KONTEKS.CO.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dugaan praktik korupsi tender salah satu proyek di Basarnas.
KPK kemudian menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua diantaranya berlatar belakang militer aktif yakni Kepala Basarnas RI, Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Namun, KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka kedua prajurit TNI tersebut dan menyerahkan proses hukum keduanya kepada Puspom TNI. Alasannya yurisdiksi hukum keduanya sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer.
“Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata M Isnur dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Sabtu 29 Juli 2023.
Ketua Umum YLBHI ini menyampaikan, sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi.
Kata Isnur, KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum).
“Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf,” jelas Isnur.
Kata Isnur, permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel.
Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya.
Sebagaimana diketahui, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana.
Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
“Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini tentunya hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap,” terang Isnur.
Akan menjadi aneh jika KPK tidak menersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya. Padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap.
“Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer,” terang Isnur. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"