KONTEKS.CO.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap telah telah memperkeruh dan membuat gaduh suasana pemilu dan pilpres 2024 karena pernyataannya bahwa pejabat publik sekaligus pejabat politik mulai dari presiden dan para menteri boleh berpihak selama tidak menggunakan fasilitas negara.
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) setelah pernyataan akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024, Jokowi kembali membuat kegaduhan karena pernyataan boleh memihak dan kampanye.
Pernyataan dan sikap yang demikian telah memperkeruh dan membuat gaduh suasana kampanye pemilu dan pilpres 2024,” kata Direktur PSHK FH UII Dian Kus Pratiwi dalam keterangan resmi pada Kamis, 25 Januari 2024.
Selain itu, pemahaman bahwa Presiden berhak untuk berpihak bahkan ikut serta dalam kampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara dan dalam kondisi cuti, adalah pemahaman yang salah kaprah dalam etika demokrasi yang sehat serta bentuk pelanggaran atas asas-asas pemilu.
“Salah kaprah juga tercermin dari betapa sulitnya memisahkan fakta antara figur seorang Joko Widodo sebagai personal individu yang tetap memiliki hak berpolitik dan sebagai Presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga dibatasi kekuasaannya termasuk hak politiknya,” ujar Dian Kus Pratiwi.
Salah kaprah juga terlihat dari inkonsistensi sikap Presiden selama ini yang selalu menekankan netralitas Presiden, bahkan mengajak kepada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), POLRI dan TNI untuk bersikap netral.
“Tetapi pucuk pimpinannya yakni Presiden justru ingin melenggang dengan berpihak dan berkampanye dalam pemilu,” katanya lagi.
Pemaknaan hak politik seorang presiden harus dimaknai secara komprehensif dan holistik, tidak hanya berfokus pada masih diperbolehkannya berpihak dan ikut serta dalam kampanye tetapi juga terbatas pada etika Pemilu yang sehat dan etika menjalankan kekuasaan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana amanat Reformasi 1998.
“Beberapa konstitusi di berbagai negara bahkan secara tegas menihilkan fungsi politik partisan seorang presiden setelah terpilih agar tercipta iklim demokrasi yang sehat dan beretika, seperti di negara Perancis, Turki, Kosovo, Albania (Jeton Hasani, dikutip dari Susi Dwi Harijanti),” kata Dian Kus Pratiwi.
Netralitas sebagai presiden tersirat di dalam aturan main tertinggi dalam bernegara yakni Pasal 4 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang intinya menyebutkan bahwa Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan harus tunduk pada konstitusi.
Selain itu bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya dan berbakti kepada nusa dan bangsa serta Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
“Ketentuan demikian mengamanatkan bahwa Presiden dalam pemilu harus bersikap seadil-adilnya dan tunduk pada asas luber jurdil,” katanya.
PSHK FH UII Merekomendasikan:
- Presiden bersikap negarawan dengan tetap memegang teguh netralitas dan menghormati asas-asas Pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
- Kedua, Presiden tetap fokus dalam menyelesaikan sisa tugasnya sampai akhir tahun 2024 dan tidak melakukan manuver-manuver yang justru memperkeruh dan membuat gaduh proses Pemilu 2024.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"