KONTEKS.CO.ID – Pemakaian jilbab atau hijab saat ini semakin populer bagi perempuan. Tak hanya sekadar menutup aurat sebagai perintah agama, pemakaian jilbab pun sudah jadi tren.
Sejumlah kalangan, tentu saja kaum hawa, mengenakan jilbab dengan berbagai motif dan gaya terbaru. Dari warga ekonomi lemah hingga kaum elite.
Di kalangan perempuan Minangkabau, pemakaian jilbab bahkan sudah sejak lama dan sudah menjadi hukum tak tertulis untuk menutup seluruh tubuh.
Namun, siapa sangka pemakaian jilbab di Indonesia sempat mendapat larangan keras dari pemerintah. Pemerintah Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Presiden daripada Soeharto melarang pemakaian jilbab.
Salah satu larangan jilbab di masa rezim represif Orba terjadi pada awal tahun 1982. Seorang siswi SMA Negeri 1 Jember bernama Tri Wulandari dikeluarkan dari sekolahnya lantaran memakai jilbab.
Alasannya, siswi tersebut melanggar ketentuan aturan pemakaian seragam sekolah. Dia juga dicurigai sebagai salah seorang anggota Jemaah Imran, kelompok radikal subversif kala itu. Kelompok Jemaah Imran ini pada tahun 1981 membajak pesawat Garuda DC-9 Palembang-Medan dan melarikannya ke Bandara Don Muang, Bangkok.
Tak hanya mengeluarkan dari sekolah, siswi tersebut juga harus berhadapan dengan tentara Kodim Jember yang menginterograsinya terkait dengan Jemaah Imran.
Tak hanya itu, di Jakarta seorang siswi SMA Negeri 68 bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa juga bernasib sama. Dia terusir karena berjilbab atas dugaan adanya motivasi politik yang melanggar Pancasila.
Pemerintah Orba menganggap jilbab sebagai lambang subversif yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Jilbab Simbol Pemberontakan
Rezim daripada Soeharto menganggap jilbab atau kerudung sebagai simbol-simbol dari kelompok Islam yang berhadapan dengan pemerintah.
Hingga tahun 1970-an, jilbab atau hijab yang berwujud pakaian perempuan muslim yang menutupi seluruh tubuh — kecuali wajah dan tangan — tak populer di Indonesia.
Kala itu, kebanyakan perempuan mengenakan kerudung kain tipis panjang penutup kepala dan menaruhnya di pundak dengan leher masih terlihat.
Bahkan tokoh-tokoh perempuan Muslim terkenal seperti Kartini juga tidak mengenakan jilbab. Jilbab secara luas baru mulai populer pada tahun 1980-an yang bermula dari pengaruh revolusi Islam Iran pada 1979.
Berita kemenangan Ayatollah Khomeini yang berhasil menjadikan Iran sebagai Republik Islam mendorong rasa solidaritas bagi negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Kelompok diskusi informal di kalangan pelajar dan mahasiswa muslim mulai merebak dengan spirit revolusi Islam Iran yang anti-barat menjadi warna di dalamnya.
Fenomena tersebut berbarengan dengan penerbitan buku-buku Islam. Termasuk di dalamnya penggunaan identitas keislaman, yang salah satu di antaranya adalah hijab bagi kaum wanita.
Namun, pemerintah Orba bereaksi dengan menanggap pemakaian jilbab adalah wujud atau sikap pemberontakan terhadap pemerintah.
Tak pelak, kebijakan itu langsung menuai protes dari masyarakat terutama para cendekiawan dan aktivis Islam.
Soeharto Berubah Pikiran
Peristiwa represif terhadap siswi berjilbab juga terjadi di sejumlah daerah seperti Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari, dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Hampir satu dekade pemerintah Orba tak kompromi terhadap penggunaan jilbab bagi pelajar perempuan di sekolah-sekolah negeri.
Melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah kala itu menerbitkan aturan yang melarang pelajar perempuan menggunakan jilbab ke sekolah.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang seragam sekolah. Intinya: tak ada ruang bagi pengguna jilbab di sekolah negeri. Jika bersikukuh menerapkan keyakinannya, konsekuensinya akan dikeluarkan dari sekolah.
Pilihannya cuma dua: lepas jilbab atau pindah ke sekolah swasta yang tentu saja biayanya lebih mahal.
Bahkan, pada tahun 1989 muncul isu jilbab beracun yang menyebabkan masyarakat curiga dengan para pemakai jilbab.
