KONTEKS.CO.ID – Situasi genting terjadi di wilayah Jawa Tengah beberapa saat setelah aksi Gerakan 30 September (G30S) PKI di Jakarta gagal total.
Dalam buku “Sejarah Perkembangan Angkatan Kepolisian” terbitan Departemen Pertahanan Keamanan dan Pusat Sejarah ABRI, ternyata terungkap bahwa polisi punya peran sangat besar terkait penemuan dokumen penting PKI di Solo.
Buku itu mencatat, sejak 22 Oktober 1965 di Surakarta telah terjadi pembunuhan oleh PKI terhadap pemuda-pemuda antikomunis. Aksi PKI membunuh sembilan pemuda di tepi Bengawan Solo di hari itu menyulut kemarahan.
Polisi bersama-sama rakyat yang antikomunis langsung bergerak melakukan penangkapan terhadap oknum-oknum PKI dan mengumpulkannya di Balai Kota Surakarta. Pasukan RPKAD yang telah tiba di Solo langsung menjaga para anggota dan simpatisan PKI yang sudah tertangkap itu.
Setelah tim pemeriksa terbentuk, polisi turut aktif di dalamnya. Dalam operasi-operasi penangkapan oknum-oknum PKI selanjutnya, polisi pun tidak pernah ketinggalan.
Operasi penyitaan senjata api di daerah Kota Surakarta oleh polisi mencatat hasil yang gemilang.
Di kecamatan Laweyan saja, polisi berhasil menyita ratusan pucuk senjata api yang masih berfungsi maupun sudah rusak atau usang dari berbagai macam merek dan kaliber. “Ada pula senjata buatan PKI sendiri dan alat-alat peledak lainnya,” tulis buku tersebut.
Temukan Dokumen Penting
Polisi terus melakukan patroli-patroli, penyelidikan, penangkapan-penangkapan, dan mengumpulkan informasi tentang kegiatan G30S PKI. Hasilnya, banyak pemimpin PKI yang terciduk dan diserahkan kepada tim pemeriksa di Balai Kota Surakarta.
Di sisi lain, Markas Brimob Kompi 310 Manahan Surakarta pada tiap malam juga menjadi tempat pengungsian rakyat yang ingin menyelamatkan jiwanya dari ancaman PKI.
Setelah keadaan di dalam kota berangsur-angsur aman, Brimob pemperluas daerah operasi penangkapan tokoh dan simpatisan PKI hingga kabupaten di sekitar Surakarta.
Bersamaan dengan itu, Kepolisian Resor 951 Kota Surakarta juga menemukan sejumlah dokumen-penting PKI di kantor Kota Praja Surakarta di Jalan Honggowongso, Surakarta.
Salah satu dokumen penting itu adalah surat pertanggungjawaban pengeluaran uang kepada ormas atau orpol PKI dari Wali Kota Surakarta Oetomo Ramelan yang merupakan tokoh PKI. Dana itu untuk keperluan mendukung Dewan Revolusi.
Saat Oditor Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) Jateng datang di Surakarta mencari bahan-bahan kegiatan PKI, ternyata dokumen keuangan tersebut sangat dibutuhkan. Polisi Surakarta menyerahkan dokumen itu di bawah tangan.
Aksi di Boyolali
Masih menurut buku tersebut, pada 1 Oktober 1965 PKI melakukan rapat gelap di Karanggeneng, Boyolali, untuk membentuk dewan revolusi yang terdiri dari 25 orang. Diam-diam polisi mengawasi atau menyelidiki rapat tersebut.
Sehari sesudahnya, datang sejumlah tokoh penting PKI seperti Lukman, Njoto, Sujono Atmo, dan mantan Bupati Boyolali Suali Dwidjo. Ini membuat polisi semakin mempertajam pengawasannya.
Selanjutnya datang pula oknum Kolonel Sahirman yang mengadakan rapat di Karanggeneng, Boyolali, untuk menyusun Dewan Revolusi dan menentukan rencana penyerangan antara tanggal 9-15 Oktober 1965.
Bekas Bupati Boyolali memeriksa kekuatan Dewan Revolusi dan mengadakan persiapan pertempuran dan penculikan terhadap para pejabat pemerintahan di daerah Boyolali. Polisi terus mengadakan penyelidikan terhadap semua aksi-aksi tersebut.
Pada 22 Oktober 1965 dengan bantuan ABRI dan rakyat, polisi dapat menangkap tokoh Dewan Revolusi yakni eks Mayor Mulyono. Dia ditangkap di Karanggeneng tiga hari sesudah PKI menyerang Boyolali dari segala arah untuk melucuti senjata polisi Boyolali dan menculik musuh PKI.
Untungnya polisi dapat menggagalkan serangan tersebut bersama rakyat dan ABRI yang tidak mendukung PKI. tetapi PKI sudah berhasil menculik 32 orang, sebagian sudah terbunuh.
Menangkap Eks Bupati, Merampas Senpi
Selanjutnya pada 24 Oktober 1965 polisi berhasil menggagalkan serangan PKI terhadap Asrama Polisi di Sunggingan. Bersama ABRI, polisi berhasil menangkap 62 orang anggota dan simpatisan PKI.
Polisi terus melanjutkan penangkapan terhadap oknum-oknum PKI, di antaranya berhasil menangkap eks Bupati Boyolali. Di samping itu polisi kembali berhasil merampas 52 pucuk senjata berat dan ringan serta dua granat tangan.
Meskipun keadaan sudah kembali aman, polisi masih meneruskan penumpasan sisa-sisa G30S PKI. Antara lain mengadakan penyelidikan kegiatan rapat gelap PKI pada malam hari di Singosari, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, pada tahun 1967.
Rapat tersebut membicarakan kegiatan-kegiatan dalam menentang pemerintah. Dua di antaranya adalah ajakan untuk tidak membayar pajak dan membantu kawan mereka yang belum tertangkap.
Peran besar Polri menumpas PKI di daerah Surakarta yang merupakan pusat G30S PKI menjadi cermin peranan Polri di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.
Peran Polisi di Luar Jawa
Masih di buku yang sama, tercatat pula peranan Polri dalam penumpasan sisa-sisa G30S PKI di Sulawesi.
Sejak peristiwa G30S PKI, anggota polisi di daerah ini bersama-sama ABRI giat melakukan pembersihan sisa-sisa G30S PKI baik. Tim gabungan ini berhasil menggulung sisa-sisa G30S PKI pimpinan Markus Girot pada 11 Juli tahun 1967 di Makassar.
Intel Komdak 17 Sulselra bersama unsur ABRI juga dikirim ke Surabaya dan Malang. Antara lain untuk memeriksa tokoh PKI Jukito, Munir, dan lain-lain.
Dalam persidangan Mahmilub 4-16 November 1968, anggota polisi aktif dalam proses persidangan.
Dalam SK Pangak selaku Wakil Pangkopkamtib Nomor 024/Kopkamtib/10/68 tanggal 14 Oktober 1968, tercantum AKBP Hadi Rahmat sebagai hakim anggota. Ada pula AKP Hendro Kusumo sebagai hakim anggota pengganti, dan Iptu Arman M Saleh SH sebagai panitera.
Sidang Mahmilub menjatuhkan hukuman mati kepada Marcus Girot pada 16 November 1968.
Di Sulawesi Tenggara, Komres 1863 Buton dan ABRI pada Maret 1969 berhasil menangkap Bupati Moh Kasim, sejumlah PNS, dan masyarakat. Ikut pula tertangkap enam orang anggota Polri dan dua orang anggota TNI.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"