KONTEKS.CO.ID – Dubes RI untuk AS dibahas dalam tulisan ini. Rotasi posisi duta besar (dubes) Indonesia untuk Amerika Serikat (AS) belakangan ini memang dirasakan sangat cepat.
Kebijakan Jakarta menimbulkan prasangka, dubes RI untuk AS salah strategi atau AS memang tak lagi penting bagi Indonesia?
Di sela-sela pelantikan satu menteri dan lima wakil menteri oleh Presiden Jokowi di Istana, Jakarta, Senin 17 Juli 2023, terselip nama Rosan Perkasa Roeslani.
Dia dipanggil pulang oleh Jakarta dari posisinya sebagai Dubes RI untuk AS. Kini dia menjabat Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara.
Penarikan Rosan Perkasa Roeslani adalah peristiwa yang menarik mengikuti tren sebelumnya. Rosan yang baru duduk di kursi dubes pada 25 Oktober 2021 adalah duta besar ketiga dalam empat tahun terakhir yang tak menuntaskan masa baktinya secara penuh.
Padahal biasanya, masa jabatan seorang duta besar sekitar 3-5 tahun. Ini bergantung pada kebutuhan dan berbagai pertimbangan lain.
Pejabat sebelum Rosan, Muhammad Lutfi, juga bernasib sama. Dia bahkan hanya seumur jagung.
Melansir laporan laman VOA, Selasa 18 Juli 2023, Lutfi hanya menjalankan tugasnya kurang lebih tiga bulan. Tepatnya pada 14 September-23 Desember 2020.
Dia kemudian ditarik pulang untuk dilantik diangkat sebagao menteri perdagangan. Walaupun pada akhirnya juga dicopot.
Pendahulu Lutfi, Mahendra Siregar, menjabat selama sembilan bulan, antara 7 Januari–25 Oktober 2019. Dia diminta pulang untuk dilantik sebagai wakil menteri luar negeri. Hingga pada akhirnya menjadi Ketua Otoritas Jasa Keuangan.
Dubes RI untuk AS Bangun Jaringan dengan Waktu Singkat, Bisa?
Keputusan Presiden Jokowi merotasi dubes RI untuk AS ikut disorot oleh periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pengamat hubungan internasional BRIN, Nanto Sriyanto, bisa mengerti rotasi yang sangat cepat lantaran adanya kebutuhan di dalam negeri.
Namun Nanto mempertanyakan faktor membangun jaringan (networking) dengan pejabat dan institusi di negara penempatan. Ini adalah hal yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, terlebih dengan kultur diplomasi yang jauh berbeda.
“Ketika mereka ditarik ke Indonesia untuk memegang jabatan, katakanlah pejabat teras negara, artinya apakah pada misi sebelumnya, mereka sudah bisa membangun hubungan kelembagaan?” kritiknya.
Lebih lanjut dikatakan, hal itu yang memang menjadi tanda tanya. “Meskipun saya melihat secara pribadi mereka sudah punya cukup jejaring bisnis, tapi persoalannya apakah saat mereka menjabat dalam waktu yang singkat itu, Indonesia secara diplomatik sudah cukup bisa membangun hubungan dengan Amerika? Itu menjadi sebuah persoalan tersendiri,” kata Nanto.
Dalam waktu empat tahun belakangan, Pemerintah Indonesia dinilai konsisten menempatkan orang dengan latar belakang ekonomi dan bisnis yang kuat untuk menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika.
“Hanya rekam jejak tokoh-tokoh itu dan target memperkuat hubungan ekonomi dengan Amerika tampak sirna dengan rotasi berulang kali ini,” ujarnya.
Nando menegaskan, membangun hubungan diplomatik antar pemerintahan tidak dapat disetarakan dengan membangun hubungan bisnis di tingkat perusahaan antar dua negara.
Indikator Penunjukkan dan Penarikan Dubes
Sesuai UUD 1945 Pasal 13, presiden memang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat duta besar dan konsul, dan khusus dalam hal pengangkatan dan penempatan duta besar, maka presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
Penunjukkan duta besar untuk negara-negara adidaya, biasanya dilakukan dengan sangat hati-hati dan terukur. Tak terkecuali duta besar untuk Amerika.
Teuku Rezasyah, pengamat hubungan internasional di Universitas Padjadjaran menilai faktor Amerika sebagai negara adidaya yang sudah menjalin hubungan dengan Indonesia selama hampir 75 tahun, berperan besar dalam sejarah pembangunan dan mendorong perekonomian.
Faktor ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan ketika memilih diplomat tinggi yang mewakili kepentingan pemerintah dan rakyat Indonesia di sana.
Oleh karena itu, dia merasa heran dengan rotasi yang demikian cepat dalam beberapa tahun terakhir ini. Meski begitu, Teuku Rezasyah tidak menjawab ketika ditanya apakah hal ini karena salah strategi.
“Saya perhatikan mereka yang sudah pernah ditempatkan di Amerika Serikat tersebut, pulang dapat jabatan lain di esksekutif. Mungkin Pak Jokowi ingin membuktikan kepada Amerika bahwa mantan para dubes kami memilii visi, misi, strategi, dan tujuan yang sesuai dengan pemahaman Anda (Amerika),” paparnya kepada VOA.
Proses Pemilihan Duta Besar RI untuk AS
Proses pemilihan seorang duta besar umumnya tidak mudah karena ada pertimbangan soal rekam jejak sebelumnya, atau faktor pembekalan atas negara penempatan.
Seorang calon duta besar juga harus menjalani pelatihan selama dua bulan di dalam negeri, lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR, dan terbukti memiliki kinerja luar biasa.
Setelah seorang duta besar dipilih dan dikirim ke negara penempatan, dibutuhkan waktu sedikitnya satu setengah bulan untuk mempelajari sistem di kantor kedutaan terkait.
Setelah itu, tambah Rezasyah, dengan giat duta besar baru akan mempelajari praktik terbaik dari duta-duta besar sebelumnya, membuat jaringan bilateral tambahan, memperkuat hubungan sesama duta besar ASEAN dan duta besar asing lainnya di Amerika, dan tentunya pejabat dan entitas lain di negara bersangkutan.
Jika yang dipilih adalah seorang diplomat karier, ujarnya, maka ia sudah mengikuti pelatihan dan memiliki pengalaman di dalam dan luar negeri sebelum ditunjuk.
Rezasyah menyontohkan Dino Patti Djalal dan Soemadi Brotodiningrat sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika yang berhasil.
Sejak penunjukkan Ali Sastroamidjojo sebagai duta besar pertama Indonesia untuk Amerika pada Februari 1950, yang menjabat selama tiga tahun, rata-rata masa jabatan duta besar Indonesia untuk Amerika adalah empat hingga lima tahun.
Moekarto Notowigdo memiliki masa jabatan terlama yaitu tujuh tahun, sementara yang paling singkat adalah Muhammad Lutfi yaitu kurang dari tiga bulan. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"