KONTEKS.CO.ID – Pemerintah Orde Baru (Orba) kerap kali menggunakan pasal penghinaan presiden untuk membungkam lawan politiknya. Kala itu, kritik adalah barang haram yang tabu untuk dilakukan.
Sejak awal Soeharto menjadi Presiden pada 1967, stabilitas nasional menjadi kata kunci. Soeharto sadar bahwa dia perlu suasana politik yang stabil untuk menjalankan pemerintahannya. Lebih penting dari itu, stabilitas perlu untuk mengamankan kekuasaannya.
JIka ada yang menghina Soeharto, rezim Orba akan melakukan berbagai cara untuk mengintimidasi, pencekalan, dan penjara.
Pembangunan TMII, Awal Kritik ke Orba
Pada pengujung 1971, terjadi penolakan terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada pengujung 1971. Musababnya, Ibu Tien Soeharto mengumumkan rencana pembangunan sebuah taman besar sebagai representasi kebudayaan 26 provinsi di Indonesia. Pembangunan itu memakan biaya Rp10,5 miliar.
Ada dua alasan protes terhadap rezim Orba. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia tengah terpuruk. Kedua, pembangunan itu tidak sejalan dengan pidato Presiden daripada Soeharto yang menganjurkan hidup prihatin.
“Jangan melakukan pemborosan karena sebagian besar rakyat hidup miskin,” ujar Soeharto mengutip dari koran Mahasiswa Indonesia edisi 5 Desember 1971. Soeharto juga menyebut perlunya skala prioritas dalam segala rencana pembangunan.
Pernyataan Soeharto dan rencana Ibu Tien yang bertolak belakang ini yang membingungkan dan memicu protes masyarakat. Para pemrotes menilai rencana pembangunan TMII tidak berbeda dengan proyek mercusuar.
Suara yang menentang proyek pembangunan TMII berasal dari mahasiswa di Jakarta, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Medan.
Francois Raillon dalam buku “Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia” terbitan LP3ES pada 1985 menulis, para mahasiswa di Jakarta dan Bandung membuat berbagai gerakan ad hoc. Gerakan itu menggunakan nama lucu seperti Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat.
Dua Cara Protes
Ada dua cara mahasiswa dalam menentang rencana Ibu Tien tersebut: diskusi dan aksi demonstrasi.
Gerakan Penghematan tercatat mendatangi kantor pemerintah terkait pembangunan TMII. Sedangkan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat mendatangi kantor Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk “Sekretariat Pemborosan Uang Negara” pada 23 Desember 1971.
Saat aksi bentang spanduk belum usai, sekonyong-konyong muncul sekelompok orang dengan membawa senjata tajam dan menyerang pada demonstran. Satu orang pengunjuk rasa jatuh lunglai terkena bacokan dan.
Di saat bersamaan, kaca kantor YHK pecah dan terdengar bunyi tembakan. Satu lagi demonstran roboh karena peluru bersarang di pahanya.
Ekses dari aksi kekerasan tersebut, gelombang protes mahasiswa semakin riuh. Mereka meminta pemerintah menimbang ulang pembangunan TMII. Sejumlah mahasiswa juga mendatangi rumah Ibu Tien di Jalan Cendana dan meminta dialog. Sayang aparat mengadang rencana itu dan berjanji menyampaikannya ke Ibu Tien.
Di Bandung, mahasiswa tidak melakukan aksi melainkan diskusi-diskusi bernas dengan menghadirkan berbagai tokoh. Seniman, intelektual, dan jurnalis top seperti WS Rendra, HJ Princen, dan Mochtar Lubis turun menentang pembangunan itu.
Dalam buku “Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis Seri 1”, Mochtar menulis di koran Indonesia Raya 13 Januari 1972, “Taufan-taufan protes terhadap proyek mini Indonesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita”.
Kritik Mengganggu Stabilitas Nasional
Presiden daripada Soeharto pun bereaksi atas gelombang protes itu. Ia menilai aksi jalanan dan diskusi menentang pembangunan sudah tidak substantif dan keluar batas.
