KONTEKS.CO.ID – Rumah asri berdesain kolonial itu terletak di Jl Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lokasinya tidak jauh di belakang Mabes Polri. Kini, rumah yang jadi cagar budaya itu terancam disita lantaran sengketa kepemilikan rumah antara Guruh Soekarno Putra dengan Susy Angkawijaya.
Rumah itu bukan sekadar rumah megah warisan Fatmawati, istri presiden RI pertama Soekarno. Rumah itu menyimpan banyak cerita.
Awalnya, pada 13 Januari 1953 Fatmawati yang akrab disapa Bu Fat melahirkan putra terakhirnya, Guruh Soekarnoputra. Dua hari setelah Guruh lahir, Bung Karno meminta izin Bu Fat untuk menikahi Hartini. Bu Fat mengizinkan, tetapi dia meminta agar Bung Karno mengembalikannya ke orangtuanya lantaran Bu Fat yang antipoligami menolak dimadu.
Setelah Soekarno resmi menikahi Hartini pada 7 Juli 1953, Bu Fat memutuskan keluar dari istana dan menempati rumah di Jl Sriwijaya tersebut.
Bu Fat sendirian menempati rumah itu lantaran lima anak Soekarno tetap tinggal di Istana bersama bapaknya. Rumah Jl Sriwijaya seakan menjadi saksi keteguhan seorang Ibu Negara bernama Bu Fat.
Dalam buku biografi “Catatan Kecil Bersama Bung Karno” penerbit Sinar Harapan, 1978, Bu Fat bercerita bahwa pembelian rumah itu berasal dari usahanya sendiri.
Bu Fat menulis: ”Pada suatu hari kira-kira tengah hari aku menghadap Bung Karno untuk pamit pulang ke rumahku di Sriwijaya. Bapak tidak mengizinkan dan berkata: ’Di sini rumahmu.’ (Istana Negara, red). Aku menjawab: ”Di sini bukan rumahku …” kata Bu Fat yang gigih menentang poligami itu.
Bung Karno tetap tidak mengizinkan Bu Fat meninggalkan Istana. ”Tapi, pada waktu bapak sedang ke daerah-daerah, ibu boyong-boyong ke sini. Sriwijaya jadi tempat ibu menyepi, menenangkan diri. Ibu tidur di Sriwijaya, tapi setiap Sabtu dan Minggu (ketika Bung Karno tidak ada di Istana) ibu ke Istana nemenin kami anak-anaknya. Ibu masih menjalankan fungsi sebagai Ibu Negara,” tutur Guruh dikutip dari Kompas.
Berkumpul Kembali
Pada paruh kedua 1960an, Soekarno jatuh dari kursi kepresidenan, Guruh bercerita, pada tahun 1967 mereka hanya punya waktu 2×24 jam untuk meninggalkan Istana. “Kami ’gedandapan’. Untung ada rumah di Sriwijaya ini,” kata Guruh.
Begitulah, Guruh dan empat kakaknya yang sejak kecil tinggal di Istana Merdeka, Jakarta, itu kemudian hidup di luar istana, tepatnya tinggal di Jalan Sriwijaya.
”Kami semua tumplek blek di sini. Cuma ya umpel-umpelan,” kata Guruh.
”Seperti sudah jadi suratan hidup, ibu telah menyiapkan rumah ini untuk kami,” kata Guruh yang menyebut ibunya, Fatmawati, yang mengupayakan pembangunan rumah tersebut dan rampung sekitar tahun 1956.
Saksi Lima Pernikahan
Rumah itu menjadi saksi mata pernikahan anak-anak Bung Karno. Mulai Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, sampai Guruh yang menikah dengan putri Uzbekistan, Sabina Guseynova, pada 2002.
Soekarno yang menjalani penahanan di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala-Red) oleh rezim Soeharto terkadang datang ke rumah Jalan Sriwijaya untuk berkumpul dengan keluarga.
Ada cerita sedih terkait hal itu. Ketika Rahmawati menikah, Soekarno meminta izin untuk datang ke pernikahan itu. Soeharto mengizinkan. Soekarno datang ke Sriwijaya dengan berjalan tertatih-tatih dan mukanya sembab. ”Waktu itu acara pernikahan pakai gamelan dengan pemain dari Istana. Mereka semua menangis melihat Bapak seperti itu,” tutur Guruh.
Kamar Bu Fat itu juga menjadi kamar pengantin bagi anak-anak Fatmawati, termasuk Guruh.
Untuk menghormati ibunya, Guruh menamakan kompleks rumahnya sebagai Hing Puri Fatmawati. Kompleks terdiri dari dua unit rumah. Rumah pertama adalah Puri Fatmawati yang dibangun Bu Fat. Sedangkan rumah kedua terletak persis di belakang rumah pertama. guruh menamainya Puri Indra Kusuma. Guruh membeli rumah itu pada tahun 1970-an dari seorang pengacara, Mr Indra Kusuma.
Ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Bu Fat sudah menyiapkan rumah Sriwijaya untuk menyemayamkan jenazah. Tetapi pemerintah Soeharto menentukan Bung Karno disemayamkan di Wisma Yaso dan dimakamkan di Blitar.
Cagar Budaya
Kini, rumah warisan Bu Fat ini berstatus sebagai cagar budaya melalui rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya pada 16 Februari 2022.
Rekomendasi cagar budaya rumah ibu Fatmawati tertuang Berita Acara Rekomendasi Nomor 181/TACB/Tap/Jaksel/II/2022.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono kemudian menetapkan status bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 1207 Tahun 2022 pada 27 Desember 2022.
Penulis beberapa buku tentang Soekarno, Roso Daras, berharap rumah Bu Fat bisa terbuka untuk umum. Ini mengingat bangunan bersejarah berusia lebih dari 50 tahun tersebut memiliki nilai historis, mulai dari pendidikan, sejarah, maupun kebudayaan.
Dia pun berharap rumah salah satu istri Soekarno itu memberikan warisan nilai edukasi yang bisa disaksikan langsung, seperti foto, barang peninggalan, hingga konten dari segi sejarah lainnya.
“Dengan status sebagai cagar budaya dan terbuka untuk umum, nantinya para pelajar bisa membuat kajian mengenai arsitektur bangunan, maupun bahan literasi sejarah mengenai kehidupan ibu negara,” ujar Roso Daras.
Meski dibuka untuk umum, bangunan tersebut tetap bisa dijaga keaslian dan perawatannya. Caranya dengan mengatur jadwal berkunjung, sehingga keluarga punya waktu sendiri untuk melakukan perawatan ataupun mengadakan kegiatan di rumah tersebut.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"