KONTEKS.CO.ID – Departemen Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema “Regresi Demokrasi di Indonesia (?)”. Dalam sesi kedua seminar menghadirkan Romo Antonius Benny Susetyo, Airlangga Pribadi Kusman, dan Prof. Luky Djuniardi Djani.
Dalam paparannya Romo Benny mengungkapkan realitas politik dan demokrasi di Indonesia sedang dalam suasana dibajak dan kehilangan moral dan etiknya. Kaitannya dengan realitas ini, dia menjelaskan bahwa konstitusi tidak lagi menjadi pijakan atau pegangan, melainkan menjadi alat untuk ambisi kekausaan.
“Demokrasi harus punya tradisi. Persoalan dalam politik di Indonesia bukanlah pemimpin muda atau tua. Persoalan nyata yang paling berat dihadapi demokrasi adalah konstitusi yang diingkari dan diinjak-injak. Masalah ini semakin memburuk ketika masyarakat sipil, media massa, intelektual membiarkan demokrasi membusuk. Praktik berbangsa telah diingkari,” kata Romo Benny pada Kamis, 23 November 2023.
Romo Benny menjelaskan bahwa kondisi ideal yang harusnya ada adalah masyarakat yang kritis. Masyarakat terdidik jangan sampai menjadi masyarakat hanya mengiyakan. Membiarkan kepentingan merebut dan melestarikan kekuasaan.
Baginya kritisisme masyarakat amatlah penting. Bahwa daya kritis dapat mempengaruhi elektabilitas dan keputusan publik. Baginya, jika kelompok intelektual membiarkan itu semua, demokrasi akan mati.
Romo Benny menambahkan bahwa kita membutuhkan intelektual organik. Menjelang Pemilu pada Februari 2024, Romo Benny berpendapat bahwa bangsa Indonesia punya tiga bulan untuk menyelamatkan demokrasi. Dia berharap bahwa seminar ini akan melahirkan agenda untuk menyelamatkan demokrasi.
“Dengan kultur intelektual kita bisa menyelamatkan masyarakat. Kita membangun kesadaran masyarakat atas hegemoni yang ada. Kita harus membangun kesadaran kritis kampus dan membuat gerakan kesadaran kritis ini atas demokrasi yang dipasung,” katanya.
Dia menegaskan bahwa gerakan mahasiswa dapat menyadarkan kembali, dan mengembalikan semangat demokrasi
Sementara menurut Airlangga Pribadi Kusman bahwa realitas problematika demokrasi yang dihadapi di Indonesia adalah adanya politik gimmick. Dia menyoroti persoalan kesadaran demokrasi bangsa Indonesia akibat berbagai manipulasi. Harus ada penegasan urgensi posisi masyarakat sipil melalui penegasan hak warga negara.
Masyarakat politik yang kritis diperlukan dalam mekanisme politik demokratis. Dia mengkritisi pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan politisi muda dan mempertanyakannya secara etik dalam mekanisme demokrasi.
Baginya, demokrasi harus dibangkitkan bersama rakyat. Peran masyarakat sipil penting dalam menjaga dan mempertahankan demokrasi. Dia mengkritisi secara tajam praktik demokrasi saat ini yang akan dapat membawa bangsa Indonesia setback ke masa lalu dalam bentuk kekuasaan yang korup, absolut dan tidak terkendali.
Airlangga Pribadi Kusman tidak sepakat jika Gen Z dicap apolitis dan tidak tahu politik. Dia memberikan contoh bahwa ketika isu reformasi dikorupsi dan omnibus law muncul, kelompok yang bangkit adalah Gen Z, sehingga ini adalah wujud partisipasi anak muda dalam politik secara kritis.
Airlangga Pribadi Kusman menjelaskan bahwa mahasiswa akan menghadapi suatu realitas sosial dan politik ketika mereka lulus bahwa mereka akan menghadapi anak-anak elite yang memanfaatkan berbagai macam dekengan (priviledge) yang dimilikinya untuk menempati posisi-posisi penting.
“kita akan mengalami setback 100 tahun kalau neo-feodalisme menguat!” katanya.
Dia menambahkan bahwa permasalahan yang serupa dulu dihadapi Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka pada masa perjuangan kemerdekaan. Dia mengungkapkan bahwa dulu mobilitas sosial naik hanya dimiliki orang-orang berdarah biru.
Tanpa upaya resistensi sipil melawan kemunduran ini, mobilitas sosial orang biasa (anak-anak singkong) yang telah kita perjuangkan bersama selama ini akan mengalami kemunduran
Sementara Prof. Luky Djuniardi Djani menyampaikan mengenai komparasi fenomena politik dinasti dengan memberikan contoh kasus Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Berlatar belakang militer melanjutkan kekuasaan ke anaknya.
Anak dan anggota keluarga Hun Sen telah lama menempati jabatan strategis seperti menteri, panglima, kepala polisi, dan sebagainya. Contoh ini menurut Prof. Luky Djuniardi Djani menunjukkan visi untuk mendorong “kesuksesan” keluarga dalam membangun politik dinasti.
Populasi terdidik di Indonesia hanya sekitar 12 persen dan ini menimbulkan kompleksitas kesenjangan kesadaran pada isu-isu politik dan demokrasi. Prof. Luky menyoroti upaya Presiden Joko Widodo dalam membangun politik dinasti dalam keluarganya. Menurutnya, ini merupakan keputusan rasional yang memanfaatkan kesempatan yang muncul. Baginya upaya ini merupakan sesuatu yang harus dilawan.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"