KONTEKS.CO.ID – Penikmat film Indonesia saat ini banyak disuguhi dengan berbagai genre film nasional, termasuk genre film horor. Bahkan film genre horor punya tempat khusus di hati masyarakat Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini.
Pada 30 April 2022, film “KKN di Desa Penari” memecahkan rekor jumlah penonton yang mencapai 7 juta orang terhitung 19 hari sejak pertama kali tayang di bioskop.
Prestasi tersebut mengalahkan rekor jumlah penonton film Dilan, Warkop DKI Reborn. Bahkan film horor seperti “Pengabdi Setan” karya sutradara Joko Anwar yang menuai banyak pujian cuma terjual sekitar 4,2 juta tiket.
Ini membuktikan film horor terus mendapat tempat di hati penikmat film Indonesia. Namun banyak yang mungkin belum paham bahwa saat rezim Orba (Orde Baru) berkuasa, film horor menjadi medium indoktrinasi gagasan-gagasan politiknya.
Bagaimana indoktrinasi itu bisa terjadi?
Punya Sisi Mistis
Ada sejumlah alasan masyarakat Indonesia suka genre film horor. Namun yang utama, film horor memiliki sisi misterius dan mistik. Hal ini dekat dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai latar belakang budaya dan kepercayaan.
Mistisisme punya magnet kuat untuk mengundang rasa ingin tahu dan perdebatan di masyarakat. Dalam konteks film horor, hal mistis juga ikut menciptakan sensasi ketakutan yang memacu jantung dan memompa hormon adrenalin. Rasa itu membuat ketagihan.
Dalam banyak literatur, produksi film horor pertama kali di Indonesia terjadi pada tahun 1934. Sutradaranya The Teng Chun dengan film berjudul “Dua Siluman Ular Putih dan Item (Ouw Peh Tjoa)”.
Namun pada periode 1950 hingga 1960, produksi film horor sempat berhenti. Di periode tersebut genre yang populer adalah film-film bertema perjuangan kemerdekaan Indonesia, misalnya film “Darah dan Do’a” (1950),
Perfilman Indonesia Bangkit
Baru di masa pemerintahan Orba genre film horor bangkit lagi. Tahun 1966, pemerintah Orba mencabut kebijakan tentang pembatasan impor film Amerika ke Indonesia. Di era sebelumnya, Presiden Soekarno melarang keras peredaran film asing, terutama film Amerika.
Sebagai kompensasi, pemerintah Orba mengenakan pungutan bea masuk bagi semua film dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Pemerintah mengalihkan perolehan dana dari bea masuk tersebut menjadi uang pinjaman untuk membantu pendanaan produksi film dalam negeri.
Tahun itu, perfilman nasional makin bangkit, termasuk genre film horor. Salah satu film horor yang produksinya berasal dari dana bantuan pemerintah berjudul “Lisa” dengan sutradara M Sharieffudin pada tahun 1971.
Di tahun yang sama, Sharieffudin memproduksi juga film “Beranak Dalam Kubur”. Film ini kemudian menjadi film legenda dari film bergenre horor.
Film “Beranak Dalam Kubur” bahkan berhasil meraup keuntungan hingga Rp72 juta . Jumlah yang cukup besar kala itu. Film tersebut juga berhasil mengangkat nama Suzanna yang kemudian menjelma menjadi ratu film-film horor.
Kesuksesan produksi film-film horor tersebut tercapai dengan cara memanfaatkan kedekatan antara narasi cerita film dengan kondisi masyarakat kala itu.
Ambilcontoh film “Beranak Dalam Kubur” dan “Setan Kuburan” yang diproduksi tahun 1975. Kedua film ini berkisah tentang perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Hal itu sejalan dengan tingginya angka migrasi antarprovinsi yang terjadi antara tahun 1971 hingga 1980.
Doktrin Politik Orba
Namun di balik suksesnya film-film horor, terdapat juga agenda tersembunyi dari politik rezim otoriter Orde Baru. Lewat film-film horor ini, pemerintah Orba berkeinginan mengontrol kondisi masyarakat.
Kala itu, musuh terbesar rezim militer Orba adalah paham komunis melalui sisa-sisa anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara itu, masyarakat pedesaan saat itu selalu dikaitkan dengan kalangan abangan. Kalangan ini memang mempercayai hal gaib sekaligus dianggap menjadi pendukung utama gerakan PKI.