Ia menuding ada “Mr X “dengan tujuan lain di balik aksi protes pembangunan TMII. “Mereka mencari kesempatgan untuk mengganggu stabilitas nasional,” ujarnya pada 6 Januari 1972 sebagaimana tertulis dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, Tindakan Saya”.
Soeharto pun mengancam akan menghantam gerakan menentang TMII, terlebih jika gerakan itu berniat menggulingkan kekuasaannya.
Dua pekan kemudian, tepatnya pada 17 Januari 1972, Wakil Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro melarang semua aktivitas anti-TMII. Pemerintah menangkap sejumlah tokoh penting penentang seperti Arief Budiman dan HJ Princen.
Aksi penangkapan yang berujung penjara juga terjadi dalam peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974. Ini merupakan salah satu peristiwa kelam di masa rezim Orba.
Protes Investasi Berpotensi Korupsi
Pada 15 Januari 1974. gabungan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum turun ke jalan yang berujung pada kerusuhan besar di Jakarta. Para pemrotes berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia. Mahasiswa melihat ada potensi membuka celah korupsi di pemerintah Orba.
Pada 14 Januari 1974, mahasiswa menyambut kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dengan melakukan demonstrasi di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun, para demonstran tak bisa masuk lantaran penjagaan ketat dari aparat keamanan.
Keesokan harinya, mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Mahasiswa juga menuntut pembubaran lembaga Asisten Penasehat Pribadi (Aspri) Presiden daripada Soeharto.
Menjelang sore hari, aksi demonstrasi mulai memanas dan berakhir ricuh. Terjadi sejumlah perusakan, pembakaran, dan penghancuran merek mobil Jepang.
Kerusuhan yang semula terjadi di Jalan Sudirman meluas hingga ke Senen. Massa menjara dan membakar pusat perbelanjaan itu. Sejumlah gedung pun terbakar. Aksi ini menjadi gong besar dari serangkaian kritik menentang pemerintah sejak awal tahun 1970.
Jumlah korban peristiwa Malari adalah 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, 750 orang ditangkap.
Aparat keamanan menuding mahasiswa sebagai dalang di balik kerusuhan tersebut. Padahal, beberapa litertur menyebut peristiwa kerusuhan itu buntut dari rivalitas antara Jenderal Ali Moertopo (Aspri Soeharto) dan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro.
Setelah kerusuhan, Presiden Soeharto mengambil langkah dengan mencopot Soemitro dan Ali Moertopo. Selain itu, sejumlah pimpinan mahasiswa yang menjadi penggerak aksi demonstrasi juga ditangkap dan menerima hukuman penjara.
Tetapi, tuntutan pembubaran Aspri tercapai karena Soeharto membubarkan lembaga itu,
Orba Semakin Keras
Pasca Malari, rezim Orba semakin keras menghadapi kritik dan siapa saja yang berseberangan.
“Banyak orang yang mengkritik dan yang sok kritik. Yang dapat kritikan terlalu banyak itu saya,” jelas Soeharto dalam bukunya.
Sedangkan mengutip pengakuan Jenderal AM Hendropriyono, Tjipta Lesmana yang menyebutkan bahwa Soeharto tidak suka menterinya mendapat kritikan. Mengkritik menteri Orba sama artinya dengan mengkritik Soeharto. Kritik bisa berbalas sebuah serangan.
Menurut Soeharto, jika kritik sebagai serangan terus-menerus terjadi, terutama lewat media, maka pembangunan nasional akan terganggu.
Karena itu, pemerintah menutup empat surat kabar, antara lain Indonesia Raya, Pedoman, dan Sinar Harapan. Sementara yang lainnya dalam pengawasan ketat.
Pada 1977, gerakan mahasiswa kembali muncul di berbagai kota di Indonesia. Tuntutan yang semula adalah pemberantasan korupsi yang merajalela, berujung pada penolakan pencalonan Soeharto sebagai presiden 1977-1983.
Pemerintah pun membuat aturan melarang aksi unjuk rasa dalam bentuk apapun. Beberapa mahasiswa bahkan masuk penjara.
Puncaknya adalah penerapan aturan normalisasi kehidupan kampus pada 1978. Pada era itu militer bahkan masuk ke dalam kampus dengan senjata berat dan membubarkan aksi demonstrasi mahasiswa. Pemerintah mengebiri kehidupan politik dan membungkam suara mahasiswa.
