KONTEKS.CO.ID – Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menolak kenaikan harga BBM dan mengancam aksi turun ke jalan untuk melakukan demontrasi besar-besaran. Aksi demo akan dilakukan pada Selasa, 6 September 2023.
“Partai Buruh dan Serikat Buruh akan melakukan aksi puluhan ribu buruh pada tanggal 6 September 2022,” katanya melalui keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu, 3 September 2022.
Untuk aksi di Jakarta, akan dipusatkan di DPR RI untuk meminta Pimpinan DPR RI memanggil Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan para menteri yang terkait dengan kebijakan perekonomian.
“Pimpinan DPR dan Komisi terkait ESDM DPR RI harus berani membentuk Pansus atau Panja BBM,” jelasnya.
Aksi ini juga serentak akan di lakukan di 33 provinsi lainnya yang diorganisir oleh Partai Buruh dan KSPI. Seperti di Bandung, Semarang, Surabaya, Jogjakarta, Banda Aceh, Medan, Batam, Padang, Pelanbaru. Bengkuku, Lampung, Banjarmasin, Samarinda, dan Pontianak. Aksi juga akan dilakukan di Makassar, Gorontalo. Sulawesi Utara, serta dilakukan di Ambon, Ternate, Mataram, Kupang, Manokwari, dan Jayapura.
“Bilamana aksi 6 September tidak didengar pemerintah dan DPR, maka Partai Buruh dan KSPI akan mengorganisir aksi lanjut dengan mengusung isu; tolak kenaikan harga BBM, tolak omnibus law, dan naikkan upah tahun 2023 sebesar 10% sampai 13%,” ancamnya.
Said Iqbal menyampaikan, beberapa alasan mengapa pihaknya menolak kenaikan tersebut. Pertama, kenaikan BBM tersebut akan menurunkan daya beli yang sekarang ini sudah turun 30%. Dengan BBM naik, maka daya beli akan turun lagi menjadi 50%. “Penyebab turunnya daya beli adalah peningkatan angka inflansi menjadi 6.5% hingga – 8%, sehingga harga kebutuhan pokok akan meroket,” ujarnya.
Selain itu upah buruh tidak naik dalam tiga tahun terakhir. Bahkan Menteri Ketenagakerjaan sudah mengumumkan jika Pemerintah dalam menghitung kenaikan UMK 2023 kembali menggunakan PP 36/2021. “Dengan kata lain, diduga tahun depan upah buruh tidak akan naik lagi,” jelasnya.
Ia menambahkan alasan kedua buruh menolak kenaikan BBM karena dilakukan di tengah turunnya harga minyak dunia. Dengan kondisi ini pemerintah terkesan hanya mencari untung di tengah kesulitan rakyat. “Terlebih kenaikan ini dilakukan di tengah negara lain menurunkan harga BBM. Seperti di Malaysia, dengan Ron yang lebih tinggi dari pertalite, harganya jauh lebih murah,” ungkapnya.
Tak hanya itu ia juga mengkritik subsidi upah terkait kenaikan harga BBM sebesar Rp 150 ribu selama empat bulan kepada buruh. Menurutnya ini hanya ‘gula-gula saja’ agar buruh tidak protes, karena tidak mungkin uang Rp 150 ribu akan menutupi kenaikan harga akibat inflansi yang meroket. Selain itu ia juga khawatir dengan naiknnya BBM, maka ongkos energi industri akan meningkat. Dan hal itu bisa memicu terjadinya ledakan PHK.
Pemerintah secara resmi menaikan harga BBM jenis premium dari Rp7.650 menjadi Rp 10.000/ liter. Kemudian solar subsidi naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800/ liter, dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500/ liter.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"