KONTEKS.CO.ID – Pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyeruak menjelang pemilihan presiden 2024. Keberpihakan Jokowi terhadap Prabowo dan Gibran Rakabuming anaknya, juga menjadi keprihatinan para tokoh dan pemikir bangsa.
Perkembangan politik, demokrasi dan kenyataan sedang dibangunnya politik dinasti oleh Jokowi akan mencederai hasil pemilu karena keberpihakan Jokowi kepada Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda dalam acara Beranda Politik Komunitas Utan Kayu dengan topik ‘Memakzulkan Jokowi’ yang digelar Jumat, 19 Januari 2024, dan dihadiri Pendiri INDEF Faisal Basri, menyampaikan tentang kemungkinan atau posibilitas pemakzulan Jokowi saat pemilu tahun 2024.
Bagaimana respons publik terhadap situasi yang sejauh ini terjadi di kancah perpolitikan nasional. Hampir 25 hari lagi pilpres 2024 akan dilaksanakan, dan bagaimana desakan terhadap Jokowi melalui pemakzulan ini dilakukan.
Menurut Violla, pemakzulan yang tidak datang dari internal DPR dan partai politik dalam menjalan tugas dan fungsi legislatif seperti pengawasan, membuat keinginan melengserkan Jokowi mengalami hambatan.
Hal ini terjadi karena disfungsi konstitusional mulai dari DPR, DPD dan pemerintah. Mereka tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah Jokowi yang kerap melanggar konstitusi.
Padahal sejak 2019 cukup banyak faktor-faktor yang bisa memunculkan usulan pemakzulan terhadap Jokowi. Tapi DPR tidak menjalankan fungsinya. Mayoritas anggotanya adalah partai pendukung pemerintah.
“Maka pengawasan dan checks balances dari DPR tidak muncul,” kata Violla Reininda pada Jumat malam, 19 Januari 2024.
Violla Reininda menjelaskan bagaimana pembentukan dan penetapan Undang-Undang Cipta Kerja jelas melanggar konstitusi.
Pada 2020, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang tata cara pembentukan dan proses formilnya melanggar konstitusi. Dinyatakan oleh MK inskontitusional bersayarat.
DPR diberikan waktu 2 tahun oleh MK untuk memperbaiki tata cara tentang proses tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi Presiden Jokowi justru menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
“Presiden malah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja, yang tidak menjawab sama sekali apa yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi,” kata Violla Reininda.
Padahal MK memerintahkan agar Undang-Undang Cipta Kerja diperbaiki secara metode omnibus, membentuk peraturan perundang-undangan yang melibatkan partisipasi publik, keterbukaan akses terhadap dokumen.
Semua tidak ditangkap dengan baik oleh pemerintah dan DPR. Saat itu DPR justru jadi pemberi stempel dan membuat Perppu Cipta Kerja itu berjalan dengan mulus.
“Belum lagi bicara secara subtansi, kita baru bicara formilnya saja,” katanya.
Akibat adanya disfungsi konstitusional oleh DPR, memunculkan amarah publik. Ini kemudian yang memunculkan Petisi 100 oleh seratus tokoh yang menamakan diri Penegak Daulat Rakyat (PDR).
Tokoh dalam Petisi 100 kembali mendesak agar DPR menjalankan fungsi pengawasan dan melakukan kembali pemakzulan terhadap Jokowi. Meski sejak lama mendesak DPR melakukan fungsi pengawasan.
“Belum lagi bicara di Mahkamah Konstitusi yang baru-baru ini hakim konstitusinya disanksi etik karena melanggar etik, bahkan ada yang berat,” katanya.
Munculnya tokoh-tokoh Petisi 100 ini menggambarkan bagimana lembaga-lembaga negara tak mau menangkap aspirasi masyarakat sipil. Terutama yang terkait dengan pengetatan pengawasan terhadap Pemerintah Jokowi.
“Terutama Presiden, ma dalam tanda kutip cawe-cawe yang sudah dilakukan sejak 2023 atau awal kampanye pemilu, itu tidak kemudian bisa ditindak secara hukum, karena memang lembaga negara yang punya fungsi utama untuk mengawasi Presiden mengalami disfungsi konstitusional,” katanya lagi.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"