KONTEKS.CO.ID – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan duka cita yang mendalam atas jatuhnya korban dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, pada 1 Oktober 2022 pasca pertandingan Arema FC dan Persebaya. Hingga rilis ini diterbitkan, KontraS mencatat terdapat lebih dari 174 puluh orang tewas dan puluhan orang luka-luka atas peristiwa tersebut.
“Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, pasca pertandingan tersebut sejumlah penonton memasuki lapangan dan direspon oleh aparat keamanan dengan melakukan tindak kekerasan,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Minggu 2 Oktober 2020.
Menurutnya melalui video yang beredar terlihat aparat melakukan tendangan dan pemukulan. Diperparah dengan adanya penembakan gas air mata, yang semakin memperburuk situasi.
“Atas peristiwa tersebut kami menilai telah terjadi dugaan pelanggaran hukum dan HAM,” tegasnya.
Fatia mengungkapkan argumentasi KontraS antara lain sebagaimana diuraikan berikut:
PERTAMA, TNI-Polri melanggar peraturan perundangan-undangan karena melakukan tindak kekerasan dalam menghalau penonton yang masuk ke dalam lapangan stadion Kanjuruhan. Tindakan sewenang-wenang TNI-Polri dengan melakukan tindak kekerasan jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 170 dan 351 KUHP.
Selain itu, bagi anggota Polri dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (1) huruf g Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Kedua, Penembakan gas air mata ke arah tribun penonton yang penuh sesak oleh Polri melanggar prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan
“Penggunaan kekuatan harus melalui tahap mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau Tersangka yang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum.”
Ketiga, Tindakan berlebihan yang dilakukan anggota Polri menyalahi prosedur tetap pengendalian massa. Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, b dan e Perkapolri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, bagi setiap anggota Polri yang melakukan kegiatan Dalmas dinyatakan bahwa:
“Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas: a. Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa; b. Melakukan tindakan kekerasan yang, (e) keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan.” paparnya.
Keempat, Polri yang membawa senjata gas air mata melanggar ketentuan Federation International de Football Association (FIFA) Stadium Safety and Security. Dalam Article 19 point b ditegaskan bahwa: “No firearms or crowd control gas shall be carried or used.” Bahwa penggunaan senjata gas air mata telah dilarang oleh FIFA, bahkan tidak diperbolehkan dibawa dalam rangka mengamankan pertandingan sepak bola.
“Berdasarkan hal tersebut di atas, kami melihat penggunaan gas air mata bukanlah sesuai prosedur, melainkan tindakan yang tak terukur karena mengakibatkan sejumlah dampak terhadap manusia,” paparnya.
Menurutnya hal tersebut diperparah dengan kondisi stadion yang over kapasitas dan ruang yang tidak memungkinkan memberi kesempatan orang-orang untuk bergerak secara leluasa karena dalam kondisi panik dan terbawa arus massa.
“Terlebih lagi, terdapat kelompok rentan seperti anak, perempuan, ibu, bahkan orang tua menjadi pihak paling rentan dalam situasi tersebut,” jelasnya.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"