KONTEKS.CO.ID – Kebangkitan Pergerakan 98 menyampaikan sejumlah catatan penting sebagai refleksi Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2023. Beberapa hal ini dianggap penting untuk disampaikan kepada masyarakat terutama mengenai genderang perang Pemilu Presiden yang telah terjadi sejak saat ini.
Kebangkitan Pergerakan 98 menilai, pemilu 2024 (Pileg, Pilpres, maupun Pilkada) semestinya bukan sekadar menyoal proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup. Hal itu tidak esensial dan fundamental.
Persoalan yang mendasar adalah Pemilu 2024 tidak menjadi pengejawantahan dari sila ke-empat dan ke-lima Pancasila. Dua sila ini mensyaratkan tidak hanya terselenggaranya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.
Sejak 2004, menurut Pergerakan Kebangkitan 98, Pemilu hanya sekadar prosedur demokrasi yang dilaksanakan atas nama konstitusi. Tujuannya hanya demi menghasilkan pengisi jabatan legislatif, presiden, dan kepala daerah untuk menjalankan fungsi administrasi pemerintahan negara.
“Namun mereka pastinya bukanlah pemimpin bangsa yang akan memimpin negeri ini demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Juru Bicara Kebangkitan Pergerakan 98, Embay Supriyantoro, Kamis, 1 Juni 2023.
Embay tidak memungkiri pernyataan pihaknya terkesan sarkastik. Dia mengaku bahwa intensi Kebangkitan Pergerakan 98 adalah untuk menelanjangi praktik politik yang tengah berlangsung saat ini.
“Tentu bukan tanpa alasan, mengingat kemesuman politik yang tengah terjadi saat ini merupakan bentuk kebiadaban yang sungguh-sungguh telah mengkhianati cita-cita bangsa sebagai mana yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945,” katanya lagi.
Bukan Proses Permusyawaratan
Lebih jauh, Embay menilai demokrasi Indonesia saat ini bukanlah proses politik yang berangkat dari proses permusyawaratan. Itu sebabnya demokrasi saat ini jauh dari ruh demokrasi genuine Nusantara.
“Imbasnya, pesta demokrasi tidak akan pernah mampu melahirkan wakil rakyat dan pemimpin berorientasi kerakyatan. “Apalagi pemimpin yang terpimpin oleh hikmat kebijaksanaan demi kepentingan bangsa (national interest),” kata Embay.
Saat ini beberapa capres sudah mengemuka di publik. Beberapa parpol sedang menentukan sikap politiknya. Berbagai spekulasi tentang siapa capres dan cawapres masih jadi bahan perbincangan hangat.
Meski begitu, genderang perang Pemilu Presiden 14 Februari 2024 telah mulai ditabuh. Para bakal capres telah ‘mencuri start‘ dengan berbagai kegiatan untuk jumpa fans, bahkan dengan alasan kegiatan keagamaan sekalipun.
Embay menggarisbawahi, pesta demokrasi kini berubah menjadi peperangan di ruang media sosial sebagai ajang saling jegal dan saling jagal dengan cara-cara biadab tanpa mengindahkan etika dan norma-norma kepatutan.
“Inilah praktik demokrasi yang cuma mempertontonkan kemesuman politik oleh sebuah persekongkolan jahat. Persekongkolan jahat yang dilakukan oleh kaum oligarki dengan memainkan praktik mobokrasi dimana rakyat dimobilisasi sebagai ornamen demokrasi,” sebut Embay.
Padahal, menurut Kebamgkitan Pergerakan 98, hingar bingar kemesuman politik ini disponsori oleh para plutokrat yang terdiri dari para pemburu rente. Mereka beramai-ramai ikut menginvestasikan dananya demi mengamankan kelangsungan bisnisnya.
“Kemesuman politik seperti ini pada akhirnya menghidupkan sistem kleptokrasi, suatu pemerintahan yang dikendalikan oleh para pemimpin korup (kleptokrat). Kekuasaan digunakan untuk mengeksploitasi rakyat dan kekayaan alam demi menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dan memperhebat kekuatan politik mereka,” ujar Embay.
