KONTEKS.CO.ID – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menilai aneh sikap Pemerintah yang ngotot ingin tetap menaikkan harga BBM bersubsidi. Padahal, saat ini harga minyak dunia terus mengalami penurunan.
Menurutnya, saat ini sudah tidak ada alasan bagi Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Karena itu ia minta Pemerintah mengakhiri wacana kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut.
“Pemerintah sebaiknya tidak menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah penurunan harga minyak internasional. Terbukti bukan hanya Pertamina, Shell juga ikut menurunkan seluruh jenis produk BBM-nya pada Kamis (1/9/2022).
Selain itu, Mulyanto bahkan minta KPK memeriksa pejabat yang menetapkan anggaran kompensasi untuk BBM jenis Pertamax. Mengingat penetapan subsidi ini tidak memiliki dasar hukum.
Menurutnya kompensasi Pertamax ini dapat menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang cukup besar.
“Sesuai Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014, Pertamax adalah BBM jenis umum (JBU), tidak termasuk dalam kategori BBM bersubsidi (Jenis BBM Tertentu/JBT) seperti solar dan minyak tanah atau BBM dalam penugasan (Jenis BBM Khusus Penugasan/JBKP) seperti Pertalite. Karenanya harga Pertamax mengikuti mekanisme pasar, tidak disubsidi atau dikompensasi oleh Pemerintah,” kata Mulyanto, Sabtu, September 2022.
“Sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No. 62 K/12/MEM/2020, sebagai BBM jenis umum, harga Pertamax ditetapkan secara mandiri oleh operator. Pemerintah hanya mengatur norma dasarnya saja. Tidak menetapkan harga BBM jenis umum ini,” katanya.
Operator diberi kewenangan untuk menetapkan harga Pertamax. Kemudian operator melaporkan harga BBM jenis umum yang telah ditetapkan tersebut kepada Pemerintah. Berbeda dengan Solar atau Pertalite yang disubsidi atau diberikan kompensasi oleh Pemerintah, sehingga harganya ditetapkan oleh Pemerintah.
Diberitakan sebelumnya, bahwa harga jual Pertamax hari ini di bawah harga keekonomiannya. Harga keekonomian Pertamax berdasarkan ICP USD 105 dan kurs Rp 14.700, adalah sebesar Rp 17.300 per liter. Sementara harga jual Pertamax adalah sebesar Rp 12.500 per liter (tergantung wilayah).
Sehingga diperkirakan Pemerintah akan membayar kompensasi untuk Pertamax sebesar Rp 4.000,- per liter. Dengan volume penjualan Pertamax sebesar 6,2 juta kiloliter. Maka selisih biaya, yang harus dikompensasi, lebih dari Rp. 8 triliun.
Untuk diketahui dalam Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak disebutkan, bahwa:
Pasal 2:
Jenis Bahan Bakar Minyak yang diatur dalam Peraturan Presiden ini terdiri atas: a. Jenis BBM Tertentu; b. Jenis BBM Khusus Penugasan; dan c. Jenis BBM Umum.
Pasal 3 ayat (1):
Jenis BBM Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri atas Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil).
Pasal 3 ayat (2):
Jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan.
Pasal 3 ayat (4):
Jenis BBM Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terdiri atas seluruh jenis BBM di luar jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b.
Pasal 1 ayat (3):
Jenis Bahan Bakar Minyak Umum yang selanjutnya disebut Jenis BBM Umum adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi dan/atau bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi yang telah dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi) tertentu dan tidak diberikan subsidi.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"