KONTEKS.CO.ID – Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menyampaikan, partai-partai politik di Indonesia kebanyakan seakan dikelola sebagai ‘CV’ yang tergantung pada Ketua Umum Partai.
“Jika di flashback kembali ketika jatuhnya orba, maka yang tampak para pejuang atau aktivis Reformasi 98 terlalu euforia. Hanya senang dengan kejatuhan Soeharto, tetapi tidak memikirkan peranan kelembagaan lain termasuk peranan partai-partai politik,” papar Ramli dalam diskusi bertajuk ‘Oligarki dalam Parpol dan Bahayanya bagi Demokrasi’, Jumat 7 Juli 2023.
Menurut Rizal saat itu banyak aktivis mahasiswa menuntut agar partai politik pendukung orba dibubarkan saja, dengan melakukan demo ke kantor Golkar dan lain-lain.
“Tetapi pada titik itu kita anggap partai-partai akan menyesuaikan diri. Tetapi ternyata saran bahwa partai-partai pendukung orba dibubarkan mungkin jika dilihat pada hari ini, itu ada benarnya,” katanya.
Hal itu menurutnya dikarenakan partai-partai itu makin lama justru semakin menunjukkan sifat yang tidak demokratis secara internal di mana pengaruh ketua umum sangat dominan.
“Segala hal diatur oleh mereka, termasuk setoran-setoran yang banyak masuk ke kantong ketua umum parpol dan bukan ke organisasi,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, parpol-parpol banyak mendapat pendanaan dari berbagai pihak dan mereka juga banyak “mengutip” dana dari APBN, APBD dan BUMN. Tetapi kebanyakan dana-dana itu masuk ke kantong-kantong ketua umum Parpol dan tidak masuk ke pendapatan resmi partai.
“Hal-hal itu tidak bisa kita tolerir lagi. Sesuai dengan konteks negara demokratis kita memang wajib dan perlu adanya partai-partai politik, tetapi pengelolaannya harus ada demokratisasi di dalam partai itu sendiri. Tidak bisa semua kewenangan berasal dari ketua umum parpol,” tambahnya,
Para ketua umum parpol saat ini bisa memecat anggota-anggota DPR seenaknya, sehingga 575 anggota DPR hanya bagai taman kanak-kanak yang hanya manut kepada 9 atau 10 ketua umum.
“Sementara ketua umumnya sendiri disenangkan oleh penguasa lewat proyek untuk ketua umum, kredit untuk ketua umum dan sebagainya,” terangnya.
Menurut Rizal, sistem politik seperti itu justru bisa merusak demokrasi. Oleh karena itu setelah Jokowi harus dilakukan pembenahan-pembenahan.
Pertama, Parpol dibiayai oleh negara seperti di Eropa, Inggris, New Zealand, Australia dan negara-negara Arab. Biayanya setelah dihitung tidak mahal hanya Rp30 triliun satu tahun.
“Toh praktiknya sekarang parpol “nyolong” ramai-ramai itu lebih dari Rp75 triliun,” katanya.
Tetapi menurutnya pembiayaan itu harus diikuti oleh kewajiban untuk mengubah AD/ART parpol. Supaya terjadi demokratisasi internal partai politik. Tidak bisa kita bicara demokrasi sementara di dalamnya sendiri tidak demokratis.
“Pengeluaran yang dibiayai oleh negara itu harus diaudit. Hanya boleh digunakan untuk kepentingan kaderisasi, kampanye dan organisasi partai politik. Tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.
“Setelah itu kita baru yakin seandainya parpol itu bersih dan demokratis maka dia sudah pasti akan memperjuangkan keadilan, demokrasi dan good governance dalam pemerintahan,” tuturnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"