KONTEKS.CO.ID – Hari Kamis lusa, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan permohonan terkait sistem pemilu legislatif, apakah akan tetap proporsional terbuka, atau berubah menjadi tertutup, ataukah sistem pemilu yang lain.
Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana berpendapat, putusan MK seharusnya menolak menentukan sistem pemilu legislatif mana yang konstitusional, dan mestinya diterapkan.
“Soal sistem pileg adalah open legal policy, dan karenanya merupakan kewenangan pembentuk UU (Presiden, DPR, dan DPD) untuk menentukannya melalui proses legislasi di parlemen, bukan kewenangan peradilan konstitusi melalui proses ajudikasi,” kata Denny Indrayana dalam keterangan tertulis pada Selasa, 13 April 2023.
Kata Denny Indyana, mengubah sistem pemilu ke tertutup, saat proses sudah berjalan, akan menimbulkan kekacauan, bahkan penundaan pemilu. Sudah terlihat, delapan fraksi di DPR menolak sistem pileg proporsional tertutup.
“Ingat, putusan MK memerlukan pengubahan aturan pelaksanaan misalnya di KPU. Padahal, dalam menyusun peraturannya, UU Pemilu mewajibkan KPU berkonsultasi dengan DPR, yang sifatnya mengikat. Sehingga, jika delapan fraksi DPR tetap bersikeras menolak sistem tertutup, maka akan timbul kebuntuan yang saling mengunci antara putusan MK dan penolakan DPR, atau terjadilah political and constitutional gridlock,” katanya.
Karena itu, Denny Indrayana mendorong MK tidak mengubah sistem pemilu menjadi tertutup. Agar MK tidak tergoda mengambil kewenangan lembaga legislatif, dan mendorong bangsa ke jalan buntu konstitusi, yang berpotensi menyebabkan pemilu jadi tertunda.
”Meskipun, secara pribadi, sebagai bacaleg Partai Demokrat nomor urut 1 di Dapil Kalsel 2, saya justru diuntungkan jika sistem tertutup yang diputuskan MK. Hal demikian sekaligus menegaskan, sama sekali tidak ada motif politik pribadi ketika saya mengadvokasi putusan MK seperti sekarang, tetap proporsional terbuka,” katanya.
Menurut Denny, semuanya dilakukan justru untuk kepentingan publik, untuk menyelamatkan suara rakyat dan menguatkan demokrasi di tanah air.
Denny Indrayana sebelumnya telah menulis lima prediksi arah putusan MK, yaitu:
- Tidak dapat diterima, karena para pemohon tidak punya legal standing. Artinya sistem pileg tetap
proporsional terbuka, tidak ada perubahan. - Menolakseluruhnya,karenapermohonantidakberalasanmenuruthukumuntukdikabulkan.Artinyasistem pileg tetap proporsional terbuka, tidak ada perubahan.
- Mengabulkanseluruhnya,artinyasistempilegberubahmenjadiproporsionaltertutup,tinggalapakahakan langsung diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya. Kalau MK, mencari jalan kompromi antara berbagai kepentingan politik, maka putusannya akan mengabulkan seluruh permohonan, yang artinya mengganti sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, namun diberlakukan untuk pemilu selanjutnya, tidak langsung berlaku di 2024.
- Mengabulkansebagian,yaituketikamemutuskansistemcampuran(hybrid)antarapenerapanproporsional tertutup yang memperhatikan nomor urut, sambil tetap memperhitungkan suara terbanyak (terbuka), yang akan diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.
- Mengabulkan sebagian, yaitu ketika memutuskan sistem campuran (hybrid) berdasarkan levelnya, misalnya proporsional tertutup untuk DPR RI, dan terbuka untuk tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, atau sebaliknya, yang akan diterapkan pada pemilu 2024, atau ditunda pelaksanaannya.
Menurut Denny Indrayana, komposisi putusan hakim nantinya memang lebih sulit diprediksi, meskipun bukan tidak bisa dilihat dari kecenderungan konservatif dan progresif posisi hakim selama ini.