Petisi 50 Berdiri
Pada 5 Mei 1980, 50 orang tokoh yang terdiri dari para negarawan, politisi, akademisi, hingga eks petinggi ABRI dan Polri menandatangani surat protes ke rezim Orba. Beberapa tokoh pernah mengalami pencekalan, seperti mantan Gubernur DKI Letjen Ali Sadikin dan eks Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso.
Selain dua nama itu, tokoh lain yang tergabung dalam kelompok yang kemudian disebut Petisi 50 itu adalah mantan Perdana Menteri M Natsir, eks Komandan Brimob Letjen M Jasin, AH Nasution, dan Syarifuddin Prawiranegara.
Petisi tersebut berisi protes tentang Soeharto yang menganggap dirinya pengejawantahan Pancasila. Kritik terhadap Soeharto adalah kritik pada Pancasila, dan Soeharto menggunakan Pancasila sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.
Bagi Soeharto, kelompok Petisi 50 adalah oposisi pemerintah. Dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” (1989), dia mengaku senang jika ada oposisi.
“Tapi syaratnya, oposisi yang loyal,” kata Soeharto. Padahal, tak ada oposisi yang loyal pada pemerintah di dunia ini.
Dalam bukunya, Soeharto tegas menyatakan tidak menyukai cara kelompok Petisi 50 mengkritiknya.
“Bila berbeda pendapat boleh, tapi dengan kontrol pemerintah, musyawarah mufakat di DPR, ” katanya.
Soeharto menganggap Petisi 50 berusaha menjatuhkannya dari kekuasaan. Menurutnya, kelompok Petisi 50 tidak mengerti soal Pancasila.
Pengucilan dan Cekal
Imbasnya, anggota petisi 50 menerima pengucilan baik secara ekonomi dan politik. Gerak-geriknya diawasi sebagian besar mendapatkan pencekalan untuk keluar negeri.
Misalnya Hoegeng Iman Santoso, usai pensiun dari kepolisian, dia memimpin grup musik The Hawaiian Seniors, dan Orde Baru mencekalnya.
“Pak Hoegeng tidak boleh muncul di televisi, padahal dia hanya main gitar hawaiian saja. Hanya karena dia ikut tanda tangan Petisi 50,” tulis WImanjaya Keeper Liotohe dalam buku “20 Bodoh Besar Soeharto” (1998).
Ali Sadikin bahkan mengalami pencekalan sosial dan politik. Kedutaan asing mencoret nama anggota Petisi 50 ini, padahal biasa hadir saat acara kedutaan.
Melansir dari buku “Pers Bertanya Bang Ali Menjawab” (1995). Ali mengaku sewaktu akan pergi ke Belanda dan mengurus paspor pada 1985 untuk menemani istrinya, Nani Arnasih berobat di luar negeri, Ali wajib melapor ke kedutaan besar. Ali harus menghindari berpolitik selama di luar negeri.
“Saya hanya boleh ke luar negeri selama dua bulan,” kata Ali.
Ali tidak lagi bisa berceramah di kampus seperti ITB dan UGM, seperti kegiatannya setelah lengser dari jabatan Gubernur DKI. Bahkan Ali tidak boleh hadir dalam pembukaan Pekan Raya Jakarta.
“Padahal, saya yang mendirikan PRJ,” katanya.
Keluarga Juga Alami diskriminasi
Bukan hanya Ali, seluruh keluarga mengalami pengawasan ketat. Beberapa intel gantian menjaga kediaman Ali.
“Situasi jadi sulit. Kita keluar masuk setiap hari, ada intel. Banyak sekali, bahkan saat Lebaran, intelnya sudah nongkrong depan pintu,” cerita Mia Puspawati, asisten pribadi Ali Sadikin, melansir dari YouTube Kompas TV.
“Pak Ali, tahu sendiri kan, beliau bagaimana. Berhenti depan mobil. Pak Ali memanggil, masuk! Tapi tidak ada yang berani masuk. Intelnya bilang jaga Bapak. Malah beritahu Pak Ali, intelnya banyak, ada yang dari sini, dari situ,” jelas Mia.
