KONTEKS.CO.ID – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus meminta Komisi Pemilihan Umum (TPU) berani menempatkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai landasan hukum dan etik saat menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk pemilu 2024.
“Rakyat Indonesia sedang prihatin dan cemas karena saat ini 3 (tiga) lembaga negara yaitu Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemihan Umum (KPU) yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945, namun pimpinannya diduga terlibat dalam konspirasi dengan supra struktur politik istana dalam politik praktis,” kata Petrus Selestinus dalam keterangan resmi pada Senin, 13 November 2023.
Menurut Petrus Selestinus bahwa MK dan KPU RI adalah lembaga negara yang kemandirian dan independensinya dijamin undang-undang. Karena itu, seharusnya tidak boleh diintervensi apalagi sampai melawan hukum. Apalagi oleh supra struktur politik demi politik praktis lewat nepotisme.
Petrus Selestinus menambahkan, putusan MKMK serta merta mendelegitimasi Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tgl.16/10/ 2023 ditandai dengan diberhentikan Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi, dari jabatan Ketua MK. Ini karena terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
“Karena itu, dalam menetapkan paslon, KPU dituntut menempatkan putusan MKMK, sebagai landasan hukum dan etik, terlebih-lebih karena MKMK berhasil membongkar konspirasi politik di supra struktur politik (Istana) melalui jejaring nepotisme di MK, satu dan lain karena menjadikan MK sebagai instrumen politik,” katanya.
Membongkar Konspirasi
Selain itu, KPU tidak boleh membiarkan dirinya hanya berfungsi sebagai eksekutor pihak Istana, mengeksekusi putusan MK dan mengabaikan Putusan MKMK yang secara moral dan etik mengembalikan wibawa dan marwah Mahkamah Konstitusi.
“KPU harus memahami bahwa putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dimaksud adalah produk konspirasi supra struktur politik Istana, memperalat MK melalui Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi, demi meloloskan GRR mendampingi Bacapres Prabowo Subianto, sebagaimana secara eksplisit dan implisit diungkap dalam Putusan MKMK. Oleh karena itu suka tidak suka Putusan MKMK itu berimplikasi menimbulkan cacat hukum pada pencawapresan GRR, sehingga KPU tidak punya pilihan lain selain harus menyatakan batal pencawapresan GRR,” katanya
Karena itu, putusan MK dan MKMK bisa menjadi alat bukti sempurna, bahwa etika kehidupan berbangsa dan bernegara pada era Jokowi berada di titik nadir. Hal Ini mengancam integrasi nasional menuju krisis multi dimensi dan lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas kepada Pemerintah.
“Praktek bernegara dengan cara mengabaikan Etika bernegara jelas menyimpang dari Pembukaan UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/ 1998 dan TAP MPR No. VI/MPR/ 2001, yang secara tegas melarang relasi keluarga dalam Penyelenggaraan Negara (Nepotisme) melalui UU No. 28 Tahun 1999,” kata Petrus Selestinus.
Hal ini karena nepotisme akan merusak sendi-sendi etika bernegara seperti kejujuran, rasa malu, keteladanan, toleransi, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Semua berangsur akan hilang dan akan muncul disintegrasi bangsa.
“Untuk menghentikan nepotisme Jokowi dengan daya rusak yang tinggi, hanya bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, Pertama, Anwar Usman mundur total atau dipecat dari Hakim Konstitusi, sedangkan GRR segera mundur atau ditarik dari posisi Bacawapres dan diganti oleh pimpinan parpol dalam KIM,” katanya
“Jika cara pertama gagal dilakukan, maka pilihan cara kedua, sebagai langkah konstitusional Memproses hukum Presiden Jokowi melalui impeachment atas dugaan telah melanggar UUD 1945 dan peraturan hukum lainnya,” katanya.
Jaga Integrasi Nasional
Petrus Selestinus berpendapat, secara kasat mata terdapat fakta yang notoire feiten, betapa etika bernegara mengalami penghancuran secara sistemik, selama 10 tahun Presiden Jokowi berkuasa.
Lembaga Kepresidenan, MK dan KPU, terkena imbas dari proses kehancuran akibat penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan relasi keluarga dalam tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan negara, tanpa rasa malu dan bersalah. Hal ini menurutnya harus diakhiri sekarang juga.
“Penggunaan hak angket DPR bisa berkembang hingga Presiden Jokowi diimpeachment di MK. Ini tentu memerlukan dukungan publik guna mendapatkan legitimasi. Karena itu dalam melaksankan fungsi representasi rakyat, DPR memiliki alasan konstitusional mengimpeach Presiden Jokowi, tetapi dengan tetap menjaga integrasi nasional,” katanya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"