KONTEKS.CO.ID – Bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji materi sistem pemilu dengan terlapor Denny Indrayana telah naik penyidikan.
Denny Indrayana bakal dimintai keterangan terkait dengan laporan di Mabes Polri, dan penyidik Bareskrim dipastikan telah menemukan cukup bukti dugaan pidana kasus kebocoran putusan MK ini.
Komjen Agus Andrianto menyebut Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri yang menangani laporan polisi tersebut.
Menyikapi pemberitaan yang beredar bahwa laporan terhadap dirinya tengah dalam proses penyidikan, Denny Indrayana menyampaikan sejumlah tanggapannya.
“Hari ini saya mendapatkan banyak pertanyaan dari rekan-rekan media, terkait pernyataan Kabareskrim Polri, bahwa komentar kami soal putusan Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu tertutup atau terbuka sudah dalam tahap penyidikan, meskipun belum ada tersangkanya,” ujar Denny Indrayana dalam keterangan pada Senin, 26 Juni 2023.
Atas pemberitaan itu, berikut adalah tanggapan Denny Indrayana:
1. Meskipun belum ada tersangkanya, menaikkan proses ke penyidikan menunjukkan Bareskrim berpendapat sudah ada tindak pidananya. Bagi kita, tidak sulit menganalisis, siapa yang akan dijadikan tersangka dalam konstruksi pemidanaan yang demikian.
2. Seharusnya, normalnya, proses hukum adalah jalan menghadirkan ketertiban dan keadilan di tengah masyarakat. Namun, itu baru bisa terjadi jika penegakan hukum dilakukan dengan profesional, bermoral, dan berintegritas. Pertanyaannya, apakah penegakan hukum kita sudah memenuhi syarat-syarat ideal tersebut?
Apakah praktik mafia hukum, yang menjadikan hukum sebagai komoditas barang dagangan, dimana suap kepada oknum penegak hukum adalah praktik lazim, sudah berhasil dihilangkan? Apakah penegakan hukum kita sudah benar-benar bebas dari intervensi kekuatan kekuasaan, selain godaan sogokan uang?
“Maaf saya jawab dengan bahasa terang, sayangnya, penegakan hukum kita tidak jarang masih menjadi barang dagangan, jauh dari keadilan. Tanyakanlah kepada kami rakyat kecil, yang banyak menjadi korban mafia hukum, mafia tanah, mafia tambang, mafia narkoba, dan segala bentuk mafia lainnya,” ujarnya.
3. Nawaitu saya memberikan warning agar MK tidak memutus berlakunya sistem proporsional tertutup, Alhamdulillah telah terkabul. Apakah saya menghadirkan keonaran? Apakah tidak dilihat sebaliknya, kita justru telah mencegah terjadinya potensi kekacauan.
Kalau sistem tertutup yang diputuskan, bisa muncul potensi deadlock, bahkan penundaan pemilu, karena putusan MK ditentang oleh 8 (delapan) partai di DPR. Sudah ada bahasa akan memboikot pemilu, yang muncul dari parlemen.
Kita semua, bukan hanya saya tentunya, bersama-sama dengan media yang memberitakan luas (memviralkan) komentar saya di socmed, terbukti bisa menjadi kekuatan suara publik yang menyelamatkan suara dan mayoritas aspirasi masyarakat Indonesia.
4. Jikalaupun advokasi publik untuk menegakkan sistem pemilu proprsional terbuka tersebut kemudian dikriminalkan, tentu saya harus memandangnya sebagai bagian dari risiko perjuangan. Dalam suatu sistem penegakan hukum yang sedang tidak baik-baik saja, perjuangan melawan kedzaliman, menegakkan keadilan, tidak jarang justru membawa risiko yang tidak kecil, termasuk dikriminalkan.
Untuk itu, saya meminta doa dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia yang bersama-sama merindukan hukum yang lebih adil, Indonesia yang lebih sejahtera. Saya menerima banyak pesan moral dan dukungan, termasuk ucapan terima kasih atas hasil akhir putusan MK. Kepada semua perhatian dan dukungan demikian, saya ucapkan banyak terima kasih.
5. Terakhir, saya mendapatkan banyak dukungan dari rekan-rekan sejawat advokat dari berbagai latar belakang pengalaman kerja seperti mantan komisioner KPK, aktivis antikorupsi, Forum Pengacara Konstitusi, LBH Muhammadiyah, pengacara publik, serta elemen lain, yang ingin bergabung mendampingi saya berjuang bersama. Lagi, kepada semuanya saya merasa terhormat dan berterima kasih.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"