Beredar isu sekelompok penyebaran perempuan berjilbab untuk menekan racun di pasar-pasar atau sumur-sumur warga.
Salah satu kejadian mengenaskan terjadi di Pasar Rau Serang. Seorang perempuan berjilbab mendapat penghakiman massa yang menuduhnya membubuhkan racun di tempat seorang pedagang.
Tak ayal, situasi tersebut menyebabkan para pemakai jilbab terpojok hingga sebagian menyerah dan membuka jilbabnya.
Kemarahan kemudian muncul dari sejumlah kalangan atas kejadian-kejadian tersebut. Sepanjang tahun 1990, para mahasiswa di kota-kota besar melakukan demonstrasi menentang peraturan pemerintah yang mendiskriminasi para perempuan berjilbab.
Hal itu rupanya membuat pemerintah khawatir akan mengganggu stabilitas negara. Soeharto akhirnya berhenti menghalangi penggunaan jilbab bagi para perempuan.
Pada 16 Februari 1991, pemerintah mengeluarkan surat keputusan yang membolehkan para siswi mengenakan pakaian yang berdasarkan keyakinannya, salah satunya jilbab.
Soeharto Alergi Islam
Sikap Soeharto yang alergi terhadap simbol-simbol Islam kerap muncul seiring namanya yang makin berkibar pasca peristiwa G30S PKI tahun 1965.
Menurut salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU era tahun 1995 Subchan ZE, Soeharto pernah menunjukkan sikap tidak senang ketika ada yang mengucapkan kata “Insyaallah’ saat berdialog dengannya.
Sikap Soeharto semakin keras terhadap kelompok Islam tatkala berhasil menduduki kursi orang nomor satu di Indonesia.
Mantan Pangkostrad itu tak segan menggunakan idiom ancaman untuk menekan kelompok Islam politik yang berseberangan dengannya.
Politik Identitas dan Penculikan Aktivis
Presiden daripada Soeharto kerap mendapat tudingan melakukan politik identitas dengan Pancasila sebagai asas tunggal untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia.
Dalam penerapan politik identitas, Soeharto bertindak refresif terhadap gerakan politik Islam dengan menangkap para ulama.
Bahkan Soeharto kerap mendapat tuduhan menggunakan Pancasila untuk menghabisi lawan-lawan politiknya kala itu.
Salah satu korban refresifitas Soeharto adalah Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa.
AM Fatwa mendekam selama 18 tahun di penjara karena aktivitasnya di Petisi 50 pascatragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984.
Petisi 50 menerbitkan peristiwa berdarah itu dengan “Lembaran Putih”. Namun, pemerintah Orde Baru menganggap hal itu bertentangan.
Bersama beberapa aktivis yang menentang, rezim Soeharto mendakwa AM Fatwa dengan tuduhan “melakukan serangkaian forum khutbah, ceramah, dan pertemuan yang merongrong dan menyelewengkan ideologi negara, kewibawaan pemerintah atau menyebarkan rasa permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat”.
“Saya mengalami penyiksaan-penyiksaan. Pernah juga saya gegar otak disiksa oleh intel yang semuanya seolah-olah ngomong mereka itu mengeroyok saya itu adalah preman-preman di jalan. Tapi (mereka) semuanya intel,” ujar AM Fatwa.
Pemerintah Orba kala itu seakan mengebiri para ulama secara sosial maupun politik. Para ulama harus menerima program-program pemerintah, jika tidak ancaman kekerasan pengucilan hingga penjara di depan mata.
Pertentangan tersebut terus memuncak, salah satunya ketika pecah peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984. Peristiwa ini berawal dari aksi militer mencabut poster kecaman kepada pemerintahan di sebuah musala di Tanjung Priok.
Peristiwa kelam itu berujung bentrok antara warga dengan polisi hingga membuat tewas warga.
Pihak militer mengeklaim, hanya 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka. Namun tim pencari memprakirakan ada 400-an orang yang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara data Komnas HAM, 24 orang tewas dan 55 orang terluka.
Militer kemudian menangkap beberapa tokoh seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Usmani Alhamidi, dan Abdul Qodir Jaelani. Tuduhannya, sebagai penggerak peristiwa Tanjung Priok.
Selain itu, ada juga tragedi Talang Sari dan Haur Koneng di tempat lain yang menjadi tanda kerasnya rezim Orba atas nama asas tunggal Pancasila melakukan persekusi terhadap banyak pihak.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"