KONTEKS.CO.ID – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menuntut pertanggungjawaban dan keterbukaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait netralitasnya dalam Pilpres 2024.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda, penyataan Jokowi untuk cawe-cawe dan dukungan terhadap Prabowo-Gibran dalam pemilu harus dihentikan.
“Rakyat butuh pertanggungjawaban dan juga keterbukaan dari Presiden Jokowi terkait netralitas dan juga keterlibatan yang bersangkutan dalam proses pemilu,” kata Violla pada acara Beranda Politik Komunitas Utan Kayu dengan topik ‘Memakzulkan Jokowi’ yang digelar Jumat, 19 Januari 2024.
“Karena di dalam beberapa pidato kan disebutkan bersedia untuk melakukan cawe-cawe untuk memenangkan paslon tertentu. Ini yang harus dihindari,” katanya lagi.
Komitmen Jokowi untuk menjaga netralitasnya di pilpres 2024 penting, karena Jokowi berpotensi menggunakan kekuasaan untuk mendukung Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anaknya sendiri.
“Potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan itu sangat besar, ketika sudah memberikan statement akan mendukung pasangan calon tertentu, terutama ketika yang bersangkutan punya hubungan darah,” katanya.
Dengan endorsement Jokowi, kemudian munculnya isu pemakzulan. Namun bukan hanya karena cawe-cawe Jokowi, tapi untuk membangun satu sistem agar pemegang kekuasaan baik Presiden dan menterinya tidak menyalahgunakan kekuasaan dalam pemilu.
“Misalnya lewat politisasi bantuan sosial atau penerbitan hukum tertentu yang menguntungkan pasangan calon tertentu begitu. Kan ini yang dikhawatirkan bisa merusak tatanan demokrasi dan juga menimbulkan pemilu yang tidak fair dan juga tidak equal untuk satu sama lain,” kata Violla.
Dengan menuntut Jokowi turun atau diturunkan dengan pemakzulan sebenarnya tidak menjamin pemilu dapat berjalan dengan jujur dan adil.
Namun, tuntutan yang ada saat ini dilakukan untuk menuntut tanggung jawab yang bersangkutan. Tanggung jawab hukum terkait pelaksanaan kewenangan Jokowi sebagai Presiden.
“Ini apalagi sudah mau menjelang akhir masa jabatan yang bersangkutan, maka sebetulnya juga yang ditagih juga adalah bukan cuma hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan proses elektoral semata, tapi juga kerja-kerja yang lain,” katanya.
Itu sebetulnya harapan dari kami secara lebih spesifik lagi. Karena dari segi legislasi saja, PSHK mencatat sepanjang 2019-2024 banyak peraturan, banyak undang-undang yang kontroversial yang kemudian ditetbitkan oleh pemerintah dan juga DPR,” katanya.
“Ini juga satu faktor yang kemudian mendegradasi nilai-nilai demokrasi dan juga rule of law, karena tidak sesuai dengan partisipasi publik yang bermakna kemudian tidak transparan dan lain sebagainya,” ujarnya lagi.
Karena itu, masalah yang terjadi saat ini tidak dikerucutkan atau disimplifikasi dalam proses elektoral. Tapi lebih diperluas lagi untuk evaluasi satu periode pemerintahan Presiden Jokowi.
“Jadi jangan dipandang untuk pemenangan salah satu calon, atau digunakan sebagai alat politik calon tertentu saja begitu,” katanya. (Laporan: Al Gregory RP Radjah – jurnalis magang).***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"