KONTEKS.CO.ID – Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menilai Global Network Electoral Justice (GNEJ) berfokus pada perlindungan terhadap hak-hak politik-pemilihan serta sistem perwakilan yang berfungsi untuk kolaborasi dan pertukaran pengetahuan.
Menurut Bagja, hal itu merupakan bukti komitmen negara-negara di seluruh dunia untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
“Saat kita berkumpul di sini hari ini, jaringan global tentang Keadilan pemilu tetap berkomitmen terhadap tujuannya,” katanya saat membuka GNEJ Scientic Comitte and The Goverment Council of the GNEJ 2023 Closing event di Bandung, Selasa, 5 Desember 2023.
Organisasi GNEJ berupaya memfasilitasi pertukaran informasi peradilan pemilu serta membangun kerja sama di antara para anggota GNEJ.
Disampaikan Bagja, forum ini bertujuan untuk mengidentifikasi dalam mendorong kemajuan pengadilan dan badan peradilan pemilu secara global.
“Atas nama jaringan GNEJ dan dipimpin oleh Bawaslu. Dengan senang hati saya menyambut Anda di acara penutupan Komite Ilmiah dan Dewan Pengurus GNEJ 2023,” kata Bagja.
“Peristiwa penting ini menandai puncak dari babak penting dalam upaya mewujudkan keadilan pemilu dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi,” ujar Bagja menambahkan.
Bawaslu mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai Presidensi Jaringan Global selama dua tahun sejak awal 2022 hingga akhir tahun 2023.
“Sesuai dengan namanya, Bawaslu mempunyai peran penting dalam menjamin integritas dan keadilan proses pemilu dengan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Republik Indonesia,” tutup Bagja.
Strategi Bawaslu Cegah Politisasi SARA
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, menjelaskan upaya pencegahan yang dilakukan Bawaslu dalam mencegah politisasi SARA.
Lolly menceritakan, pada 10 Oktober 2023, Bawaslu mencanangkan rawannya politisasi identitas SARA.
Menurutnya, di Indonesia terdapat empat indikator politisasi identitas, yaitu kampanye sarat SARA di media sosial, kampanye sarat SARA di tempat umum, penolakan calon kandidat berbasis SARA, dan kekerasan berbasis SARA.
“Apabila saling provokasi dan intimidasi tidak dikelola dengan baik, maka dinamika konflik akan berkembang dengan cepat dan menjadi sangat kekerasan (brutal). Berakhir dengan bentrokan antar kelompok atau kerusuhan massal yang berkepanjangan,” kata Lolly.
Lolly menegaskan, Bawaslu tidak akan diam dan terus berupaya mencari solusi untuk mencegah terjadinya politisasi SARA dalam pesta demokrasi.
Salah satu dalam cegah SARA adalah melakukan kolaborasi dengan banyak pihak. Selain itu, menyusun data kasus politisasi identitas, lengkap dengan karakteristik dan sebarannya sebagai kajian ilmiah.
“Bawaslu juga melakukan pendidikan pemilih secara masif dengan melibatkan tokoh masyarakat, organisasi pemberdayaan masyarakat, FKUB, media online/offline dan seluruh elemen masyarakat,” kata Lolly.
Selain itu, sambung Lolly, melakukan kerjasama pihak seperti Kemenkominfo, TNI, Polri, Dewan Pers dan Platform Media Sosial untuk mencegah kampanye identitas dan provokasi di media sosial dan media massa lainnya.
“Saat ini kami intens melakukan patroli pengawasan siber yang Intensif untuk mencegah potensi berkembangnya politisasi identitas,” tandas Lolly. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"