Ironisnya, kemesuman politik yang terjadi menjadi ritual lima tahunan yang disakralkan atas nama konstitusi. Ritual ini mempertemukan pemerintah sebagai “Gusti” dengan rakyat sebagai “kawula”. Ini terjadi di sebuah pasar politik yang bernama demokrasi. tujuannya untuk berinteraksi dan bertransaksi politik secara langsung.
Prinsip Musyawarah Mufakat
Embay melanjutkan, pemilu di Indonesia membuktikan bahwa apa yang disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tentang Panca Sila pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI tentang prinsip mufakat atas dasar perwakilan dan permusyawaratan belum terwujud.
Prinsip ini pada dasarnya bercita-cita untuk membentuk suatu negara yang “satu buat semua, semua buat satu.” Nila-nilai demokrasi diejawantahkan melalui tata cara perwakilan dan etika permusyawaratan. Soekarno dalam pidatonya di hadapan sidang BPUPKI mengatakan, “Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.”
Dalam pemahaman Soekarno, demokrasi bukan hanya demokrasi politik yang hanya memberikan kesamaan hak dan kesempatan politik. Tak kalah penting adalah kesamaan hak dan kesempatan ekonomi.
Kesamaan hak dan kesempatan politik yang tidak diimbangi oleh kesamaan hak dan kesempatan ekonomi hanya akan memberikan ruang bagi lahirnya anarkisme politik dan ekonomi. “Wujudnya berupa penindasan dan penjajahan oleh kaum elite politik dan oligarki sebagai pemilik kekuasaan politik dan ekonomi terhadap rakyat yang tak lebih hanya menjadi objek politik dan objek ekonomi semata,” tutur Embay.
Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi hanya bisa terwujud jika ada keterwakilan dari semua unsur kebangsaan di dalam badan permusyawaratan guna menjamin terselenggaranya dua prinsip: Politieke Rechtvaardigheid dan Sociale Vaardigheid, keadilan politik dan keadilan sosial.
Dengan adanya demokrasi ekonomi, maka prinsip kesejahteraan menjadi prinsip ke-4 yang disusulkan oleh Soekarno. Prinsip kesejahteraan adalah prinsip “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.”
Mufakat sebagai bentuk demokrasi politik dan kesejahteraan sebagai bentuk demokrasi ekonomi oleh Soekarno disarikan menjadi sosio-demokrasi. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar antara demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal yang saat ini dipraktikkan dalam kehidupan politik di Indonesia.
Hanya Hasilkan Pergantian Kekuasaan
Embay memprediksi Pemilu 2024 hanya akan menghasilkan pergantian kekuasaan tanpa hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jika itu benar terjadi, maka ini penegasan bahwa kebiadaban politik yang berlangsung saat ini merupakan upaya pengkhianatan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif oleh para oligarki. Para oligarki ini merupakan komprador dan antek-antek dari proxy kepentingan asing yang sengaja ingin menghancurkan Indonesia dari dalam melalui proses amandemen yang dilakukan sejak tahun 2002.
“Menjadi sahih apa yang pernah dinyatakan oleh Soekarno, ‘Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.’ Bangsa dari sebuah negeri yang harus tetap berperang melawan penjajahan oleh negara yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyatnya sendiri. Peperangan antara alam nyata versus alam maya, realita versus ilusi!!!” ujar Embay Supriyantoro lagi.
Jika praktik demonkrasi hyperliberal tetap dipertahankan dan terus berlangsung dari waktu ke waktu, jangan heran jika anak anak negeri dalam jangka panjang akan kehilangan keteladanan akan sikap kepemimpinan, kebangsawanan dan kenegarawanan.
“Inilah nasib sebuah negara merdeka, tetapi sejatinya belum merdeka sebagai sebuah Negeri. Negeri tanpa pemimpin yang terjajah oleh negaranya sendiri secara konstitusional,” tutup Embay.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"