dan tidak tercekik,” kata Pantas.
Karena itu, ungkap Pantas, eksekutif dan legislatif sengaja tak mengambil batas tertinggi dari nilai pajak sebesar 70 persen, lantaran mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha hiburan.
“Meski Jakarta dikenal sebagai kota jasa, tapi pemerintah juga harus menjaga keberlangsungan ekonomi di wilayahnya,” tandasnya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"