KONTEKS.CO.ID – Negeri Tiongkok mengenal nama Mulan sebagai prajurit tempur perempuan yang menyamarkan identitasnya sebagai laki-laki.
Kepahlawanan Mulan menjadi legenda negeri itu selama berabad-abad. Bukan hanya menjadi cerita dari generasi ke generasi, sosok Mulan yang belum jelas nyata atau fiksi itu bahkan sudah difilmkan baik dalam bentuk animasi maupun live action.
Patriotisme serupa Mulan juga terjadi di Indonesia. Bedanya, srikandi pejuang ini jelas bukan kisah fiksi. Pejuang perempuan di era revolusi kemerdekaan Indonesia ini bernama The Sin Nio. Dia berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah.
Bedanya, kisah Mulan yang akhirnya menjadi pahlawan besar negerinya berbanding terbalik dengan nasib The Sin Nio. Kisah hidup The Sin Nio berakhir nestapa.
Semasa revolusi fisik, awalnya The Sin Nio berperan di bidang logistik dan persenjataan. Setelah itu dia kemudian dipindahkan ke bagian perawat.
Tetapi keinginan hati Nio untuk berjuang bagi tanah airnya begitu sangat kuat. Di satu sisi dia takut dianggap tidak nasionalis karena terlahir sebagai Tionghoa, namun di sisi lain keinginannya membela Indonesia yang dicintainya begitu menggebu. Dia merasa dirinya bukan hanya Tionghoa, tapi juga Indonesia.
Nio ingin mengusir penjajah yang sudah menginjak-injak tanah airnya. The Sin Nio kemudian membulatkan tekad untuk ikut menjadi tentara tak peduli keluarganya menentang. Dia memilih angkat senjata.
Menyamar Sebagai Lelaki
Di masa itu tak lazim bagi perempuan untuk ikut angkat senjata. Tak kurang akal, Nio memakai kain panjang untuk melilit dadanya erat agar terlihat rata. Dia lalu mengenakan seragam militer dan memyamar sebagai laki-laki dengan nama Muhammad Muksin. Hal itu Nio lakukan demi bisa ikut bertempur dan berjuang menjadi seorang gerilyawan.
Nio yang bertempur di garis depan adalah anggota Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 di bawah komando Brigjen Soekarno. Awalnya dia hanya bersenjatakan golok dan bambu runcing, tapi kemudian dia berhasil merebut senjata dari pasukan-pasukan Belanda.
Tak banyak sejarah yang secara detail membahas mengenai sosok Nio pada masa perjuangan kemerdekaan. Bahkan foto-fotonya pun sangat minim. Namun yang pasti, usai perang kemerdekaan sang Mulan dari Indonesia itu tidak langsung mendapat perhatian dari negara.
Majalah Sarinah edisi 6 Agustus 1984 mengisahkan bahwa Nio tidak langsung mendapat status veteran perang, padahal dia berjuang bertaruh nyawa.
Pada 1973, The Sin Nio pergi ke Jakarta untuk menuntut haknya sebagai veteran. Dia memutuskan meninggalkan keluarganya untuk menuntut haknya.
Selama delapan tahun dia berjuang mendapatkan pengakuan sebagai veteran. Baru pada 15 Agustus 1981 ia mendapatkan pengakuan berdasarkan surat keputusan yang ditandatangani wakil panglima ABRI Laksamana Sudomo.
Meskipun sudah mendapat pengakuan sebagai veteran, namun hak tunjangan veteran Sin Nio tak kunjung cair. Uang pensiun sebesar Rp28 ribu per bulan akhirnya baru ia peroleh beberapa tahun kemudian. Jumlah itu tentu tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya di ibu kota.
Menggelandang di Jakarta
Setelah usahanya mendapatkan pengakuan negara itu berhasil, Sin Nio tak mau kembali lagi ke Wonosobo. Dia menolak ajakan untuk hidup bersama anak-anaknya. Alasannya karena dia tak mau menyusahkan anak dan cucunya.
Meski hidupnya sulit, Nio tak pernah lupa untuk tetap mengirimkan uang kepada cucunya di kampung halaman.
“Saya tak mau merepotkan anak cucu saya, biarlah saya hidup sendiri di Jakarta meski dalam tempat seperti ini,” kata Nio.
Kisah hidupnya berakhir memilukan. Sin Nio terlunta-lunta di Jakarta. Dia tinggal di pinggir rel kereta api dekat Stasiun Juanda. Rumah bergetar seperti hendak ambruk ketika kereta lewat, sebab jaraknya hanya sekitar lima meter dari rel kereta.
Sin Nio menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada tahun 1985 di usia 70 tahun. Dia dimakamkan di TPU Layur, Rawamangun, Jakarta Timur.
Kerabat Nio di Wonosobo mengaku tidak mengetahui pasti apakah saat ini makamnya masih terlacak di pemakaman tersebut. Pasalnya, ahli waris harus membayar Rp100 ribu per tiga tahun. Padahal, saat ini semua anak Sin Nio sudah meninggal dunia.
Pernyataan Sin Nio yang paling menggetarkan terontar dalam wawancara dengan majalah Sarinah pada tahun 1984, satu tahun sebelum dia meninggal.
“Saya tidak mau merepotkan bangsa saya. Biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya,” ujar Nio.
Jadi Game dan Monolog
Apresiasi atas perjuangan Sin Nio terwujud dalam bentuk game. Pada 2020 ketika Lokapala Moba Game karya anak bangsa merilis karakter ksatria Nio. Karakter ini terinspirasi dari The Sin Nio.
Ia memiliki julukan “one among thousand“, satu di antara seribu. Game itu menggambarkan Nio sebagai wanita dengan senjata senapan. Dalam Lokapala game itu, Ksatria Nio menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana penjajah memperlakukan orang-orang sekitarnya dengan sangat keji.
Kemudian pada Agustus 2021, Titimangsa Foundation bersama Kemendikbud dan media menggagas pementasan monolog “Sepinya Sepi”. Aktris Laura Basuki berperan sebagai Nio dalam pementasan monolog ini.
Ini adalah kali pertama Laura Basuki memerankan karya monolog dan dia berhasil dengan gemilang menghidupkan kembali karakter The Sin Nio, sang Mulan yang terlupakan.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"