KONTEKS.CO.ID – Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti. Reformasi dan Demokrasi yang ditegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir dikhianati.
Hal ini disampaikan untuk merespons putusan MK yang mengabulan sebagian dari gugatan mahasiswa UNS Almas Tsaqibbirru Re A. Almas. MK menetapkan bahwa capres dan cawapres harus berusia 40 tahun, tapi mereka yang usianya belum mencukupi, bisa ikut berkontestasi bila berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Adanya putusan ini, mendorong dikeluarkannya Maklumat Juanda 2023: Reformasi Kembali ke Titik Nol. Dengan putusan ini, kedaulatan rakyat disingkirkan.
Ruang publik dipersempit, oposisi menjelma aliansi kolusif, lembaga antikorupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif ditebalkan. Yang menentukan nasib kita: kekuasaan pemimpin nasional dan para majikan partai.
Penguasa menyalahgunakan demokrasi melalui peraturan perundang-undangan, mulai dari Revisi UU KPK, KUHP, hingga UU Cipta Kerja. Konflik kepentingan pejabat kabinet sangat kuat.
Prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Penyelesaian pelanggaran HAM berat berhenti pada ranah nonyudisial, instan, dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek.
Politik dinasti terasa kental ketika Presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri. Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak Kepala Negara atau Presiden yang berkuasa.
Presiden terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024 dengan menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga. Rasa keadilan diinjak-injak. Masa depan bangsa dijadikan permainan kotor.
Kami memergoki perilaku politik yang nista dari penguasa dan kalangan atas ini. Ukuran moral, tentang yang adil dan tidak adil, yang patut dan tidak patut telah hilang.
Perilaku yang nista itu adalah kolusi dan nepotisme yang dirobohkan oleh gerakan reformasi, seperempat abad lalu.
Itu sebabnya, sejumlah warga negara dari pelbagai kalangan, bersuara. Indonesia memerlukan politik yang diabdikan untuk kedaulatan rakyat.
Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Kepala Negara, Presiden Jokowi, agar memberi teladan, dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga.
Dibacakan di Jalan Juanda, Jakarta
Hari ini, Senin, 16 Oktober 2023.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"