KONTEKS.CO.ID – Masyarakat Indonesia gempar pada paruh kedua dekade 1960. Kasus korupsi terbesar sejak Indonesia merdeka terjadi dan berkelindan dengan skandal berbau seks. Bahkan selebritis seperti Titiek Puspa ikut terseret karena isu menjadi istri simpanan pejabat.
Pejabat itu adalah Jusuf Muda Dalam. Ia menjabat Menteri Urusan Bank Sentral Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia di zaman Orde Lama. Dua kedudukan yang sangat ‘basah’ dan strategis.
Kisah kasus Jusuf Muda Dalam ini termuat dalam buku tipis terbitan Varia, Jakarta pada 1966 yang berjudul “Anak Penyamun di Sarang Perawan”. Penulis buku ini Drs Effendy Sahib.
“Perkara skandal bekas Menteri Bank Sentral Jusuf Muda Dalam tidaklah hanya merupakan skandal seks atau perkara korupsi biasa, tetapi adalah merupakan penggambaran pribadi dari Orde Lama yang penuh penyelewengan,” tulis pendiri Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution dalam pengantar buku tersebut.
Wartawan yang Menjadi Bankir Sukses
Jusuf Muda Dalam bernama lengkap Teuku Jusuf Muda Dalam. Ia lahir di Sigli, Aceh, 1 Desember 1914.
Pada 1936, Jusuf berangkat ke Belanda untuk menempuh pendidikan Ekonomische Hoge School di Rotterdam. Ia lalu mencapai tingkat doktoral selama 2 tahun sampai datangnya pendudukan Tentara Nazi Jerman pada 1941.
Pada 1943 – 1944 ia bergabung bersama mahasiswa Rotterdam dalam gerakan bawah tanah yang menentang pendudukan Nazi Jerman, dan menjadi wartawan harian De Waarheid milik partai komunis Belanda.
Setelah Perang Dunia II, Jusuf Muda Dalam kembali ke Indonesia melakukan liputan jurnalisme tentang revolusi Indonesia untuk harian De Waarheid.
Jusuf sempat menjadi anggota Partai Komunis Indoneia (PKI). Saat PKI memberontak di Madiun pada 1948, Jusuf sempat ditahan dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan. Namun ia berhasil lolos dari penjara ketika terjadi penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta.
Setelah sempat menjadi anggota DPR, pada 1951 Jusuf Muda Dalam memutuskan untuk keluar dari PKI. Ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kembali duduk di DPR.
Pada 1956 atas ajakan kakek dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Margono Djojohadikusumo, Jusuf Muda Dalam masuk sebagai staf Bank Negara Indonesia (BNI).
Kariernya melesat cepat. Dalam waktu setahun ia telah duduk sebagai Direktur BNI dan pada 1959 sebagai Presiden Direktur BNI hingga diangkat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral merangkap sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 1963.
Saat Presiden Soekarno melancarkan politik konfrontasi terhadap kekuatan imperialisme barat, Jusuf Muda Dalam mengajukan konsep untuk menjadikan Bank Indonesia dan perbankan nasional sebagai Bank Berjuang. Dari konsep inilah gagasan Bank Tunggal mulai berlaku pada Juli 1965. Namun bank tunggal hanya berusia singkat.
Deretan Perempuan Jusuf Muda Dalam
Di luar urusan politik dan negara, Jusuf Muda Dalam yang dikenal gemar foya-foya juga terlibat skandal dengan banyak perempuan. Ia memiliki enam orang istri.
Keenam istri Jusuf adalah Sutiasmi (istri pertama), Salamah (istri kedua), Jajah (istri ketiga). Lalu Ida Djuabaedah (istri keempat), Djufriah (istri kelima), dan Sari Nurulita.
Buku itu juga mengungkap bahwa pemegang dua jabatan penting ini saban bulan mengirimkan uang belanja Rp40 juta rupiah untuk masing-masing istrinya.
Selain itu, Jusuf juga kerap memberi hadiah berupa barang-barang mewah. Mulai dari mobil, perhiasan, tanah, sampai rumah untuk para istri dan banyak perempuan.
Bab IV buku “Penyamun di Sarang Perawan” yang berjudul “Bukan Harem 1001 Malam” menyebutkan, setidaknya ada 25 perempuan yang menerima harta tak jelas dari Jusuf Muda Dalam, mulai dari uang, rumah, dan mobil.
