KONTEKS.CO.ID – Beberapa minggu terakhir, muncul kontroversi terkait dengan minuman bermerk “Nabidz,” yang awalnya di klaim sebagai jus anggur tanpa alkohol.
Namun, fakta baru telah terungkap bahwa produk ini mengandung kadar etanol yang signifikan, yaitu sebesar 8,84 persen.
Pertanyaan pun muncul, bagaimana mungkin produk yang mengandung alkohol bisa diberi label halal?
Kasus ini bermula ketika Founder Halal Corner, Aisha Maharani, mengklaim bahwa Nabidz adalah minuman jus anggur yang sepenuhnya bebas alkohol.
Dia bahkan mengatakan bahwa produk ini telah menjalani uji laboratorium mandiri yang menunjukkan hasil nol persen alkohol.
Klaim ini segera menarik perhatian masyarakat yang menginginkan alternatif minuman yang halal dan sesuai dengan keyakinan agama.
Namun, pada 10 Agustus 2023, data dari uji laboratorium independen mengungkapkan bahwa Nabidz sebenarnya mengandung 8,84 persen etanol.
Hal ini mengejutkan banyak pihak, termasuk beberapa ulama dan ahli hukum Islam, yang merasa bahwa klaim awal tentang produk ini sangat menyesatkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai otoritas agama yang berwenang dalam hal halal-haram, telah memberikan pandangan yang tegas terkait dengan produk seperti Nabidz.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan terkait label halal Nabidz.
Mereka menjelaskan bahwa MUI tidak pernah menetapkan kehalalan atas produk Nabidz.
Dalam fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Fatwa Halal, terdapat empat kriteria penggunaan nama dan bahan pada makanan dan minuman.
Salah satu kriteria ini menyatakan bahwa produk yang menggunakan nama atau bahan yang terasosiasi dengan hal-hal yang di haramkan, seperti nama-nama minuman beralkohol, tidak dapat dianggap halal.
Dalam Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol atau Etanol.
MUI menetapkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamar (minuman keras) adalah yang mengandung alkohol/etanol minimal 0,5 persen.
Oleh karena itu, minuman yang melebihi ambang batas ini telah dianggap najis dan haram.
Dalam kasus Nabidz, kadar etanol sebesar 8,84 persen jelas melebihi batas yang MUI tetapkan.
Oleh karena itu, pandangan umum dari para ulama adalah bahwa klaim halal untuk produk ini tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa pihak mungkin bertanya-tanya mengapa produk yang jelas mengandung alkohol masih bisa mendapatkan sertifikasi halal.
Terutama sertifikan halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Kementerian Agama.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kekeliruan atau ketidakpahaman dalam proses pengajuan sertifikasi.
Namun, Kiai Niam menjelaskan bahwa berdasarkan fatwa MUI, produk yang menggunakan nama yang terkait dengan yang haram dan memiliki karakteristik.
Seperti minuman beralkohol seharusnya tidak bisa di sertifikasi melalui jalur self-declare (pengakuan sendiri).
Kasus Wine Nabidz memberikan pelajaran penting tentang pentingnya transparansi dan kejujuran dalam pemasaran produk yang di klaim sesuai dengan nilai-nilai agama.
Kekeliruan seperti ini dapat menimbulkan kebingungan dan keraguan di kalangan konsumen,
Sehingga perlu mencari produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang mereka anut.
Bagi produsen, penting untuk memastikan bahwa klaim produk yang berhubungan dengan aspek agama memiliki dasar yang kuat dan akurat.
Klarifikasi yang jelas mengenai proses produksi dan komposisi produk sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan kontroversi yang tidak perlu.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"