Sebagaimana di Amerika Serikat, hakim agung yang dinominasikan Presiden dari Partai Republik akan cenderung konservatif, sebaliknya yang diusulkan Presiden dari Demokrat akan condong progresif.
“Saat ini, yang paling lepas-bebas memberikan keputusan adalah Hakim Wahiddudin Adam, karena akan pensiun pada umur 70 tahun di 17 Januari 2024, tahun depan,” ujar Denny Indraya.
“Sebagai penutup, saya ingin tegaskan, apapun putusan MK kamis lusa semoga dapat menguatkan sistem pemilu kita, dan tidak menjadi bagian dari strategi pemenangan Pemilu 2024 untuk sekelompok kekuatan politik semata. Kita tentu mendorong MK yang tetap independen, termasuk dalam memutus perkara yang sarat kepentingan politik termasuk soal pemilu, antikorupsi dan sejenisnya, atau disebut political question cases,” ujarnya lagi.
Menurut Denny Indrayana, dirinya terpaksa mengkritisi, bahwa putusan MK yang terakhir, terkait perpanjangan satu tahun masa jabatan pimpinan KPK, sarat dengan aroma kuat strategi Pilpres 2024, yaitu ketika KPK masih diperlukan dalam manajemen pilah-pilih perkara, mana kasus yang dipetieskan karena berkait dengan kawan koalisi, serta mana kasus yang diangkat karena menyangkut dengan lawan oposisi.
Karena itu, Denny Indraya akan menghormati MK, dan karenanya menyampaikan sikap dan pandangan kritis, termasuk melakukan pengawalan lewat kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign).
“Rasa hormat tidak selalu harus diwujudkan dengan puja-puji yang menghanyutkan, tetapi bisa pula dengan teguran sayang yang mengingatkan. Meskipun, saya sangat mengerti pengawalan kritis demikian rawan disalahpahami sebagai bentuk intervensi, dan karenanya mudah dijerat dengan delik pidana, atau kriminalisasi,” katanya.
“Saya juga memahami, Pertimbangan 3.19 Putusan MK Nomor 1—2/PUU-XII/2014, dalam pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang penetapan perppu MK, pasca ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar, karena kasus tindak pidana korupsi. Dalam pertimbangan tersebut, MK mengklasifikasikan setiap tekanan kepada hakim, termasuk tekanan publik sebagai gangguan terhadap prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman, dan dapat diketagorikan sebagai contempt of court,” ujarnya lagi.
Karena itu, Denny Indrayana menyampaikan pandangan, pertimbangan demikian hanya tepat jika sistem penegakan hukum kita juga sudah ideal dan jauh dari praktik koruptif peradilan. Ketika semua penegak hukum menjunjung etika profesionalitas dan integritas melawan praktik mafia peradilan. Namun, di saat sekarang, ketika masih ada oknum di Mahkamah Agung yang terjerat kasus mafia hukum dan tengah berkasus di KPK, ataupun MK pun pernah punya noda hitam kasus korupsi yang menjerat Ketua dan Hakim konstitusinya, maka salah satu jaring pengaman yang justru harus dilakukan adalah mendorong kuatnya kepentingan dan kontrol publik (public control).
“Kontrol melalui penyampaian pendapat semestinya dilihat sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna (meaningful public participation), untuk menjaga agar MK tidak masuk ke dalam pusaran politik praktis, termasuk ke dalam jebakan strategi pemenangan Pileg dan Pilpres 2024,” katanya.
Karena, berbeda dengan kekuatan politik dan oligarki-bisnis, yang bisa menggunakan tangan besi kekuasaan dan tumpukan dana untuk menggoda oknum hakim di peradilan, rakyat biasa seperti kita hanya punya suara untuk bicara, dan pendapat untuk disampaikan, terkadang memang secara lantang, demi untuk menjaga agar keadilan tidak dijadikan komoditas transaksi politik ataupun diperjualbelikan.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"