KONTEKS.CO.ID – Nama Yenny Wahid santer terdengar dalam bursa cawapres untuk mendapingi Anies Baswedan dalam Pilpres 2024.
Yenny mengungkapkan bahwa ia telah menerima tawaran dari Partai NasDem untuk mempertimbangkan kemungkinan menjadi calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan.
Meski begitu, Yenny Wahid juga terbuka akan tawaran dari berbagai pihak yang meminangnya menjadi cawapres.
“Sebagai orang yang berkecimpung di dunia politik sudah cukup lama, pasti harus siap untuk menduduki jabatan publik. Karena itu kan memang salah satu tujuan kita adalah untuk menduduki jabatan publik yang strategis agar bisa membuat kebijakan publik, yang membuat perubahan positif di masyarakat,” jawab Yenny mengenai keikutsertaannya dalam bursa Cawapres Pilpres 2024, usai acara bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo menerima Delegasi Presiden Global Council for Tolerance & Peace (GCTP) dan penandatanganan MoU di Gedung MPR.
Profil Yenny Wahid
Nama lengkapnya adalah Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, namun ia lebih dikenal dengan nama Yenny Wahid. Dia putri kedua dari pasangan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Sinta Nuriyah.
Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 29 Oktober 1974, Yenny memilih untuk meniti karier sebagai wartawan setelah menyelesaikan studi desain dan komunikasi visual di Universitas Trisakti.
Yenny Wahid bukanlah wartawan biasa, ia memiliki tekad dan keberanian yang luar biasa dalam meliput peristiwa-peristiwa penting.
Meskipun banyak reporter yang menghindari wilayah konflik seperti Timor Timur dan Aceh pada akhir dekade 90-an, Yenny justru mengambil risiko dengan berani meliput di sana.
Liputannya yang berfokus pada situasi Timor Timur pasca-referendum bahkan berhasil meraih penghargaan Walkley Award, penghargaan bergengsi di bidang jurnalistik di Australia.
Tak hanya meliput peristiwa-peristiwa internasional, Yenny Wahid juga turut meliput kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998.
Namun, pilihan pribadinya mengambil jalan berbeda setelah ayahnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4. Yenny memutuskan untuk berhenti menjadi wartawan dan mendukung Gus Dur dengan menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik.
Setelah masa kepemimpinan Gus Dur berakhir, Yenny Wahid meraih gelar Magister Administrasi Publik dari Universitas Harvard dengan beasiswa Mason.
Pada tahun 2004, ia kembali ke Indonesia dan mendirikan Wahid Institute. Sebuah lembaga dengan misi mewujudkan gagasan intelektual Gus Dur dalam membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong demokrasi, multikulturalisme, dan toleransi.
Selain berfokus pada aktivitas di Wahid Institute, Yenny Wahid juga terlibat dalam politik. Ia pernah menjabat sebagai Staf Khusus Bidang Komunikasi Politik di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, jabatannya ini hanya dipegangnya selama setahun. Ia ingin menghindari potensi gesekan kepentingan dengan posisinya di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada tahun 2005 hingga 2010, Yenny Wahid memegang jabatan Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun, pada tahun 2008, ia dipecat oleh pengurus PKB yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Hal ini memicu Yenny untuk mendirikan partai politik baru dengan nama Partai Kedaulatan Bangsa. Di bawah kepemimpinannya, partai ini tumbuh dan berkembang, bahkan berhasil menggabungkan diri dengan Partai Indonesia Baru (PIB) pada tahun 2012, membentuk Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB).***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"