KONTEKS.CO.ID – Medio 1960-an hingga 1990-an, perjudian pernah berlaku resmi alias legal di Indonesia. Pemerintah mengemasnya dalam format lotere dan kupon undian, di antaranya bernama Lotre Toto Raga, Porkas (Pekan Olahraga Ketangkasan), Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB), dan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
Bagi generasi yang hidup di tahun 1980-an hingga 1990-an pasti mengenal SDSB. Bahkan, mungkin pernah membeli kupon judi buntut ini.
Ya, SDSB merupakan judi buntut legal alias resmi dari pemerintah era Orde Baru (Orba). SDSB yang kependekan dari Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah merupakan judi yang punya dasar hukum.
Pemerintah era Orba mengeluarkan aturan resmi SDSB sebagai judi buntut pada tahun 1985 melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BBS.10.12/85.
Dalih pelegalan SDSB di masa pemerintahan daripada Soeharto adalah untuk mengembangkan olahraga di Indonesia. Rezim Orba menolak menyebutnya sebagai judi. Seperti aturannya, pengelolaan SDSB secara resmi di bawah Departemen Sosial.
Warga yang ingin membeli kupon bisa membayar harga selembarnya sebesar Rp1.000. Penjualan kupon dibatasi hingga pukul 18.00 dan hasil undiannya diumumkan pada pukul 00.00 melalui RRI.
Meski hanya berharga Rp1.000, tapi iming-iming hadiah berupa uang tunai sangat menggiurkan.
Warga harus menebak 6 digit angka, jika tepat menebak persis sama dengan keenam urutan angka tersebut maka akan mendapat hadiah sebesar Rp1 miliar.
Tapi kalau hanya berhasil menebak empat angka atau digit terakhir hadiahnya senilai Rp2,5 juta.
Lalu, jika berhasil menebak tiga angka terakhir hadiahnya sebesar Rp350.000 dan dua angka terakhir hadiahnya senilai Rp60.000.
Setahun berjalan, omset SDSB yang muncul dua kali dalam seminggu yakni Senin dan Rabu ini mencapai angka Rp1 triliun, angka yang fantastis di masa itu.
Tempat Angker Hingga Tafsir Mimpi
Para pembeli kupon SDSB biasanya tidak hanya membeli satu atau dua kupon. Mereka bahkan bisa membeli puluhan hingga ratusan kupon. Tentunya, diisi dengan nomor-nomor berbeda dengan harapan peluang menang terbuka semakin lebar.
Para pembeli kupon dari yang awalnya hanya iseng dan sebatasjadi hiburan, lama kelamaan melakukan hal-hal bodoh di luar nalar untuk mendapatkan nomor jitu.
Tak jarang mereka meminta nomor buntut ke tempat-tempat angker. Kemudian mendatangi dukun-dukun dan membuat orang kesurupan untuk minta nomor SDSB.
Pun, anak-anak kecil polos dan orang tak waras di jalanan juga jadi sasaran untuk meminta nomor yang akan keluar.
Lalu buku tafsir mimpi pencocok nomor buntut seakan menjadi ‘buku suci’ bagi para pembeli kupon. Mereka tiba-tiba menjadi ahli tafsir mimpi. Apa saja mimpi yang mereka alami kerap dihubungkan dengan angka-angka SDSB.
Seakan tak mau ketinggalan, para pedagang obat pun ikut bermunculan bak jamur di musim hujan. Dagangan cuap-cuapnya pun laris manis, mereka menipu para penjudi dengan iming-iming nomor SDSB cantik yang mereka jual.
Lebih gilanya lagi, di saat ada kecelakaan kendaraan bermotor, para penjudi berbondong-bondong mencatat nomor kendaraan yang kecelakaan. Plat nomor kendaraan itu bakal mereka pasang di nomor SDSB.
Ironisnya, para pelaku judi legal ini adalah orang-orang kecil dengan pendapatan yang tak seberapa.
Bukannya menjadi kaya mendadak justru sebagian besar malah hancur berantakan perekonomian keluarganya.
Uang hasil pendapatan harian yang seharusnya untuk makan, habis ke loket-loket judi yang sangat mudah ditemui pada masa itu.
Tak hanya orang dewasa, remaja pun mulai ikut-ikutan berjudi SDSB.
SDSB Diprotes MUI Hingga Mahasiswa
Selama delapan tahun undian resmi ini beroperasi, kelompok agamawan seperti MUI menganggap SDSB sebagai judi yang terselubung. Mahasiswa, aktivis sosial, dan masyarakat mulai turun ke jalan memprotes keberadaan SDSB.
Pada tahun 1992, terjadi demonstrasi mahasiswa hingga berujung bentrokan antara pengepul SDSB dengan massa aksi di Jakarta. Pemerintah menangkap sejumlah mahasiswa dengan tuduhan makar.
Demonstrasi mahasiswa dalam jumlah besar juga muncul di Makassar, Jember, Surabaya, Solo dan Pekalongan. Para penentang kupon SDSB bertambah geram ketika pemerintah begitu lamban menangani masalah tersebut.
Buntutnya gelombang protes semakin memuncak dan panas. Sejumlah kios penjualan kupon SDSB dibakar di beberapa wilayah di Jakarta dan daerah-daerah lainnya.
Awalnya, pemerintah berniat memperpanjang penyelenggaraan SDSB hingga tahun 1996. Namun, pemerintah mulai berpikir untuk menyudahi izin operasi SDSB pada 9 September 1993 setelah protes massa.
Menteri Sosial Endang Kusuma Intan Suwono dalam rapat di DPR pun lantas mengumumkan penghapusan kupon SDSB.
Judi untuk Pembangunan
Sesungguhnya perjudian resmi di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Di masa penjajahan Belanda, judi berlangsung berdasarkan aturan dari residen setempat.
Kemudian, di zaman pemerintahan Soekarno di tahun 1960-an pemerintah membentuk Yayasan Rehabilitasi sosial, sebuah yayasan yang berdiri untuk mengelola perjudian legal. Ini lantaran pemerintah membutuhkan dana cukup besar untuk pembangunan pada masa itu. Salah satu cara untuk mengumpulkan uang adalah dengan mengelola perjudian.
Di era pemerintahan Soekarno, pengumuman kupon undian saban satu bulan sekali. Lantaran judi legal ini sangat menjanjikan keuntungan namun hanya muncul sebulan sekali, maka banyak bandar menggelar judi yang sama secara ilegal.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pun mencoba mencoba menarik dana masyarakat untuk pembangunan DKI melalui legalisasi perjudian. Tujuannya, untuk menambah anggaran. Dia lantas akhirnya mengeluarkan SK yang melarang perjudian gelap di wilayah DKI Jakarta dan membuka perjudian resmi dengan kasino pertama di kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat.
Meski terjadi pro dan kontra tetapi faktanya judi mampu menghasilkan uang cukup besar yang masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Infrastruktur di Jakarta pun bisa terbangun dengan cepat.
Meskipun secara materi menguntungkan, Presiden Soekarno menyadari bahwa perjudian itu berpotensi merusak moral.
Maka pada tahun 1965 Soekarno juga menghentikan seluruh aktivitas perjudian melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 113/1965. Bahkan pemerintah kemudian memasukkan perjudian ke dalam kategori kejahatan subversif.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"