KONTEKS.CO.ID – Presiden Joko Widodo meminta dilakukan penanganan serius untuk mempercepat eliminasi penyakit tuberkulosis atau TBC. Saat ini, setiap tahun ada 969 ribu masyarakat terkena TBC.
Bahkan sebelum Covid-19 melanda, paling banyak penderita TBC yang bisa teridentifikasi hanya sekitar 545 ribuan. Jadi ada sekitar 400 ribu masyarakat tidak terdeteksi terkena TBC, padahal ini penyakit menular.
Karena itu, Presiden Jokowi meminta berbagai langkah penanganan TBC. Mulai dari menggencarkan surveilans atau deteksi, pengobatan, hingga pemberian vaksin.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, saat ini Indonesia menjadi negara dengan pengidap TBC terbesar kedua di dunia setelah India dengan jumlah kasus diperkirakan mencapai 969 ribu lebih. Jumlah kematian mencapai 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam.
Menurut Menkes, pemerintah sejak akhir tahun 2022 telah melakukan akselerasi pendeteksian sehingga saat ini bisa mendeteksi sekitar 720 ribu pengidap dari sebelumnya hanya sekitar 540 ribu. Dia berharap angka tersebut bisa naik menjadi 90 persen dari estimasi 969 ribu pengidap TBC.
“Sekarang dengan agresivitas dari program pemerintah, naik, yang ketemu atau yang terdeteksi naik menjadi 720 ribu. Kita harapkan sampai 2024 nanti 90 persen dari estimasi yang 969 ribu bisa ketemu atau bisa terdeteksi,” katanya.
Guna meningkatkan angka deteksi tersebut, Menkes menyebut bahwa Presiden Joko Widodo memberikan arahan agar pihaknya bekerja sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Berikutnya, terkait pengobatan, Presiden Jokowi memberikan arahan agar disiapkan karantina khusus berdekatan dengan lokasi saat tuberkulosis itu terjadi. Selain agar tidak menular ke keluarga pengidap, karantina juga diharapkan bisa menjadikan pasien pengidap TBC disiplin meminum obat karena pengobatan TBC berlangsung dalam waktu enam bulan dengan minimal dua bulan penuh sampai obatnya bereaksi.
“Arahan Bapak Presiden, selama dua bulan ini coba disiapkan karantina khusus, tapi kalau bisa dekat dengan masing-masing lokasi di mana terjadi tuberkulosis ini. Jadi selama dua bulan dia tidak menularkan keluarganya, dimasukkan ke karantina khusus. Saya disuruh kerja sama dengan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) di bawah koordinasi Menko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) agar bisa tidak menular, dan diberikan obat, dipastikan dua bulan dia minum obat terus,” katanya.
Selanjutnya, terkait vaksinasi, pemerintah saat ini tengah melakukan kajian untuk mendatangkan vaksin TBC baru karena vaksin BCG efektivitasnya dinilai rendah. Menurut Menkes, saat ini Indonesia telah berpartisipasi aktif dengan organisasi dunia dan telah ada tiga potensi vaksin baru yang akan pemerintah datangkan. Jumlah kasus TBC terbanyak di dunia, menyerang kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun.
“Paling dekat adalah vaksin yang ditemukan oleh Glaxosmithkline (GSK), kemudian diambil alih oleh Bill and Melinda Gates Foundation, sekarang sedang dalam proses untuk melakukan clinical trail di Indonesia, bekerja sama Kemenkes dengan UI (Universitas Indonesia), dan Universitas Padjadjaran, dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” katanya.
“Ada dua lagi kandidat vaksin mRNA yang kita bekerja sama dengan pihak luar negeri supaya bisa—kalau mRNA kan lebih cepat kayak Pfizer dan Moderna. Jadi ada tiga kandidat vaksin TBC baru yang sedang kita kaji penggunaannya,” katanya lagi.
Terkait alokasi anggaran, Menkes menyebut bahwa pihaknya juga mendapatkan donasi dari sejumlah pihak seperti dari USAID yang nilainya mencapai US$70 juta untuk program pengentasan TBC. Anggaran tersebut digunakan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh lembaga-lembaga masyarakat untuk membantu mengentaskan TBC.
“Jadi khusus untuk TBC, dari sisi anggaran enggak masalah, selain anggaran pemerintah yang ada, tapi donasinya jauh lebih besar daripada anggaran pemerintah sendiri,” ujarnya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"