Maka tak heran jika menyaksikan film-film horor, di akhir ceritanya selalu menampilkan adegan sosok pemuka agama yang berhasil mengalahkan makhluk gaib.
Adegan itu menjadi ‘alat’ doktrin politik Sisworo Gautama PutraOrba untuk mengikis kepercayaan hal gaib yang berada di tengah masyarakat abangan, golongan masyarakat yang selalu dikaitkan dengan ateisme dan komunisme.
Pola itu semakin kentara dengan kian ketatnya pengawasan pemerintah Orba terhadap produksi film Indonesia melalui Kode Etik Produksi Film Nasional tahun 1981. Saat itu, pemerintah Orba mewajibkan produksi film nasional untuk “menjaga moral bangsa”.
Dalam kode etik tersebut, pemerintah mewajibkan setiap pembuat film untuk menampilkan kemenangan Pancasila atau sosok pemuka agama atas kejahatan. Apabila pembuat film tidak berkenan menghadirkan kedua hal tersebut, maka pembuat film setidaknya harus memunculkan ciri khas keindonesiaan dengan menghadirkan cerita-cerita rakyat atau legenda.
Sekalipun ada batasan atas nama kode etik, peminat film horor tetap tinggi, bahkan mencapai masa keemasannya sejak 1981 hingga 1990-an.
Tingginya minat masyarakat berbanding lurus dengan tingginya cuan para produser film horor. Sutradara yang cukup sukses di masa itu adalah Sisworo Gautama Putra. Sedangkan aktris film horor terlaris tentu saja adalah Suzanna.
Monopoli Cineplex 21
Antara tahun 1990 hingga 2000, film Indonesia termasuk film horor mulai mengalami kemunduran. Penyebab utamanya adalah semakin berkembangnya stasiun televisi swasta.
Stasiun televisi swasta makin sering memproduksi sendiri sinetron bersambung bergenre horor. Tayangan televisi yang lebih murah dan praktis mengakibatkan antusias masyarakat untuk pergi ke bioskop semakin menurun.
Selain itu perusahaan milik Sudwikatmono, saudara angkat Presiden daripada Soeharto bernama Cineplex 21, turut andil menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran film Indonesia, terutama film horor.
Cineplex 21 memainkan monopoli dengan cara lebih banyak memutar film impor karena dianggap memiliki kualitas tinggi. Sementara kualitas film horor Indonesia sebaliknya.
Kondisi dunia perfilman horor Indonesia semakin terpuruk oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi mengakibatkan banyak pegawai kalangan bawah yang merupakan segmen pasar dari film horor terkena PHK.
Oleh sebab itu, kalangan muda sangat menyambut keruntuhan rezim represif Orba pada 1998. Mereka berlomba memproduksi film independen yang berbeda dari tata nilai Orba yang telah terbentuk sebelumnya melalui berbagai film drama, komedi, kekerasan, seks, serta horor.
Angin Segar Film Horor Gaya Baru
Pasca reformasi menjadi era baru film horor. Film horor tidak lagi menempatkan hal gaib, legenda, dukun maupun kyai sebagai unsur yang mendominasi cerita film.
Selain itu, film horor pasca reformasi banyak memperlihatkan latar belakang perkotaan, bukan kondisi pedesaan seperti era sebelumnya.
Tidak adanya kode etik juga menyebabkan genre film horor berbeda dari narasi film horor Indonesia sebelumnya. Misalnya film “Jelangkung” produksi tahun 2001 karya sutradara Jose Poernomo dan Rizal Mantovani.
Tokoh utama dalam film “Jelangkung” ini ternyata dikalahkan oleh hantu. Peranan orang pintar atau kyai dalam film ini hanya memberikan solusi saja, bukan menyelesaikan permasalahan.
Hingga saat ini, film horor terus berkembang secara bebas dengan kreativitas dan gagasan tanpa harus takut menghadapi larangan tayang karena tidak lolos sensor.
Para penonton juga terus berdatangan menyaksikannya. Peraoalan masih ada titipan pesan politik atau pesan-pesan tersembunyi dalam film horor, belum ada yang tahu. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"