Iwan Sadikin, anak ketiga Ali Sadikin mengaku banyak orang menjaga jarak dengannya karena mengetahui dia anak Ali Sadikin.
‘Mungkin, karena nama saya, ada Sadikin nya, mereka jaga jarak. Mereka berubah kalau tahu saya anak Ali Sadikin. Kakak saya mau kredit usaha juga tidak berhasil karena namanya ada embel-embel Sadikin,” jelas Iwan.
Sudomo Pengendali Petisi 50
Soeharto lantas mengutus Sudomo yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan untuk mengendalikan tokoh Petisi 50.
“Mencekal tokoh Petisi 50 adalah tanggung jawab saya. Kalau Ali dan yang lain mau menuntut ke pengadilan, saya hadapi,” tutur Sudomo dalam buku “Pers Bertanya Ali Menjawab”.
Bahkan pada 1985, lima tahun setelah petisi 50 berdiri, Kompas memberitakan pemerintah menyeret beberapa anggota Petisi 50 ada dengan tuduhan melakukan subversi. Salah satunya mantan Pangdam Siliwangi Mayjen (Purn) HR Dharsono.
Pasca Petisi 50, mereka-mereka yang berseberangan dengan pemerintah mengalami penghilangan paksa yang berujung penghilangan nyawa.
Sejumlah peristiwa berdarah terjadi akibat upaya menyiapkan kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
UU Subversif
Saat Orba berkuasa, sebuah undang-undang warisan Soekarno masih terpakai yaitu Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1994 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
UU Subversi menjadi alat untuk membungkam lawan politik rezim Orde Baru.
Melansir dari Artikel Undang-Undang tentang Subversi yang ditulis Ariel Heryanto, profesor kajian Indonesia Monash University Australia yang terbit di Kompas 17 Februari 1996, UU itu merajalela.
UU Subversi tidak hanya mengena ke pejabat tinggi era Soekarno, Soeharto, tapi juga petani pedesaan dan intelektual muda.
“Nyaris ada 500 narapidana subversi pada 1989. Dua kategori yang jadi andalan pihak berwajib adalah ekstrem kiri dan ekstrem kanan,” tulis Ariel.
Menurut Ariel, ada nyaris 500 narapidana subversi pada 1989. Dua kategori yang biasa digunakan pihak keamanan, yaitu ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Pasal Penghinaan Presiden Menyasar Mahasiswa
Pasal penghinaan presiden pun menyasar mahasiswa. Hal ini menimpa 4 mahasiswa Universitas Jayabaya, Berny M Tamara, Muslim Sri Utomo, Irzal Q, dan Susatyo Hendro Tjanjono. Mereka menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1977.
Melansir Tempo edisi 11 Juni 1977, mereka mendapat tuduhan telah menghina Soeharto dan Ibu Negara saat menggelar Pekan Orientasi Mahasiswa (Posma) pada 1976.
Mereka mengangkat dugaan korupsi di Pertamina yang kala itu sedang viral. Lalu mereka menggunting kata-kata di koran dan majalah. Kertas itu tersebar hingga beredar ke luar kampus.
Mereka pun menjadi terdakwa kasus penghinaan Presiden dan istri. Hakim memutuskan hukuman satu tahun penjara meskipun jaksa menuntut dua tahun penjara. Mahasiswa tersebut menjadi terdakwa tanpa pengacara.
Selain itu, ada Sri Bintang Pamungkas juga masuk penjara dengan tuduhan menghina Soeharto. Begitu juga dengan mantan guru dan wartawan, Wimanjaya yang menulis buku berjudul “Primadosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto” pada 1993.
Buku itu disebut menghina Soeharto. Bahkan beliau sempat menyinggung buku itu saat berdialog santai di peternakan Tri S Tapos Bogor di depan 100 perwira Angkatan Laut pada 1994.
“Isinya menggugat pemerintah sekarang, menggugat saya bahwa saya yang menciptakan G30S/PKI. Mereka memutarbalikan itu,” katanya.
Wimanjaya diadili dan terancam hukuman penjara 7 tahun 4 bulan, tetapi kemudian dilepas tanpa alasan jelas.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"