KONTEKS.CO.ID – Javasche Bank Surabaya dirampok pada 20 Desember 1950. Saat itu, bank yang beberapa bulan kemudian dinasionalisasi dan berganti nama menjadi Bank Indonesia (BI) ini kehilangan Rp4 juta.
Di masa itu, uang Rp4 juta adalah jumlah yang sangat besar. Sebagai perbandingan, pada Maret 1950 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp1,60 per dolar AS. Artinya, jumlah itu setara dengan 500 ribu dolar AS yang jika dirupiahkan saat ini mencapai Rp7,5 miliar.
Daftar isi:
Para perampok terlihat punya nyali besar dan perhitungan matang. Sebab, mereka memilih merampok bank bakal jatuh ke tangan pemerintah Indonesia.
Tetapi tampaknya uang bukan tujuan utama si perampok. Sebab jika tujuannya uang, perampok pasti akan lebih memilih bank dagang yang banyak bertebaran seperti Netherland Trading Society Bank atau Nederlands Indische Handelsbank.
Dalangnya Agen CIA
Dalang perampokan Javasche Bank Surabaya adalah Werner Verrips, seorang pemuda Belanda berusia 24 tahun. Verrips adalah seorang agen CIA, Dinas Rahasia AS.
Verrips merampok bank bersama rekannya Arthur Ellinger dan beberapa orang Belanda. Arthur menceritakan kisah perampokan itu kepada William Oltmans, jurnalis senior Belanda yang dekat dengan Bung Karno.
Kepada Oltmans, Ellinger mengatakan dalam perampokan bank tersebut Verrips juga melibatkan dua orang warga lokal. Ketika perampokan berlangsung, Ellinger menunggu di kedai kopi yang berjarak 50 meter dari bank uang berlokasi di Jalan Garuda No 1, Krembangan, Kota Surabaya.
Dalam buku “Indonesia, an Alternative History of the Timeless Island” yang terbit pada 1979, J Spruyt menulis bahwa aksi perampokan nekat itu melibatkan Paul Spies (agen CIA sekaligus Direktur Javasche Bank Jakarta).
Selain itu ada nama Franks C Starr (agen CIA di Indonesia), seorang WN Belanda yang bekerja di galangan kapal Angkatan Laut (AL) di Surabaya, dan Van Harn (WN Belanda).
Rencananya tangan kanan Verrips akan menerima uang hasil rampokan itu di area galangan kapal AL di Surabaya. Selanjutnya uang itu bakal diangkut ke luar negeri dengan kapal Frigat AL Belanda yang masih tersisa. Namun upaya itu gagal.
Tertangkap Lalu Menghilang
Tak lama kemudian Polisi Militer (PM) Indonesia pimpinan Mayor Sutikno Lukito menangkap Verrips dan komplotannya. Pengadilan memvonis Verrips delapan tahun penjara. Tak lama setelah itu Verrips menghilang dari penjara.
Tangan kanan Verrips, Van Harn, mendapat hukuman empat tahun penjara. Sementara Paul Spies meninggal di Vietnam ketika sedang menjalankan tugas sebagai agen CIA.
Verrips kemudian terendus kembali ke negaranya. di Belanda ia tetap menjalankan tugas intelijen. Ia bahkan bergabung dengan tim lobi Belanda yang diketuai Paul Rijkens dalam sengketa perebutan Irian Barat. Pembentukan tim lobi tersebut merupakan gagasan Pangeran Bernard.
Pada 1957, Mayor Sutikno bercerita soal perampokan Javasche Bank itu kepada William Oltmans ketika keduanya bertemu di Mesir. Saat itu Sutikno adalah anggota Batalyon Garuda 1 (pasukan perdamaian PBB). Tiga tahun kemudian Sutikno yang sudah menjabat Atase Militer Kedubes RI di Washington bertemu lagi dengan Oltmans.
Setelah lama tak berhubungan, sekitar Oktober 1964 Oltmans menerima telepon dari Kolonel Sutikno. Sutikno menyampaikan keinginan Asisten Intelijen Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal S Parman untuk bertemu.
Jenderal S Parman Kenal Verrips
Pada 18 Oktober 1964, Oltmans bertemu S Parman di Suite Room nomor 1040 Hotel Hilton, New York. “Pada akhirnya perbincangan kami menyinggung orang CIA bernama Werner Verrips,” sebut Oltmans dalam bukunya “Memories: 1964-1965” dan buku “De Verraders (Para Pengkhianat)” terbitan 1968.
Dalam pertemuan itu, Parman mengakui sudah kenal dengan Verrips sejak si agen CIA itu tinggal di Indonesia. Namun Parman memastikan kepada Oltmans yang saat itu jurnalis koran De Telegraaf bahwa Verrips membual ketika dia mengaku sebagai teman KSAD saat itu, Letjen Ahmad Yani.
Menurut Oltmans, Parman bantuannya untuk dapat bertemu dengan Verrips. Memakai telepon Hotel, Oltmans menelpon rumah Verrips di Utrecht, Belanda. Istri Verrips memberikan nomor telepon tempat suaminya berada.
Parman dan Verrips mengobrol lewat telepon dan merencanakan bertemu di Belanda atau di London.
Tetapi beberapa hari kemudian, di tengah malam buta, telepon di apartemen Oltmans di Long Island, New York, berdering. Penelepon, adalah Werner Verrips. Dengan nada ketakutan si agen CIA ini mengatakan bahwa ada yang mengejar dan akan membunuhnya.
Dua Kematian, Saling Berkaitan?
Enam minggu kemudian, tepatnya pada 4 Desember 1964, sebuah mobil sport Mercedes Benz warna putih rusak berat setelah mengalami kecelakaan di Jalan Raya Sassenheim, Zuid Holland, Belanda.
Polisi yang datang ke lokasi melaporkan bahwa mobil mewah itu terbalik dan ringsek parah. Pengemudinya, Werner Verrips, tewas di tempat dengan luka parah dan kondisi mengenaskan.
“Saya baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa cara melenyapkan agen yang tidak disukai dengan kecelakaan mobil merupakan hal yang biasa dilakukan dalam dinas rahasia,” ujar Oltmans.
Setahun kemudian, jurnalis kawakan ini lebih terkejut lagi ketika mendengar kabar Mayor Jenderal S Parman, temannya itu, terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Hingga akhir hayatnya pada 30 September 2004, Oltmans tidak memiliki bukti jelas bahwa kematian Verrips dan S Parman saling berkaitan.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"