Bahkan nama seperti Ratna Sari Dewi (istri Bung Karno) serta penyanyi terkenal masa itu Titiek Puspa juga muncul dalam buku ini.
Titiek Puspa membantah tuduhan menerima mobil Fiat 1300. Ia mengaku membeli mobil itu seharga Rp40 juta. Belakangan Titiek tidak terbukti bersalah.
Dalam buku “Titiek Puspa: Sebuah Biografi” karya jurnalis senior Ninok Leksono, Titiek mengaku hanya menyicipi mobil itu kurang dari sehari. Sekelompok mahasiswa mengambil mobil itu dari bengkel dengan alasan akan dipakai untuk demonstrasi. Sejak saat itu mobil Fiat tersebut tak pernah kembali ke tangan Titiek Puspa.
Nama lain yang dituduh mendapatkan mobil Mazda dan VW adalah Tina Woworuntu. Perempuan 22 tahun asal Manado ini bahkan menjadi saksi dalam sidang Jusuf Muda Dalam. Di depan majelis hakim Tina mengaku mobil VW cuma pinjaman dari Jusuf.
Jusuf Muda juga royal kepada bintang film Rieka Suatan. Di persidangan, Jusuf Muda mengaku memberi setidaknya USD$500 untuk keberangkatan Rieka bersekolah di Tokyo.
Subversif Sekaligus Koruptor
Pada 18 Maret 1966, atau seminggu setelah keluarnya Supersemar, Menpangad daripada Soeharto memerintahkan Kopkamtib menangkap Jusuf dan 14 menteri Soekarno lainnya. Namun Kopkamtib baru mengeluarkan surat penahanan resmi pada 18 April 1966.
Selain memburu para antek PKI, Soeharto juga membentuk Tim Penertiban Keuangan Negara atau Pekuneg dengan ketua Mayor Jenderal R Soerjo. Tugas tim ini adalah mengumpulkan data-data penyelewengan uang negara.
Tim Pemeriksa Keuangan Negara menemukan fakta bahwa Jusuf Muda Dalam menggelapkan uang negara sebesar Rp97,3 miliar lebih. Jumlah yang sangat fantastis di masa itu. Sebagai perbandingan, saat penggelapan itu terjadi harga bensin per liter hanya Rp4.
Vonis Mati yang Tak Terealisasi
Pada 30 Agustus 1966, sidang perkara Jusuf berlangsung di Gedung Bappenas.
Dalam sidang, jaksa mendakwanya dalam empat perkara besar. Pertama, Jusuf telah memberikan izin impor dengan deferred payment khusus kepada sejumlah pengusaha.
Ia menyelewengkan uang hasil deffered payment tersebut. Deferred payment adalah kredit luar negeri dalam jangka waktu satu tahun untuk mengimpor barang.
Berdasarkan penelusuran lebih lanjut, ternyata barang impor itu tidak membawa manfaat banyak bagi rakyat Indonesia. Sebaliknya, barang-barang ini ternyata menjadi bahan spekulasi untuk berdagang, seperti Scooter dan barang-barang mewah lainnya.
Jaksa juga mendakwa Jusuf Muda Dalam memberikan kredit tanpa jaminan kepada sejumlah perusahaan dan kepemilikan senjata api tanpa izin. Dakwaan keempat adalah perkawinan dengan lebih dari empat orang karena larangan oleh undang-undang.
Jusuf menolak tiga dakwaan dan hanya mengakui memiliki istri lebih dari empat orang.
Majelis hakim memvonis hukuman mati kepada Jusuf Muda Dalam pada 9 September 1966. Ini adalah vonis mati pertama di Indonesia terhadap terdakwa perkara korupsi.
Majelis hakim juga menyatakan sejumlah kendaraan dan delapan unit rumah dan sebidang tanah di Cililitan, Jakarta Timur, menjadi sitaan untuk negara.
Gelombang hujatan masyarakat terhadap Jusuf membuat pada istrinya mengajukan cerai. Selama di penjara, hanya Sutiasmi istri pertamanya yang setia menjenguknya seminggu sekali.
Jusuf kemudian melakukan kasasi, namun pada 8 April 1967 MA menolak permohonan kasasinya.
Belum sempat menjalani eksekusi, Jusuf sudah lebih dulu meninggal dunia di Rumah Sakit Cimahi pada 26 Agustus 1967 akibat terjangkit tetanus di penjara.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"