KONTEKS.CO.ID – Permohonan Uji Materiil tentang batas usia capres dan cawapres 2024 atau jabatan publik lainnya, secara langsung tidak langsung menempatkan seluruh hakim Mahkamah Konstitusi (MK), berada dalam posisi conflict of interest atau konflik kepentingan.
Hal ini disampaikan Advokat Perekat Nusantara dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, dalam keterangan pers pada Rabu, 11 Oktober 2023.
Menurutnya, alasan itu disampaikan karena selama ini, baik batas usia minimum dan maksimum capres dan cawapres maupun batas usia minimum dan maksimum calon hakim Konstitusi, bahkan untuk jabatan publik lainnya, semua perubahannya selalu dilakukan melalui proses dan mekanisme legislasi di DPR dan Pemerintah karena menyangkut kebijakan open legal policy.
Pada rezim perubahan terhadap batas usia minimum capres dan cawapres pada UU No.23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mengenai batas usia minum capres dan cawapres minum 35 tahun.
Kemudian diubah menjadi batas usia minimum 40 tahun dengan perubahan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu batas usia minimum 40 tahun tetap dipertahankan.
“Ini berarti konstitusionalitas ketentuan batas usia minimum 40 tahun seorang capres dan cawapres cukup teruji dan diterima oleh semua pihak tanpa kecuali,” kata Petrus Selestinus.
Sementara terkait dengan perubahan batas usia minimum dan maksimum hakim Konstitusi, menurut UU No.23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, bahwa persyaratan batas usia minimum dan atau maksimum hakim konstitusi ditetapkan minimal 40 tahun dan pensiun pada usia 67 tahun.
“Kemudian diubah menjadi minimal 47 tahun dan usia pensiun pada usia 65 tahun. Sedangkan pada perubahan ketiga atau sekarang berlaku, minimal 55 tahun dan pensiun pada usia 70 tahun, melalui kebijakan open legal policy di DPR,” katanya.
Menurut Petrus Selestinus, dalam tiga kali perubahan baik UU MK atau UU Pemilu Pilpres, termasuk soal syarat batas usia minimum capres dan cawapres dan batas usia minimum calon hakim konstitusi dengan segala perubahannya, dilakukan dengan cara mengubah UU melalui proses legislasi di DPR dan Pemerintah.
“Karena menyangkut apa yang disebut open legal policy yang menjadi domain DPR dan pemerintah, bukan domain MK lewat uji materiil UU,” katanya lagi.
“Pada perubahan UU MK dan UU Pemilu, menunjukan MK tetap konsisten tunduk pada pendirian bahwa perubahan batas usia minimum dan atau maksimum jabatan publik merupakan kebijakan open legal policy yang masuk dalam domain atau kewenangan DPR dan Pemerintah melalui proses legislasi,” ujarnya lagi.
Hakin MK Melanggar Hukum
Sesuai ketentuan pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka hakim MK dan atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan uji materiil pasal UU Pemilu tentang batas usia minimum dan maksimum capres dan cawapres. Hal ini karena terdapat kepentingan langsung atau tidak langsung dari hakim-hakim dan panitera MK dengan perkara yang sedang diperiksa.
“Di mana letak kepentingan hakim-hakim MK dalam uji materiil batas usia minimum atau maksimum, capres dan cawapres, hal itu terletak pada godaan kepetingan untuk mengubah batas usia minimum dan maksimum calon hakim konstitusi dan usia pensiun hakim konstitusi, yang sebelumnya secara fluktuatif berubah melalui perubahan UU MK di DPR dan Pemerintah,” kata Petrus Selestinus..
Bila hakim MK mengakomodir dengan mengabulkan permohonan uji materiil guna menurunkan batas usia minimum capres dan cawapres dari minimum 40 tahun menjadi 35 tahun atau pernah menjadi kepala daerah, maka tidak tertutup kemungkinan hakim-hakim MK akan sangat bernafsu mengubah usia minimum calon hakim MK dan sekaligus memperpanjang batas usia pensiun hakim MK melalui Uji Materiil untuk kepentingan dirinya atau kroninya kelak.
Seluruh Hakim MK Harus Mundur
Terdapat alasan hukum yang kuat untuk meminta Hakim MK yang memeriksa dan mengadili Permohonan Uji Materiil batas usia minimum dan maksimum capres dan cawapres, mengundurkan diri atau setidak-tidaknya dalam putusannya menyatakan permohonan uji materiil tidak dapat diterima. Ada dua alasan menurut Petrus Selestinus.
Pertama, para hakim MK memiliki kepentingan yang sama dengan para pemohon uji materiil terkait perubahan batas usia minimum dan maksimum, di mana pada saat yang sama hakim MK memiliki keinginan untuk mengubah batas usia minumum dan maksimum calon hakim MK yang selama ini telah beberapa kali diubah dengan mengubah UU MK melalui DPR.
Kedua, bahwa Ketua MK Anwar Usman, berada dalam posisi memiliki hubungan darah sebagai ipar Presiden Jokowi dan pada saat yang bersamaan Gibran Rakabuming Raka (GRR) yang juga anak kandung Jokowi, berkeinginan untuk maju sebagai cawapres 2024.
“Tetapi terkendala usia yang masih di bawah 40 tahun, karena itu menunggu putusan MK, menegaskan terdapat hubungan kepentingan antara Anwar Usman, Jokowi dan GRR,” kata Petrus Selestinus.
Karena itu, jika MK mengubah batas usia minimum menjadi 35 tahun atau tetap 40 tahun tetapi pernah menjabat sebagai kepala daerah, maka MK bukan lagi berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan hakim-hakim MK bukan lagi negarawan, tetapi mereka menjadi kepanjangan tangan kepentingan dinasti Jokowi, oligarki dan kroni-kroni yang ada di belakang Jokowi.
“Berdasarkan ketentuan pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, maka seluruh hakim MK yang memeriksa dan mengadili permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, soal batas usia minimum capres dan cawapres, harus mengundurkan diri karena semua hakim MK memiliki kepentingan dengan upaya mengubah batas usia minimum dan maksimum calon hakim MK.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"