KONTEKS.CO.ID – Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI Arjuna Putra Aldino mengatakan, Indonesia saat ini memasuki era bonus demografi.
Jika pemerintah bisa mengelola bonus demografi ini dengan baik, kondisi ini akan menjadi modal penting untuk membangun menuju 100 tahun Indonesia emas pada 2045.
“Untuk merespons tantangan bonus demografi ini Indonesia perlu dipimpin oleh Presiden dengan usia produktif yakni usia tidak lebih dari 64 tahun,” kata Arjuna, Selasa 29 Agustus 2023.
Berdasarkan indikator Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok usia produktif adalah kelompok yang terdiri dari orang berusia 15 hingga 64 tahun.
Pentingnya faktor usia jadi pertimbangan. kata Arjuna, karena berkaitan dengan kemampuan adaptasi yang cepat dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Apalagi saat ini memasuki era revolusi industri 4.0 yang ditandai transformasi digital yang sangat cepat dan masif. Untuk itu butuh kemampuan adaptasi, adopsi, dan inovasi teknologi yang cepat dan tepat agar Indonesia tidak tertinggal.
“Nakhoda kepemimpinan nasional harus seorang sosok yang memiliki kemampuan adaptasi dan inovasi teknologi agar kita bisa menempuh akselerasi. Dan ini bisa terjadi apabila pemimpin berada di usia produktif,” papar Arjuna
Saat ini, kata Arjuna, perekonomian global mengalami revolusi kecerdasan artifisial (AI) dan peran mesin. Hal ini membawa dampak dan konsekuensi serius terhadap cara hidup manusia, seperti yang telah terjadi pada revolusi agrikultura, industrial, dan digital.
Untuk itu, Indonesia perlu pemimpin yang membawa paradigma berfikir transformatif dan progresif karena paradigma berfikir berkaitan dengan arah kebijakan dan model kepemimpinan.
“Kita tidak mungkin dipimpin oleh calon pemimpin yang masih berfikir old school yang masih berfikir konservatif. Ini akan menghambat inovasi dan kemajuan,” tambah Arjuna.
Tidak Lagi Belanja Alutsista Bekas
Di bidang pertahanan misalnya, ancaman pertahanan bukan lagi ancaman dalam pengertian tradisional. Namun di tengah era big data dan internet of thing, telah muncul ancaman siber berupa pencurian data dan teknologi militer.
Oleh sebab itu, kebijakan pertahanan tidak bisa sebatas belanja alutsista bekas. Melainkan harus pada proyeksi terbentuknya organisasi cyber defense. Amerika Serikat, misalnya, telah membentuk United States Cyber Command (USCYBERCOM) di bawah United States Strategic Command (US STRATCOM) sebagai antisipasi terhadap banyaknya serangan siber terhadap jaringan komputer, internet, maupun infrastruktur digital.
“Tidak bisa tidak, di masa depan dunia digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan bangsa,” tutur Arjuna.
Smart Farming
Sama halnya dalam upaya mencapai swasembada pangan. Arjuna mengatakan, Indonesia tidak bisa mempertahankan model kebijakan pertanian yang mengarah pada “ekstensifikasi” yang mengutamakan perluasan areal pertanian sehingga membabat hutan dan mengancam keseimbangan ekosistem serta perubahan iklim.
Peningkatan produktivitas harus melalui teknologi “smart farming”. Tujuannya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pertanian, serta mempermudah pengaturan logistik.
“Jadi bukan lagi model konvensional seperti ekstensifikasi pertanian. Selain untuk mencapai swasembada, juga untuk menghindari kerusakan lahan dan kerusakan lingkungan,” jelas Arjuna.
Untuk itu, pembatasan akomodasi kepemimpinan nasional pada kategori usia produktif menjadi penting. Pembatasan ini berkaitan dengan syarat minimal kecakapan calon pemimpin, terutama kecakapan adopsi dan inovasi teknologi untuk melakukan percepatan kemajuan.
“Kita tidak mungkin bicara percepatan kemajuan jika pemimpin tidak mampu berinovasi dan mengakselerasi kemajuan,” tandas Arjuna. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"