KONTEKS.CO.ID – Ombudsman Perwakilan Jawa Timur memastikan ada prosedur mitigasi kerusuhan yang diabaikan sehingga menyebabkan tragedi maut usai laga Arema FC vs Persebaya yang menyebabkan sedikitnya 130 orang suporter meninggal dunia.
Menurut Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin, secara bersama, mitigasi kerusuhan itu diabaikan oleh panitia pelaksana (Panpel), PT LIB dan juga pihak kepolisian yang mengamankan jalannya pertadingan.
Agus Muttaqin menyampaikan duka mendalam atas tragedi kerusuhan setelah pertandingan Arema-Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022. Jumlah korban hingga berita ini diturunkan masih sangat simpang siur.
Data BPBD Pemkab Malang mencatat 174 korban meninggal, Dinkes 130 korban meninggal, dan relawan ambulans sebanyak 187 korban meninggal dunia, yang kebanyakan adalah suporter Arema Malang.
Dijelaskan Agus, setiap jalannya pertandingan atau kompetisi, harusnya tetap merujuk pada Regulasi Keselamatan dan Keamanan (RKK) PSSI 2021. Sesuai Pasal 1 huruf 2 RKK, disebutkan bahwa aturan tersebut dimaksudkan untuk memastikan keselamatan dan keamanan di dalam dan sekitar stadion, baik sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan pertandingan atau kompetisi.
“RKK juga mengatur tentang upaya pencegahan atau mitigasi atas potensi terjadinya kerusuhan yang menimbulkan jatuh korban,” ujar Agus Muttaqin, Minggu, 2 Oktober 2022.
Selain itu, Ombudsman Perwakilan Jawa Timur menyampaikan kalau PSSI mendelegasikan pelaksanaan pertandingan atau kompetisi kepada panitia pelaksana (panpel/dari Arema), operator pertandingan (PT Liga Indonesia Baru/LIB), dan kepolisian.
Tiga lembaga tersebut berkolaborasi untuk menjamin keamanan dan keselamatan pertandingan atau kompetisi. Panpel bertugas menyelenggarakan pertandingan. PT LIB mengelola kompetisi dan turnamen sepak bola profesional. Sedang kepolisian memberikan layanan pengamanan.
“Ombudsman adalah lembaga negara dengan tupoksi mengawasi pelayanan publik. Dari temuan sementara, terungkap bahwa ada mitigasi pencegahan kerusuhan yang tidak dijalankan, baik oleh panpel, PT LIB, dan kepolisian. Temuan itu mengarah pada potensi maladministrasi sesuai UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” ujar Agus.
Berikut catatan penting Ombudsman Perwakilan Jawa Timur terkait tragedi maut di Stadion Kanjuruhan Malang:
Pertama, panpel dianggap menyalahi prosedur dengan menolak permohonan kepolisian untuk membatasi pencetakan tiket menjadi 38.054 tiket dari total kapasitas stadion 42.500 penonton.
Saran polisi itu merujuk pada Pasal 48 RKK yang mewajibkan pansel berkonsultasi dengan kepolisian terkait jumlah penonton. PSSI juga mewajibkan pengisian hanya 75 persen dari total kapasitas stadion, mengingat anggapan BNPB/Satgas Covid-19 bahwa Indonesia belum aman dari pandemi.
Selain itu, panpel tidak memberi layanan kedaruratan sesuai Pasal 47 RKK, yakni dengan mengabaikan kewajiban penyediaan sarana evakuasi meliputi sistem peringatan bahaya, pintu keluar darurat, jalur evakuasi, dan tangga darurat/kebakaran, apabila terjadi keadaan darurat.
Informasi jalur evakuasi dan titik kumpul juga tidak terinformasi secara baik kepada penonton. Itu tergambar dari banyaknya korban yang terinjak-injak dan kekurangan oksigen. Korban berebut menuju pintu keluar ketika tidak tahan dengan semprotan gas air mata polisi.
Panpel juga mengabaikan identitas penonton dalam penjualan tiket. Hingga Minggu sore (2/10), petugas medis kesulitan mengidentifikasi identitas sekitar 25 jenazah korban kerusuhan.
Korban tidak membawa satupun identitas. Diduga kuat, dalam penjualan tiket lewat jasa pihak ketiga (calo), petugas mengabaikan kartu identitas calon penonton.
Kedua, PT LIB tidak mengantisipasi potensi kerusuhan dengan mengabaikan masukan kepolisian untuk memajukan jadwal pertandingan dari jam 20.00 menjadi 15.30 WIB. Padahal, derby serupa antara Persija vs Persib pada Minggu (2/10), pemajuan jadwal malam menjadi sore disetujui.
Tidak diketahui alasan penolakan tersebut. Bisa jadi karena terkait jadwal hak siar dan rating televisi. Selain itu, PT LIB kurang menghitung secara matang atas dampak atas pertandingan berisiko tinggi derby Jawa Timur tetap diadakan di Pulau Jawa.
Ketiga, kepolisian memberikan pelayanan pengamanan yang diduga menyalahi ketentuan dan standar FIFA. Sesuai Perkapolri No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, polisi memang bisa menggunakan semprotan gas air mata untuk membubarkan kerumunan agar berurai ke segala arah.
Hanya, tidak tepat digunakan di dalam stadion, yang tertutup dan terbatas dengan pintu keluar. Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security disebutkan pelarangan penggunaan gas air mata dan senjata api, bahkan dilarang dibawa masuk ke dalam stadion.
Polisi juga kurang mengantisipasi potensi kericuhan dengan memunculkan simbol “Surabaya” di sekitar stadion, yakni dengan menggunakan rantis atau truk polisi bertuliskan Polrestabes Surabaya yang mengangkut official dan pemain Persebaya menuju stadion.
Perlu ditelusuri lebih dalam terhadap ketentuan dan penerapan tergulasi keselamatan dan kemanan PSSI yang antara lain mengatur tentang kapasitas stadion, penempatan personel keselamatan dan keamanan, jalur akses dan perambuan, pembatasan pergerakan penonton, pengusiran dan pelarangan masuk.
Serta yang berkaitan dengan rencana keselamatan dan keamanan, penilaiain resiko stadion, rencana kontigensi dan rencana darurat. Tentunya ketentuan ini perlu dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan aparat terkait.
Atas temuan sementara itu, Ombudsman bakal menindaklanjuti dengan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (own motion investigation/OMI) sesuai pasal 7 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Ombudsman akan melakukan pengumpulan data di lokasi kejadian atau pemeriksaam dokumen. Hasil OMI berupa tindakan korektif kepada para stake holder dalam penyelenggaran pertandingan atau kompetisi sepak bola.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"